Senin, 07 Juli 2014

Menembus Batas

Seekor singa akan menjadi lemah dalam jeruji besi besar di kebun binatang. Ia makan sebagaimana porsi nya di alam liar. Ia diberi obat-obatan agar kesehatannya tetap terjaga. Ia selalu dibersihkan agar terhindar dari penyakit. Mengapa ia lemah?

Mati nya naluri. Seorang bijak mengatakan, manusia dapat saja mati sebelum habis jatah usianya, atau tetap hidup meski telah habis jatah usianya. Seekor singa yang terkurung adalah gambaran tragis dari seorang ksatria yang terjebak di dalam zona nyaman. Dengan indahnya permadani istana, cantiknya wanita, lezatnya makanan dan minuman, kasur-kasur empuk nan halus, segar nan asrinya taman istana, semua menjadikan kekuatan dan potensi-potensi dalam diri ksatria tersebut hilang secara percuma.

Kita menemukan banyak orang yang tertipu atau terlanjur terjebak pada lingkungan dan kondisi. Tersadar hanya masalah waktu, cepat atau lambat. Seekor katak yang berenang dalam sebuah gelas kecil diatas tungku api, pada menit pertama ia merasa nyaman berenang kesana kemari. Menit kedua, panas membuat dirinya gelisah. Ia berenang dengan cepat. Menit ketiga, adalah menit terakhir katak tersebut. Air mendidih.

Matinya naluri. Hadir ketika diam dan tidak peduli berkolaborasi, menyekat dan mengunci cara berpikir kita. Kita takkan menemukan singa yang mati di alam liar karena malas mencari mangsa. Namun, kita akan menemukan manusia-manusia yang sejatinya ia berada di bumi yang sungguh luas, dengan segala fasilitas-fasilitas, namun pikirannya terkerangkeng dalam sebuah teritori yang sempit.

Realita berbicara. Banyak peristiwa menjadikan yang sempit menjadi luas, yang luas menjadi sempit. Kita telah umum dengan fenomena smartphone yang memperluas, sekaligus mempersempit. Sebagaimana fenomena smartphone yang banyak orang terlambat menyadari dampaknya, lingkungan kita adalah yang terakhir kali kita sadari dampak pengaruhnya terhadap diri kita. Ketika lingkungan itu membentuk cara berpikir dan perilaku kita. Kita kadang dimatikan dengan alasan-alasan kuno untuk keluar dari lingkungan kita dengan alasan; tradisi, pola, kebiasaan, hingga rutinitas atau tuntutan aktivitas kita.

Berpikir global. Singa bertahan hidup dengan berpikir global. Bukan hanya singa, namun binatang lainnya. Mereka bermigrasi, mereka beradaptasi, mereka bersimbiosis antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga manusia, dengan tambahan struktur sosial yang lebih rumit, pemikiran-pemikiran dan ideologi. Manusia juga membentuk satu hubungan antara manusia yang lain dalam skala yang sangat besar. Manusia-manusia besar masuk kedalam lingkungan itu dengan  segenap potensi dan kelebihannya.

Islam di awal kehadirannya menjadi besar dengan masuk kedalam komunitas besar peradaban dunia. Berekspansi dan berkompetisi dalam skala yang lebih besar dari sekadar Makkah dan Madinah, atau Jazirah Arab. Islam bersaing dengan imperium raksasa dunia, Romawi dan Persia. Tidak behenti sampai disitu, Islam berhasil membuat sebuah eksistensi peradaban baru diatas peradaban yang sudah sangat lama berdiri. Islam mengakar kuat, menjadi sebuah unsur baru yang diperhitungkan, yang memberikan kontribusi dalam kebradaan manusia seutuhnya di bumi.

Berpikir global. Jaringan bermain Khalid bin Walid ketika ia berusia 6 tahun mencapai Syam. Rasulullah ketika berusia 6 tahun mengikuti perjalanan dagang lintas negara. Mereka adalah orang-orang internasional. Mereka adalah orang-orang yang berpikir global didalam lingkungan lokal. Sehingga 40-60 tahun kemudian mereka berhasil memberikan pengaruh yang luar biasa sebagai individu kepada peradaban.

Orang besar bukan hanya seorang yang berpikir melampaui zamannya, namun juga melampaui wilayah teritorial dimana ia  hidup dan berpijak diatasnya.



Kota Gede, 7 Juli 2014

[M-N-H]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi