Seekor singa akan menjadi lemah dalam jeruji besi besar di
kebun binatang. Ia makan sebagaimana porsi nya di alam liar. Ia diberi
obat-obatan agar kesehatannya tetap terjaga. Ia selalu dibersihkan agar
terhindar dari penyakit. Mengapa ia lemah?
Mati nya naluri. Seorang bijak mengatakan, manusia dapat
saja mati sebelum habis jatah usianya, atau tetap hidup meski telah habis jatah
usianya. Seekor singa yang terkurung adalah gambaran tragis dari seorang
ksatria yang terjebak di dalam zona nyaman. Dengan indahnya permadani istana,
cantiknya wanita, lezatnya makanan dan minuman, kasur-kasur empuk nan halus,
segar nan asrinya taman istana, semua menjadikan kekuatan dan potensi-potensi
dalam diri ksatria tersebut hilang secara percuma.
Kita menemukan banyak orang yang tertipu atau terlanjur
terjebak pada lingkungan dan kondisi. Tersadar hanya masalah waktu, cepat atau
lambat. Seekor katak yang berenang dalam sebuah gelas kecil diatas tungku api,
pada menit pertama ia merasa nyaman berenang kesana kemari. Menit kedua, panas
membuat dirinya gelisah. Ia berenang dengan cepat. Menit ketiga, adalah menit
terakhir katak tersebut. Air mendidih.
Matinya naluri. Hadir ketika diam dan tidak peduli
berkolaborasi, menyekat dan mengunci cara berpikir kita. Kita takkan menemukan
singa yang mati di alam liar karena malas mencari mangsa. Namun, kita akan menemukan
manusia-manusia yang sejatinya ia berada di bumi yang sungguh luas, dengan
segala fasilitas-fasilitas, namun pikirannya terkerangkeng dalam sebuah
teritori yang sempit.
Realita berbicara. Banyak peristiwa menjadikan yang sempit
menjadi luas, yang luas menjadi sempit. Kita telah umum dengan fenomena
smartphone yang memperluas, sekaligus mempersempit. Sebagaimana fenomena
smartphone yang banyak orang terlambat menyadari dampaknya, lingkungan kita
adalah yang terakhir kali kita sadari dampak pengaruhnya terhadap diri kita.
Ketika lingkungan itu membentuk cara berpikir dan perilaku kita. Kita kadang
dimatikan dengan alasan-alasan kuno untuk keluar dari lingkungan kita dengan
alasan; tradisi, pola, kebiasaan, hingga rutinitas atau tuntutan aktivitas kita.
Berpikir global. Singa bertahan hidup dengan berpikir
global. Bukan hanya singa, namun binatang lainnya. Mereka bermigrasi, mereka
beradaptasi, mereka bersimbiosis antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga
manusia, dengan tambahan struktur sosial yang lebih rumit, pemikiran-pemikiran
dan ideologi. Manusia juga membentuk satu hubungan antara manusia yang lain
dalam skala yang sangat besar. Manusia-manusia besar masuk kedalam lingkungan
itu dengan segenap potensi dan
kelebihannya.
Islam di awal kehadirannya menjadi besar dengan masuk
kedalam komunitas besar peradaban dunia. Berekspansi dan berkompetisi dalam
skala yang lebih besar dari sekadar Makkah dan Madinah, atau Jazirah Arab.
Islam bersaing dengan imperium raksasa dunia, Romawi dan Persia. Tidak behenti
sampai disitu, Islam berhasil membuat sebuah eksistensi peradaban baru diatas
peradaban yang sudah sangat lama berdiri. Islam mengakar kuat, menjadi sebuah
unsur baru yang diperhitungkan, yang memberikan kontribusi dalam kebradaan
manusia seutuhnya di bumi.
Berpikir global. Jaringan bermain Khalid bin Walid ketika ia
berusia 6 tahun mencapai Syam. Rasulullah ketika berusia 6 tahun mengikuti
perjalanan dagang lintas negara. Mereka adalah orang-orang internasional.
Mereka adalah orang-orang yang berpikir global didalam lingkungan lokal.
Sehingga 40-60 tahun kemudian mereka berhasil memberikan pengaruh yang luar
biasa sebagai individu kepada peradaban.
Orang besar bukan hanya seorang yang berpikir melampaui
zamannya, namun juga melampaui wilayah teritorial dimana ia hidup dan berpijak diatasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi