Selasa, 15 Juli 2014

Resume Dialog Intelektual #4

[Menyatu Dengan Zaman]


Tulisan yang ditangisi oleh penulisnya..

Sebuah refleksi terhadap nilai perjuangan seorang da'i..

Kita mengenal para ilmuan dengan karya-karya dan penemuan besar, yang melalui penemuannya muncul sebuah entitas pemikiran baru dan entitas masyarakat dengan cara berpikir yang baru.

Kita mengenal para raja dan panglima dengan kharisma, kecerdikan dan kepiawaiannya, yang melalui titahnya mampu menghinakan atau memuliakan sebuah negeri.

Kita mengenal para seniman dengan karya tak hidupnya yang mampu menghidupkan jiwa, mempengaruhi perilaku, bahkan membuat orang lain berpikir dan bertindak diluar batas kendalinya.

Kita mengenal para pembaharu Islam dari sejarah, sebagai seorang pahlawan yang memuliakan dan menghiasi zaman dengan kebaikan-kebaikan, yang kemanfaatannya terasa melampaui zamannya.

Namun, bagaimana kita mengenal diri seorang da'i? Atau lebih tepatnya, bagaimana kita mengenal diri kita sendiri? Apa yang kita kenal dari diri kita sebagai seorang da'i, sehingga kita bisa meningkatkan kapasitas dan nilai, peran, serta kontribusi?

Teringat sebuah perkataan seorang intelektual Muslim Indonesia ketika mencirikan bagaimana pemimpin Indonesia seharusnya: "Pemimpin bangsa Indonesia harus menjadi otaknya Indonesia, menjadi jantungnya Indonesia, dan menjadi tulang punggungnya Indonesia."

Dan begitulah seharusnya bagaimana para da'i mencirikan dirinya. Menyatu dengan zaman. Inilah yang membuat para da'i menjadi istimewa. Ia menjadi mata nya zaman, dimana ia melihat wajah kondisi zaman secara utuh, dimanapun, kapanpun. Ia menjadi telinga nya zaman, dimana ia mendengar hiruk pikuk, kebisingan dan keluh kesah. Tidak cukup sampai disini. Seorang da'i harus menjadi jantungnya zaman, dimana ia secara pasif mengalirkan dan memompa semangat peningkatan kualitas kebaikan. Ia harus menjadi otaknya zaman, dimana ia selalu menghiasi akal pikirannya dengan gagasan-gagasan dan rencana-rencana besar perubahan.

Kita sudah mendapatkan sebuah pribadi seorang da'i melalui ciri diatas. Akan tetapi yang baru kita dapatkan hanyalah seorang da'i tanpa produktifitas. Hanya beretorika. Hanya membuat gagasan. Hanya merencanakan. Dakwahnya terbatas pada diskusi-diskusi tentang kegelisahan dan cita-cita kebaikan, namun nol besar perjuangan. Da'i yang terbuai dalam mimpi indah. Ini tidak cukup.

Seorang da'i adalah tangan dan kakinya zaman. Ketika ia berani  mengkaryakan gagasannya dengan langkah dan kerja nyata. Ketika ia tetap berdiri, bertahan, berkorban dan bersabar melawan gelombang dan badai kenyataan zaman. Lengkaplah seorang da'i yang menyatu dengan zaman. Seorang da'i yang memiliki cita-cita besar, diiringi dengan kerja-kerja besar. Seorang da'i yang bukan hanya pikirannya yang melampaui zaman, namun dengan langkah dan kerja besar yang dampak nya terasa melampaui zaman.

Diatas semua itu ada yang lebih penting. Menyatu dengan zaman tidak muncul dengan sendirinya. Tidak spontan. Menyatu dengan zaman melampaui sebuah proses panjang yang disengaja antara kegelisahan dan perenungan. Antara pemikiran dan tindakan. Menyatu dengan zaman muncul dari sebuah titik sentuh dari dalam diri seorang da'i.

Rasulullah SAW benar-benar mengalami proses ini sebelum beliau diangkat sebagai nabi dan rasul. Berangkat dari sebuah kegelisahan terhadap kondisi dan perilaku masyarakat jahiliyah. Berangkat dari sebuah perenungan dan pemikiran panjang, selama Rasulullah berdiam beri'tikaf di gua Hira. Begitulah Rasulullah melampaui sebuah proses panjang. Dan Rasulullah SAW memulai estafet misi risalah kenabian dengan penuh keyakinan, semangat, dan perjuangan yang tiada tara.

Agaknya inilah yang melatar belakangi para da'i terdahulu. Mereka menghidupkan titik sentuh. Titik yang menjadi titik ledak seorang da'i sehingga ia siap melanjutkan estafet misi risalah kenabian. Seperti dikata: "Setiap Muslim mewarisi misi risalah kenabian". Mereka menjadi refleksi bagi kita yang mengaku diri sebagai penerus estafet misi risalah kenabian. Pantaskah kita? Sudahkah titik sentuh ini hidup dan menjadi bagian dari landasan segenap perjuangan kita? Atau selama ini kita salah dalam memulai dan melandasi perjuangan kita?

Maka: "Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang Maha Pencipta"(QS: 96: 1)

Bismillah. Waktunya berbenah.

Kota Gede, 14 Juli 2014

[M-N-H]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi