[Cinta Sang Pengembara]
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi.
(@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)
Perjalanan menuju tegaknya Islam
sebagai soko guru peradaban merupakan sebuah pengembaraan panjang yang penuh
hikmah dan kebijaksanaan. Tidak ada yang tidak mengandung pelajaran dari setiap
detail epos sejarah panjang para insan yang mencoba menerjemahkan maksud Tuhan
dan misi penciptaaan. Episode sejarah yang penuh cinta dan penuh makna tersaji
indah dalam kurva ruang dan waktu, yang berinteraksi dalam kisah heroik nan
panjang berliku.
Tentu kita ingat dengan generasi
Muhammad ﷺ, yang menjadikan cinta sebagai sebuah energi dahsyat pembentukan
generasi. Layaknya sebuah kendaraan peradaban, maka cinta lah yang menjadi
pedal gas nan penuh dorongan. Ia menghindarkan manusia dari kejumudan, rasa
tinggi hati atas segala nikmat dan kesenangan. Ialah yang menjadi penyemangat
bagi segelintir makhluk sederhana yang yakin akan kemuliaan imannya. Ialah yang
menjadi peneguh langkah para manusia, berawal dari perbaikan diri menuju
tegaknya peradaban yang maju. Tidak ada benteng yang cukup kokoh untuk menahan
laju perubahan, dan cinta berhasil diterjemahkan oleh para pejuang menjadi
sebuah kekuatan. Cinta yang penuh izzah, kemuliaan.
Tentu tak bisa lupa kita dengan
kisah Tha'if. Ketika harapan yang begitu besar, berhadapan dengan tirani
kejahiliyahan nan penuh kesombongan. Maka cinta, layaknya sebuah rem bagi
kendaraan, mampu membuat sang Utusan tak menggunakan haknya untuk membinasakan.
Justru sang Utusan menahan dirinya, dan berharap generasi penerus akan lahir
dari rahim-rahim para penolak da'wahnya kelak. Dan Mesir pun mengambil contoh
yang mulia, ketika cinta sang Yusuf tak menjadikannya dendam pada saudara yang
dahulu membuangnya, tak ada dendam pula pada penguasa yang menfitnahnya. Kisah
Mesir pun berlanjut hingga kini, ketika kekuatan cinta justru mengajari kita untuk
menahan diri. Meski penjara dan tiang gantungan menjadi akrab bagi para pewaris
negeri, meski daya tahan tak diuji melainkan dengan nyawa dan siksaan tanpa
henti. Tentu masih membekas dalam memori kita, kisah tentang perjalanan panjang
tanah kekhalifahan Islam terakhir di Tanah Turki. Bagaimana cinta diterjemahkan
menjadi layaknya pedal kopling dan roda gigi. Ia adalah pengatur energi, ia
adalah komitmen untuk menerapkan strategi. Bagaimana cinta akhirnya menuntun
para pewaris Al Fatih menjalani hari-hari panjang penuh kesabaran, meski pelan
namun berlanjut hingga menuju kemenangan. Bagaimana izzah al Islam ditunjukkan
dengan kesetiaan pada tujuan, kepahaman pada target dan misi zaman, dan kerja
keras pada setiap sarana yang ditetapkan. Bahwa cinta melahirkan kepahaman pada
marhalah tahapan da'wah, bahwa cinta melahirkan generasi yang kompatibel dengan
dengan tuntunan zaman.
Tentu ingatan kita masih segar,
tentang sebuah peristiwa di masa silam, ketika Umar mengganti Khalid dari
posisi panglima perang, dan Khalid pun menerima dengan penuh keikhlasan. Bahwa
cinta selalu mengajarkan proses evaluasi dan muhasabah menjadi sebuah sarana
asasi, layaknya spion bagi kendaraan di bagian kanan dan kiri. Ada kalanya kita
perlu menimbang posisi kita dibanding lingkungan sekitar kita, apa dampak kita
bagi sesama. Dan kelak kita akan senantiasa tawadhu' dalam segala keadaan yang
ada. Bahwa cinta menjadikan kita mawas diri, menjaga kita dari keegoisan
pribadi, dan mengajarkan pada kita tentang prinsip amal jama'i.
Inilah cinta, sebuah obat bagi
penyakit yang ada pada setiap diri. Cinta yang hakiki akan melihat ruang kosong
lalu berusaha untuk mengisi, bukan mencari titik lemah lalu menggerogoti. Cinta
lah yang mendesak kita untuk bergerak ketika kita nyaman dalam diam. Cintalah
yang memandu perjalanan ketika kita tergoda untuk tidak fokus atau kehilangan
arahan. Cinta lah yang menjadi pengatur energi agar bekal kita mencukupi untuk
segenap langkah yang kita jalani. Cintalah yang mampu menjadi peredam ketika
kita tergoda untuk menaruh dendam atau menjadi alarm diri saat kita terbawa
emosi. Dan cintalah yang menjadi pengingat ketika kita kita terjebak pada
kesombongan diri.
Karena cinta sejati membawa
pewaris generasi ini mampu mengendalikan diri, bukan dikendalikan oleh egoisme
dan terjebak situasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi