Kamis, 24 Juli 2014

Serial Generasi Cinta #5

[Cinta Sang Pengembara]

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Perjalanan menuju tegaknya Islam sebagai soko guru peradaban merupakan sebuah pengembaraan panjang yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Tidak ada yang tidak mengandung pelajaran dari setiap detail epos sejarah panjang para insan yang mencoba menerjemahkan maksud Tuhan dan misi penciptaaan. Episode sejarah yang penuh cinta dan penuh makna tersaji indah dalam kurva ruang dan waktu, yang berinteraksi dalam kisah heroik nan panjang berliku.


Tentu kita ingat dengan generasi Muhammad , yang menjadikan cinta sebagai sebuah energi dahsyat pembentukan generasi. Layaknya sebuah kendaraan peradaban, maka cinta lah yang menjadi pedal gas nan penuh dorongan. Ia menghindarkan manusia dari kejumudan, rasa tinggi hati atas segala nikmat dan kesenangan. Ialah yang menjadi penyemangat bagi segelintir makhluk sederhana yang yakin akan kemuliaan imannya. Ialah yang menjadi peneguh langkah para manusia, berawal dari perbaikan diri menuju tegaknya peradaban yang maju. Tidak ada benteng yang cukup kokoh untuk menahan laju perubahan, dan cinta berhasil diterjemahkan oleh para pejuang menjadi sebuah kekuatan. Cinta yang penuh izzah, kemuliaan.

Tentu tak bisa lupa kita dengan kisah Tha'if. Ketika harapan yang begitu besar, berhadapan dengan tirani kejahiliyahan nan penuh kesombongan. Maka cinta, layaknya sebuah rem bagi kendaraan, mampu membuat sang Utusan tak menggunakan haknya untuk membinasakan. Justru sang Utusan menahan dirinya, dan berharap generasi penerus akan lahir dari rahim-rahim para penolak da'wahnya kelak. Dan Mesir pun mengambil contoh yang mulia, ketika cinta sang Yusuf tak menjadikannya dendam pada saudara yang dahulu membuangnya, tak ada dendam pula pada penguasa yang menfitnahnya. Kisah Mesir pun berlanjut hingga kini, ketika kekuatan cinta justru mengajari kita untuk menahan diri. Meski penjara dan tiang gantungan menjadi akrab bagi para pewaris negeri, meski daya tahan tak diuji melainkan dengan nyawa dan siksaan tanpa henti. Tentu masih membekas dalam memori kita, kisah tentang perjalanan panjang tanah kekhalifahan Islam terakhir di Tanah Turki. Bagaimana cinta diterjemahkan menjadi layaknya pedal kopling dan roda gigi. Ia adalah pengatur energi, ia adalah komitmen untuk menerapkan strategi. Bagaimana cinta akhirnya menuntun para pewaris Al Fatih menjalani hari-hari panjang penuh kesabaran, meski pelan namun berlanjut hingga menuju kemenangan. Bagaimana izzah al Islam ditunjukkan dengan kesetiaan pada tujuan, kepahaman pada target dan misi zaman, dan kerja keras pada setiap sarana yang ditetapkan. Bahwa cinta melahirkan kepahaman pada marhalah tahapan da'wah, bahwa cinta melahirkan generasi yang kompatibel dengan dengan tuntunan zaman.

Tentu ingatan kita masih segar, tentang sebuah peristiwa di masa silam, ketika Umar mengganti Khalid dari posisi panglima perang, dan Khalid pun menerima dengan penuh keikhlasan. Bahwa cinta selalu mengajarkan proses evaluasi dan muhasabah menjadi sebuah sarana asasi, layaknya spion bagi kendaraan di bagian kanan dan kiri. Ada kalanya kita perlu menimbang posisi kita dibanding lingkungan sekitar kita, apa dampak kita bagi sesama. Dan kelak kita akan senantiasa tawadhu' dalam segala keadaan yang ada. Bahwa cinta menjadikan kita mawas diri, menjaga kita dari keegoisan pribadi, dan mengajarkan pada kita tentang prinsip amal jama'i.

Inilah cinta, sebuah obat bagi penyakit yang ada pada setiap diri. Cinta yang hakiki akan melihat ruang kosong lalu berusaha untuk mengisi, bukan mencari titik lemah lalu menggerogoti. Cinta lah yang mendesak kita untuk bergerak ketika kita nyaman dalam diam. Cintalah yang memandu perjalanan ketika kita tergoda untuk tidak fokus atau kehilangan arahan. Cinta lah yang menjadi pengatur energi agar bekal kita mencukupi untuk segenap langkah yang kita jalani. Cintalah yang mampu menjadi peredam ketika kita tergoda untuk menaruh dendam atau menjadi alarm diri saat kita terbawa emosi. Dan cintalah yang menjadi pengingat ketika kita kita terjebak pada kesombongan diri.


Karena cinta sejati membawa pewaris generasi ini mampu mengendalikan diri, bukan dikendalikan oleh egoisme dan terjebak situasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi