Selasa, 10 Februari 2015

Dunia

Jalanan yang sesak dengan lalu lalang kendaraan. Riuh sahut menyahut menawarkan dagangan di pasar, mulai dari sayur hingga baju tidur. Gedung-gedung tinggi perkantoran dengan dering telepon yang siap diangkat 24 jam dan tumpukkan kertas-kertas diatas meja yang kelak bakal di loakan. Bangku-bangku coklat, buku-buku, ransel dan baju putih abu-abu yang senantiasa menemani dari senin hingga sabtu, dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Semua orang sibuk dengan urusan dunianya. Dan diantara mereka ada yang mencoba sejenak menjauh dari kepenatan dunia, menuju pintu ketenangan untuk mengingat Rabbnya.

Hakikat hidup bagi kebanyakan orang adalah mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira, meski harus ditempuh dengan badan yang penuh luka, mati-matian dan berharap kebahagiaan abadi. Badan mereka semakin lemah, seperti iman yang digerogoti oleh keinginan-keinginan semu, hidup untuk dunianya.

Yang lain mati-matian beribadah memohon Allah memberikan apa yang diinginkannya, lagi-lagi memohon dunia pada-Nya, dan akhirat tak ada sisa. Kebahagiaan itu apa yang berbentuk, dapat disentuh, dapat ditunjukkan ke seluruh penghujung dunia. Lagi-lagi dunia. Sesempit itukah keinginan kita. Setelah kita berlari bermil-mil dan tak pernah melihat ujungnya, tersadarlah kita, apa yang kita pinta hilang tak bersisa.


Sudahkah kita meminta apa yang terbaik untuk kita? Rela dan bersyukur kepada-Nya. Sadar betul akan hakikat hidup kita? Karena menyesal di akhir memang tiada berguna Maka harus bersiap jatuh dan bangkit lagi, lagi, dan lagi. Berkali-kali.  Hingga biar Allah saja yang menjadi tujuan utama. Bersiap memulai dari awal saja, tiap jatuh dan porak-poranda. Biar Allah saja yang menilai kita, bukan manusia. Biar Allah saja menjadi Dzat yang kita harap-harap pertemuannya.


Ahad, 4 Januari 2015
Nurhanifa Rizky R.

Rabu, 07 Januari 2015

Tapi Bang...#2

"Tapi bang, coba jelaskan pada kami bagaimana cara membagi waktu antara belajar dan berorganisasi."

"Dik, sungguh hal itu sebuah pertanyaan yang konyol! Tak patut kita tanyakan!."

Mata Bang Somad memerah, kali ini raut wajah yang tak terbiasa terlihat dapat dilihat oleh Yudha. Apakah ini pertanyaan yang salah?

"Tapi bang..."

"Hhhuuuuuuuufffhh....", Bang Somad menghela nafas panjang, dan matanya tak memerah lagi. Kini raut kesedihan mulai tampak. Ini malah semakin menggelisahkan. Ada apa?

"Dik, sungguh tak pantas, bertanya seperti itu. Bukankah belajar dan berorganisasi dengan tujuan yang baik adalah sama-sama kemuliaan?

Bukankah pertanyaan yang paling pantas bagi kita adalah, 'Bagaimana membagi waktu antara belajar dan bermain game? Antara berorganisasi dan nongkrong-nongkrong? Antara terjaga dikeheningan malam lalu beribadah dan tidur? Antara membaca buku dan bercanda? Antara menangis merindukan surga dan tertawa yang mengeraskan hati?

Kita tak patut bertanya, sebab waktu kita masih banyak yang terlewatkan untuk kesia-siaan."

"Tapi bang...."

***

Barangkali, sesorang yang mengeluhkan bahwa waktu yang dimilikinya tak cukup untuk melaksanakan kewajibannya, secara bersamaan ia mengeluhkan atas dirinya yang tak dapat memanfaatkan waktunya dengan baik. Sebab, “Memanfaatkan waktu lebih berat daripada memperbaiki masa lalu dan masa depan. Memanfaatkan waktu berarti melakukan amal-amal paling paling utama, paling berguna bagi diri, dan paling banyak membawa kebahagiaan.” Beliau melanjutkan, “Barang siapa tidak mengisi waktunya untuk Allah dan petunjuk Allah, maka baginya mati lebih baik daripada hidup.”

“Berhentinya seorang mukmin dari beraktivitas adalah kelalaian. Kekosongan adalah musuh yang mematikan, dan kesenggangan adalah sebuah kemalasan. Dan, kebanyakan orang yang selalu gundah dan hidup dalam kecemasan adalah mereka yang terlalu banyak waktu senggangnya dan sedikit aktivitasnya.” Tulis ‘Aidh Al Qarni dalam Kitab La Tahzan, “ Adapun manfaat yang mereka dapatkan dari semua itu adalah hanya sekedar desas desus dan omong kosong yang tak berguna. Itulah keuntungan yang juga diraih oleh mereka yang tak pernah mengerjakan amalan yang bermakna dan berbuah pahala.”

Janganlah mengeluhkan atas ketidakcukupan waktu yang telah diberikan, ketika secara bersamaan kita masih saja menyia-nyiakannya secara sadar maupun tidak sadar. Sebab mana mungkin Rabb kita yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang memberikan beban yang tak sanggup kita pikul, tugas yang tak kan selesai dengan waktu yang ada.

Kemudian beliau melanjutkan, “Oleh sebab itu, hendaknya kamu senantiasa bergerak, bekerja, mencari, membaca al-Qur’an, bertasbih, menulis atau mengunjungi sahabat. Gunakan waktu sebaik-baiknya, dan jangan ada satu menit terbuang sia-sia! Ingat, sehari saja anda kosong tak bergerak, niscaya kegundahan, keresahan godaan dan bisikan setan akan mudah menyelinap dalam tubuh anda! Dan bila sudah demikian, maka anda akan menjadi lapangan permainan para setan.”

***

“Tapi bang, apakah itu berarti kita tidak boleh untuk rehat? Bermain game, melepaskan penat? Lalu bagaimana bang jika kelelahan datang?”

“Dahulu, sekitar abad ke 4 Hijriah, ada beberapa orang yang sedang membicarakan tentang tempat rekreasi yang paling menyenangkan, dan di sana hadir seorang Ulama yang bernama Ibnu Duraid. Saat sebagian lain mengatakan, ‘tempat yang paling menyenangkan untuk rekreasi adalah lembah-lembah asri di Damaskus, Sungai Al-Uballah, Taman Samarkand, Taman indah di Bawwan’, lalu Ibnu Duraid berkata, ‘Semua ini adalah tempat rekreasi bagi mata, lalu manakah rekreasi bagi hati kalian?’. Coba tebaik dik, di manakah rekreasi bagi hati?”.

“Apa bang? Menikah? Hati menjadi tentram?”

“Halah-halah..... bukan, bukan itu yang dimaksud dik. Tetapi, ialah taman-taman surga yang dihadirkan di dunia. Majelis Ilmu.”

“Ha? Maksudnya bagiamana bang? Aku masih belum paham.”

“Sebab, setidaknya ada empat hal yang akan kita dapatkan di taman-taman surga. Pertama, kita akan diberikan ketenangan jiwa. Lalu bagiamana bila belum di dapat? Barangkali hati kita sudah terlalu lelah dik.  Kemungkinan perlu diperbanyak frekuensinya dan variasinya. Misalnya tidak hanya membahas tentang fiqh saja, tetapi ditambah dengan bahasan aqidah, tazkiatun nafs. Kedua, Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada kita. Tentu kita harus ikhlas dalam niat, dan memperhatikan adab-adabnya. Ketiga, malaikat akan menaungi kita, dan para malaikat akan mendo’akan kebaikan untuk kita. Keempat, nama kita akan disebut Allah diantara para malaikat yang mulia. Coba bayangkan dik, kalau kita dipanggil-panggil di saat upacara bendera karena prestasi kita, pasti menyenangkan to? Atau disebutkan oleh Pak Presiden, saat upacara bendera 17 Agustus, fantastis bukan? Nah bagaimana jika yang menyebut-nyebut nama kita adalah Rabb semesta alam, sang pencipta dihadapan para malaikat yang mulia?”

“Wuiih, mantap bang, mohon do’anya selalu ya bang.”

“Iya dik. Ingat ya dik, yang berbicara ini bukan berarti lebih baik dan lebih mulia. Hanya saja abang lebih dulu dihadirkan di dunia, lebih dulu menginjakkan kaki di sini, dan tentu lebih dulu bertemu juga dengan abang-abang ganteng, yang kini sudah tinggal di tempat yang jauh. Semoga engkau berada diposisi seperti abang, engkau jauh lebih baik dik. Bila diingat-ingat, bila dulu abang saat diposisimu, tak sekeren dirimu sekarang dik. Semangat terus, semoga kita selalu ditunjukan dan diteguhkan di jalan yang lurus.”


“Aamiin.”


***

Godean, 7 Jamuari 2014

Adnan Rifai