Puja dan
puji hanya milik Alloh SWT semata, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun
yang mengharapkan keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang
memanjatkan do’a kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala
taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti
dapat dilaksanakan dengan sempurna. Segala puji hanya bagi Alloh yang telah
menciptakan segala sesuatu, lalu menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah
menetapkan takdir lalu menurunkan petunjuk bagi para hamba-Nya.
Semenjak
awal kita selalu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi secara benar
melainkan Alloh, yang Maha Tunggal, dan tidak ada sekutu bagi-NYA. Kita pun
bersaksi, bahwa Muhammad ﷺ adalah hamba dan utusan-Nya.
Kini hadir
ditengah-tangah pembaca sekalian sebuah situs yang dibuat oleh mereka yang
galau. Galau akan realitas dan idealisme yang berbenturan lalu menuntut untuk
dikeluarkan dari dalam diri menjadi sebuah tulisan, sehingga tidak sendiri
dalam menyikapinya. Galau bukanlah hal yang harus dihapus sebersih-bersihnya,
bahkan ia harus ada dalam benak setiap insan yang peduli dengan sekitar. Tanpa adanya
galau, maka situs ini tak akan terlahir, dan orang-orang (kami) hanya memendam
kegalauan itu sendiri dan suatu saat meledak seperti bom waktu.
Lalu kenapa
situs ini diberi judul transmisi? Transmisi menurut bahasa (kamus KBBI)1
berarti (1)pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya
dari seseorang kepada orang
(benda) lain, (2) penularan, penyebaran, penjangkitan
penyakit. Mentransmisikan berarti mengirimkan atau meneruskan pesan dr
seseorang (benda) kpd orang lain (benda lain). Maka situs ini adalah sebuah
wadah yang bertujuan untuk media transmisi sebuah cerita, kisah, hikmah,
ulasan, komentar, curhatan, dan bentuk karya yang lainnya, buah hasil kegalauan
yang terpendam dalam benak anak adam yang bersedia menuliskan (gambar juga
tidak masalah) sehingga khalayak akan tahu. Mereka yang terlelap akan terjaga,
mereka yang terkantuk-kantuk akan merasa tertampar dan segera melek.
Kendati
bukan satu-satunya jalan, menulis dapat mengejawantahkan eksistensi pelakunya.
Dengan menulis orang sekaligus berekspresi, berkomunikasi – yang paling
penting- meninggalkan jejak pikiran untuk masa yang tak terhingga. Wer liest,
wiB. Wer schreibt, bleibt, kata peribahasa jerman. Siapa membaca akan
mengetahui, dan siapa yang menulis tak akan mati.
Demikianlah
inskripsi-inskripsi kuno dalam pyramid, di dinding-dinding gua, atau pada
batu-batu cadas peninggalan ribuan tahun dahulu kala. Juga naskah-naskah di
atas daun lotar, papyrus dan sebagainya. Para penulisnya telah lama tiada,
namun apa yang mereka tulis seakan kekal abadi. ”Demi huruf Nuun dan demi pena
serta apa yang mereka goreskan, “ firman ALloh dalam kitab suci Al-Qur’an. [QS
68:1]
Tulisan mampu
menembus sekat-sekat ruang dan waktu, melintasi sempadan geografis, etnis,
bahkan agama. Seperti cerita-cerita yang ditulis Aesopos antara tahun 620
hungga 560 Sebelum Masehi, atau puisi-puisi Imru’ ul-Qays, pujangga Arabia dari
zaman pra-islam yang termasyhur itu. Berkat tulisan para sahabat pun kini kita
dapat menyimak pernik-pernik kehidupan dan petuah Nabi Muhammad ﷺ yang telah wafat sejak seribu lima
ratus tahun silam.
Tulisan
tidak hanya merekam dan menyimpan. Ia juga mengajar dan memengaruhi. Mengajak
dan membujuk. Bersuara dan berbicara. Bukankah saat membaca tulisan ini Anda
sebenarnya tengah mendengarkan saya berkata-kata? Sebuah paradoks, memang.
Tergantung
genre, gaya, serta isinya, tulisan dapat menghibur atau menyesakkan,
mencerahkan atau membingungkan, menyadarkan atau menyesatkan. Dengan tulisan
Anda bisa menggugah orang, mencegah, bahkan menjerat mereka. Karena tidak salah
kalau orang bilang, pena penulis bisa lebih tajam daripada pedang para pejuang.2
Menulis kini
merupakan sesuatu yang mulai ditinggalkan oleh mereka yang mengaku sebagai
pejuang muda (setidaknya kita-kita yang berada di Dakwah Sekolah). Padahal dengan
tulisan kita dapat berinteraksi dengan menghilangkan batas-batas waktu dan
tempat. Kita mungkin pernah bertanya-tanya, bagaimana kondisi pelajar zaman ’80-an,’90-an,
’00-an. Bagaimana dahulu sempat-sempatnya mereka memikirkan untuk membuat
rohis, osis, pii. Padahal dengan adanya beberapa orang yang mau menuliskannya
kita akan menjadi tahu bagaimana kondisi yang ada. Tulisan akan merekamnya, dan
pada saatnya nanti akan dibuka lagi sebagai sebuah pembelajaran yang berharga.
“Mas-mbak,
yang penting sekarang itu adalah segera bertindak, kita sudah lelah berwacana!”.
Kalau mereka yang mengatakan seperti itu bermaksud untuk mengkambinghitamkan
sebuah tulisan, tidak mau menulis padahal di saat yang sama ia masih ada waktu
untuk bermain game, bermain kartu, menonton tv, membaca komik, maka jawaban
yang paling baik untuknya adalah ......(didiamkan). Memangnya tindakanmu itu
seperti apa? Tanyakan itu (kalau memang didiamkan bukan hal yang bijaksana). Sebuah
wacana itu penting, terlebih bila tertuliskan. Kalaupun bukan kita yang
menerjemahkan menjadi teknis dan aksi, maka beberapa generasi yang akan
merealisasikannya merupakan sebuah kebaikan.
“Mas-mbak, menulis
itu penting, tetapi bagaimana bila membuat jadwal-jadwal kami berceceran?!”. Alhamdulillah
‘ala kulli haal. Semoga kita diampuni atas kelalaian nikmat Alloh yang telah
diberikan kepada kita. Maka, waktu dan tenaga untuk menulis haruslah mengambil
jatah kegiatan mubah kita. Tidur, bercanda, WA-an, nonton tv, rekreasi, dan
sebagainya.
Maka mari
menulis. Bila kita kembali dalam pembahasan transmisi tadi, bahwa dengan
tulisan ini harapannya dapat membantu kita semua dalam mewariskan apa yang kita
punya, cerita, kisah, hikmah, bahkan masalah kepada generasi penerus. Dengan kata
lain ini adalah bagian dari proses kaderisasi.
Sejelek-jelek
sebuah tulisan akan dapat dipetik kebaikannya. Mereka yang menjadi generasi
penerus akan melihatnya sebagai sebuah pelajaran, “ Ooo, ternyata zaman dahulu
pada ndak bisa nulis, kini Alhamdulillah sudah lebih baik”. Atau sebaliknya. Tulisan
yang menjelaskan bagaimana menjadi perekap yang baik pun bermanfaat, apalagi
tulisan yang menjelaskan tugas seorang Pemimpin organisasi, apalagi bobot
tulisan tidak normative.
[1]http://kbbi.web.id/transmisi, Diakses pada
tanggal 8 Juli 2014
[2]Arif,
Syamsuddin.2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi