[Menyatu Dengan Zaman]
Tulisan yang ditangisi oleh
penulisnya..
Sebuah refleksi terhadap nilai
perjuangan seorang da'i..
Kita mengenal para ilmuan dengan
karya-karya dan penemuan besar, yang melalui penemuannya muncul sebuah entitas
pemikiran baru dan entitas masyarakat dengan cara berpikir yang baru.
Kita mengenal para raja dan
panglima dengan kharisma, kecerdikan dan kepiawaiannya, yang melalui titahnya
mampu menghinakan atau memuliakan sebuah negeri.
Kita mengenal para seniman dengan
karya tak hidupnya yang mampu menghidupkan jiwa, mempengaruhi perilaku, bahkan
membuat orang lain berpikir dan bertindak diluar batas kendalinya.
Kita mengenal para pembaharu
Islam dari sejarah, sebagai seorang pahlawan yang memuliakan dan menghiasi
zaman dengan kebaikan-kebaikan, yang kemanfaatannya terasa melampaui zamannya.
Namun, bagaimana kita mengenal
diri seorang da'i? Atau lebih tepatnya, bagaimana kita mengenal diri kita
sendiri? Apa yang kita kenal dari diri kita sebagai seorang da'i, sehingga kita
bisa meningkatkan kapasitas dan nilai, peran, serta kontribusi?
Teringat sebuah perkataan seorang
intelektual Muslim Indonesia ketika mencirikan bagaimana pemimpin Indonesia
seharusnya: "Pemimpin bangsa Indonesia harus menjadi otaknya Indonesia,
menjadi jantungnya Indonesia, dan menjadi tulang punggungnya Indonesia."
Dan begitulah seharusnya
bagaimana para da'i mencirikan dirinya. Menyatu dengan zaman. Inilah yang
membuat para da'i menjadi istimewa. Ia menjadi mata nya zaman, dimana ia
melihat wajah kondisi zaman secara utuh, dimanapun, kapanpun. Ia menjadi
telinga nya zaman, dimana ia mendengar hiruk pikuk, kebisingan dan keluh kesah.
Tidak cukup sampai disini. Seorang da'i harus menjadi jantungnya zaman, dimana
ia secara pasif mengalirkan dan memompa semangat peningkatan kualitas kebaikan.
Ia harus menjadi otaknya zaman, dimana ia selalu menghiasi akal pikirannya
dengan gagasan-gagasan dan rencana-rencana besar perubahan.
Kita sudah mendapatkan sebuah
pribadi seorang da'i melalui ciri diatas. Akan tetapi yang baru kita dapatkan
hanyalah seorang da'i tanpa produktifitas. Hanya beretorika. Hanya membuat
gagasan. Hanya merencanakan. Dakwahnya terbatas pada diskusi-diskusi tentang
kegelisahan dan cita-cita kebaikan, namun nol besar perjuangan. Da'i yang
terbuai dalam mimpi indah. Ini tidak cukup.
Seorang da'i adalah tangan dan
kakinya zaman. Ketika ia berani
mengkaryakan gagasannya dengan langkah dan kerja nyata. Ketika ia tetap
berdiri, bertahan, berkorban dan bersabar melawan gelombang dan badai kenyataan
zaman. Lengkaplah seorang da'i yang menyatu dengan zaman. Seorang da'i yang
memiliki cita-cita besar, diiringi dengan kerja-kerja besar. Seorang da'i yang
bukan hanya pikirannya yang melampaui zaman, namun dengan langkah dan kerja
besar yang dampak nya terasa melampaui zaman.
Diatas semua itu ada yang lebih
penting. Menyatu dengan zaman tidak muncul dengan sendirinya. Tidak spontan.
Menyatu dengan zaman melampaui sebuah proses panjang yang disengaja antara
kegelisahan dan perenungan. Antara pemikiran dan tindakan. Menyatu dengan zaman
muncul dari sebuah titik sentuh dari dalam diri seorang da'i.
Rasulullah SAW benar-benar
mengalami proses ini sebelum beliau diangkat sebagai nabi dan rasul. Berangkat
dari sebuah kegelisahan terhadap kondisi dan perilaku masyarakat jahiliyah.
Berangkat dari sebuah perenungan dan pemikiran panjang, selama Rasulullah
berdiam beri'tikaf di gua Hira. Begitulah Rasulullah melampaui sebuah proses
panjang. Dan Rasulullah SAW memulai estafet misi risalah kenabian dengan penuh
keyakinan, semangat, dan perjuangan yang tiada tara.
Agaknya inilah yang melatar
belakangi para da'i terdahulu. Mereka menghidupkan titik sentuh. Titik yang
menjadi titik ledak seorang da'i sehingga ia siap melanjutkan estafet misi
risalah kenabian. Seperti dikata: "Setiap Muslim mewarisi misi risalah
kenabian". Mereka menjadi refleksi bagi kita yang mengaku diri sebagai
penerus estafet misi risalah kenabian. Pantaskah kita? Sudahkah titik sentuh
ini hidup dan menjadi bagian dari landasan segenap perjuangan kita? Atau selama
ini kita salah dalam memulai dan melandasi perjuangan kita?
Maka: "Bacalah dengan
menyebut nama Tuhan mu yang Maha Pencipta"(QS: 96: 1)
Bismillah. Waktunya berbenah.
Kota Gede, 14 Juli 2014
[M-N-H]
[M-N-H]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi