Rabu, 27 Agustus 2014

Spesial For You :)

Hingga kini, tak pernah dibayangkan kita dahulu pernah menyesali dan menghujat sesuatu hal yang padahal saat ini, mungkin kita sesekali ingin mengulanginya lagi barang sedetik. Berlari, manapaki tangga yang berdecit keras, dan duduk , lalu mendengarkan untaian pembelajaran.

***

 23 Desember 2011
Senja kini tlah menyapa
Kekuatan,kekuasaan,ketangkasan perlahan hilang
apa yang tersisa...
Gunakan tuk menyambut mentari datang

walau ku tak yakin masih diberi kesempatan,
tapi aku masih berharap mentari kan menyapa

[dalam senja anak SMA]

Kawan, saat ditanya "apa yang engkau telah lakukan disepanjang waktu emas dalam kehidupan berkostum putih abu-abu?". Ku jawab, "satu tahun... Hanya cukup untuk belajar.".

Saat kiranya waktu telah berlalu, dan hasil pembelajaran kehidupan itu telah terdapati... Waktu jua yang akan mengingatkan. "Waktumu telah habis."

Sebuah tangis, mungkin sebagian dari kami, menjadi teman menyendiri. Bahkan, saat membayangkan beribu pertanyaan yang akan menghujat, sedang bibir tak kuasa lagi menjawab.

Duhai, kini waktu telah berlalu. Dan perjalanan hidup senantiasa berlanjut hingga hembus nafas terakhir diberikan. Hingga waktu-waktu dan kekuatan yang masih diberikan ini, maukah..... Kita kembali menggenggam pena dan menuliskan kisah perjuangan ini sekali lagi. Di tanah sepi, dengan cermin-cermin muramnya, dan di tempat kita mulai dikenalkan, bahwa beginilah hidup. Bahwa hidup adalah mencari bekal sebaik mungkin.

Begitulah maksud dari sajak sederhana yang kutuliskan beberapa tahun yang lalu, saat semua telah berlalu.

***

Kepada mereka tulisan ini telah dibuat dengan sepenuh hati, para pemuda yang ditakdirkan telah mencicip sebuah hidangan lezat yang mungkin tak pernah terhidang kembali kecuali diharuskan bersusah payah dan berpeluh keringat. Ialah menapakkan kaki tiap pagi hingga malam, di sepetak tanah yang penuh terkenang memori padanya. SMA Negeri 1 Yogyakarta.

Siapakah diantara kita tak merindukkan segala pernak-pernik GVT? Siapakah gerangan yang tak punya rindu untuk mengulang kembali masa yang telah berlalu? Siapakah yang dirinya tak kangen dengan canda tawa, tangis sendu, dalam rintih perjuangan seorang pelajar. Sebuah tempat yang merekam berbagai kejadian, di mana saat-saat setelahnya, kita kembali lagi menginjakkan kaki, bayang-bayang itu selalu memaksa kembali untuk hadir dalam benak kita. Hatta akan terungkap kembali sebuah proses panjang selama tiga tahun yang telah merubah kita, perilaku kita, tujuan hidup kita menjadi lebih baik. Siapakah kita sebelum tiga tahun itu berlalu, dan siapakah kita setelah tiga tahun itu berlalu?

Apakah ia tak cukupmu untukmu kawan? Untuk kembali lagi, bersua dengan mereka yang kini mengisi kepergianmu? Menemani mereka dalam pencarian jati diri bersama, dalam perjuangan yang tak kan berhenti sebelum waktu terhenti, dan dalam kerangka kita menghamba Rabb kita. Masihkah dalam benakmu kawan, mempertanyakan alasan kenapa harus kembali?

Memang, perjuangan harus dilakukan di mana saja. Tetapi, berjuang kembali di tempat itu apakah salah?

***

Sungguh kawan, apabila benar kita telah mendapat begitu banyak berkah dan manfaat yang diberikan Allah di waktu tiga tahun itu, maka marilah kita menjaga berkah dan manfaat itu dengan menebarkannya kembali kepada mereka yang telah mengisi kepergian kita. Saat semua waktu telah berlalu.

***

Di sana, tidak ada yang lebih dirindu kecuali apa-apa yang denganya bertambah kebaikan pada diri.
Semoga Allah Ta'ala karuniakan kemudahan bagi teman-teman yang masih mengusahakan berbagi kebaikan pada sang terindu,
Tidak ada perindu yang merasa terlalu tua atau tak pantas, untuk selalu berharap kebaikan terus disemai di sana, dengan tangannya atau tangan orang lain..
Nasihat mulia dr orang yang paling pantas dirindu
Bersemangatlah atas apa-apa yang bermanfaat bagimu, (wahai para perindu-red), dan minta tolonglah pada Allah, dan jangan berputus asa.. [Mas Sayaf Al Faruq]

***

29 Juli 2012
disuatu sore, dalam perjalanan pulang. sekilas mendengar suara dari toa masjid

".............
jangan berharap pada manusia
betul deh!!!
jika berharap pada manusia kita hanya akan kecewa
berharaplah pada Alloh
.............."



what a long day

***

"Andai dakwah bisa tegak dengan seorang diri, maka tak perlu Musa mengajak Harun. Tak perlu pula Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menemani Hijrah. Meskipun pengemban dakwah adalah seorang yang ‘alim, faqih, dan memiliki azzam yang kuat, tetap saja ia manusia lemah yang akan selalu membutuhkan saudaranya. Peliharalah saudaramu, jangan abaikan keberadaannya di sisimu, sebab mungkin ialah bagian dari lingkaran doa yang melingkupi langkahmu."

***

Kawan, mari. Sekali lagi, di waktu yang masih tersisa ini, kita kembali untuk berjuang dan memperjuangkan. Teladan Daarussalaam. Semoga dapat menghapus dan menutup salah demi salah di masa lalu. Semoga, langkah kita selalu diberkahi Allah Ta’ala. Dan semoga kita ditunjukan dan diteguhkan di jalan yang lurus.

***

[Comming Soon]

SEKOLAH KSAI-[Mari beramal ilmiah dan berilmu amaliyah]

(Adnan R.)

Para Perantara

13 November 2011 at 20:12
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

"Teman, kita semua tahu begitu banyak persimpangan yang harus kita lalui. Sebelum akhirnya nanti, kita kan temukan apa yang kita cari. Kita semua tahu, ketika kita telah mengazzamkan diri di jalan ini, setiap pilihan adalah rangkaian Sandiwara Langit yang hanya akan kita raba-raba, dan akan terkuak bagian akhirnya di ujung laga."

Ini adalah tahun keenam, terhitung dari tetesan air mata yang mengawali masa pencarian. Aku benar-benar sadar, kisah ini tidak hanya berkaitan dengan diriku semata. Semua ini tentang teman-teman, malaikat tak bersayap yang meneguhkan diri untuk tetap berjuang diantara gemulai ketidaksempurnaan.

Semakin jauh kita berjalan, sering kita merasa terjebak dalam setiap 'kebetulan yang menyenangkan'. Bertemu secara tiba-tiba, berjumpa di waktu yang tidak disangka-sangka. Merasa tak mengenal, walau akhirnya kita bersama mengayuh ini perahu, ini kapal. Kita semua tahu, kita berangkat dari dermaga yang berbeda, lalu berlabuh, dengan sedikit keluh, lalu terdampar di ujung pulau yang jauh -sangat jauh- yang kita sendiri tak mengenal sungguh.Ada kalanya kita tergoda untuk mengumpat, mengutuk keadaan yang teramat berat. Tapi kita sadar, kita bukan orang pertama yang harus menanggung beban ini tanpa arahan. Kita bukan pula orang terakhir yang tidak tahu lagi kemana perjuangan ini harus diwariskan. Kita semua benar-benar paham, kita hanya-lah makhluk perantara yang akan terus berkarya. Meski kita semua tahu, perjalan ini layaknya yang di kata "ujungnya jauh, pangkalnya belum tiba."

Satu waktu, saat bersama tentu, kita kadang ingin mengakhiri langkah ini, dan memilih berjalan sendiri-sendiri. Saat bersama, terlalu banyak kesalahan terakumulasi, dan terlalu banyak pemakluman yang sering mengorbankan idealisme pribadi. Tapi kita tersadar, kita hanya-lah makhluk perantara, yang mencoba mempertemukan potensi yang kita miliki dalam bingkai amal jama'i. Tentu, kita tahu, gelegar kebermanfaatan agama ini takkan pernah tersiar jika kita teriakkan seorang diri. Kita sadar, kita makhluk perantara, yang terus mencoba saling melengkapi diantara ketidak sempurnaan dan kealpaan kita yang terus saja masih terjadi.

Teman, tak jarang "riak yang kecil menggoyang perahu kita", mencoba seberapa kuat kita bertahan. Kita sadar, perahu yang kita naiki begitu rapuh, dan beberapa kali serpih-serpih bagian kapal telah terkikis terjatuh. Kadang kita berpikir, mungkin bukan karena deburan ombak, atau hempasan riak, yang akan membuat kita tenggelam. Tetapi rapuhnya kapal, terlalu penuhnya muatan yang akan mengancam perjalanan kita ke depan. Tapi kita semua tahu, kita hanyalah makhluk perantara, yang hanya terus diminta untuk menjadi penopang bendera perjuangan yang telah lama dikibarkan. Kita sadar, kita hanya makhluk perantara, yang kadang dituntut menjadi bagian kapal yang hilang, atau menjadi bara yang merah menyala, yang memastikan bahtera ini tetap bergerak ke tujuan akhirnya.


 Di tengah perjalanan, ada kalanya kita kecewa pada nahkoda. Kita tahu, ia yang sering memaksa kita untuk bergerak taat, yang meminta kita berbagi tempat. Kita tahu, ia pun merasa berat, ketika harus pastikan setiap penumpang dapat tempat. Ada kalanya ia, memaksa kita untuk berbuat yang tidak kita tahu apa yang kelak nantinya kita dapat. Kadang kita berpikir ia hanya memerintah, dan tak peduli akibat. Ia buat kita semakin tertekan, dan kadang tak peduli dengan semua yang kita rasakan. Namun kita sadar, kita hanya makhluk perantara. Kita memilih bersama, karena Allah semata. Tentu kita takkan biarkan diri untuk tak lagi bersama, hanya karena manusia. Kita hanya makhluk perantara, yang memilih berjuang bersama bukan karena manusia, tentu jika akhirnya nanti kita harus pergi, itu semua kembali karena Allah ta'ala.

Kini, saat kita hampir putus asa dengan semua yang menerpa, kita bersusah-sungguh untuk tetap jujur dengan iman kita. Menguji keyakinan kita, pada janji Tuhan yang kadang lewatkan begitu saja. Kadang kita mengeluhkan manusia, pada manusia yang sama, dan melupakan Dzat Penciptanya. Tak jarang kita meratapi kenyataan, yang hanya menunggu untuk kita ikhtiarkan semata. Di ujung gelap ini kadang kita tergoda untuk berhenti, dan mengakhiri perjalanan menanjak yang kita daki. Namun kita teringat, bahwa kita hanya makhluk perantara. Kita tahu bahwa kejayaan Islam akan tetap tercipta, dengan atau tanpa kita. Kita mengingat lagi, bukanlah agama ini yang butuh kita, tapi kitalah yang membutuhkannya.  Kita benar-benar sadar, bahwa kita hanya makhluk perantara, yang hanya bertugas untuk tetap berjuang dan memperbaiki keadaan, dan kelak menjadi pandu peradaban.

Minggu, 24 Agustus 2014

Yang Tak Terlupa (part 1)

[Tentang Bagaimana Mereka Menyentuh Hati Kami]


Banyak orang yang bisa menuntut seseorang untuk berbuat ini itu
Tapi tidak ada yang bisa menuntut hati untuk mencintai apa dan siapa

Saya akan memulai tulisan ini dengan pengertian kader. Kader menurut KBBI adalah orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam sebuah organisasi. Sedangkan pengaderan adalah sebuah proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Kaderisasi sering dipandang sebagai hal yang paling penting dalam sebuah organisasi. Kaderisasi memegang peran untuk regenerasi, untuk menumbuhkan tunas-tunas baru demi keberlanjutan sebuah organisasi.
               
Dan ilmu maupun praktek kaderisasi yang bagi saya paling ‘terasa’ adalah masa-masa SMA, ketika saya masih menyandang status sebagai siswi SMAN 1 Yogyakarta. Praktek kaderisasi yang saya mengalaminya; mulai dari kami (saya dan teman-teman) di’kader’ hingga masanya kami yang mengader. Seperti halnya di organisasi lain, kami pun disini melalui banyak step atau fase dalam pengaderan.
              
Namun ada satu hal yang mungkin dalam proses pengaderan, organisasi lain tidak memilikinya, atau memiliki namun belum sebaik apa yang saya rasakan  ketika berada di SMA. Ada satu hal yang bagi saya sangat melekat tentang bagaimana senior-senior terbaik saya dulu mengader. Ada satu rahasia yang mungkin mereka (senior-senior saya) tak menyadarinya,tapi saya merasakannya. Senior-senior terhebat saya itu berhasil mengader hati kami (mungkin bahasa mangader hati kurang tepat, tapi begitulah, susah juga mendeskripsikan rasa yang memang tidak terdeskripsi hanya dengan sebaris kalimat).
               
Bagaimana caranya hingga mereka dapat mengader hati kami? Tentu bukan perkara mudah. Hal itu saya rasakan ketika berada di kelas XI, dimana tongkat estafet berganti, dimana saya dan teman-teman lah yang akhirnya mengambil peran dalam mengader itu.
                
Di SMA1, kami sering berhubungan, berkomunikasi, ataupun bercanda dengan senior tanpa 'senioritas'. Pada masa awal mengenakan seragam abu-abu, kami bertemu mas dan mbak pendamping, kemudian di “Gravitasi” (meminjam kata adek kelas) bertemu dengan mas dan mbak pansus, dan setelah itupun bertemu dengan mas dan mbak mentor (Di Teladan kami jarang gunakan istilah kakak-kakak). Tidak hanya pertemuan dalam forum, pun ketika dalam organisasi antara Pengurus Inti dan Staff pun terjalin rasa persaudaraan yang erat. Sampai bahkan ketika di sienom saya (ekskul) kami sering berkata “Kita mungkin jadi alumni Teladan, tapi nggak ada alumni Sigma. Sigma 33 ya Sigma 33, bukan alumni Sigma 33”. Begitulah mungkin sedikit gambaran bagaimana rasa persaudaraan mengikat kami.
               
Ya,tugas para senior bukan untuk memarahi junior, mengatur dengan otoriter, ataupun memberi tugas-tugas sulit, melainkan membimbing dengan hati, mengenalkan kami akan makna sebuah keteladanandan kebersamaan (ukhuwah).
                
(Kali ini saya mengambil contoh pansus dan pendamping). Para pansus dan pendamping itu tentu tidak langsung datang tiba-tiba, ‘pedekate’ dengan junior, jadi senior yang manis-manis supaya junior dekat dengannya, tidak. Ada prosedurnya, ada prosesnya. Dan tentu mereka bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang pilihan. Orang-orang pilihan karena mereka nantinya akan mendampingi generasi-generasi terbaik pilihan pula, yaitu adik-adik kami.
               
Setelah melalui proses pelobian, meyakinkan akan komitmen, mereka harus pula mengikuti berbagai rangkaian training atau pelatihan yang berlangsung hingga kurang lebih tiga bulan lamanya. Rela mengorbankan waktu sepulang sekolah, bahkan sedikit mengambil waktu rapat untuk membekali diri dengan ilmu demi sang adik yang bahkan mereka belum tahu siapa. Ya, semua itu mereka lakukan jauh sebelum adik-adik kami datang, bahkan mungkin calon adik-adik kami masih duduk manis dibangku SMPnya.
               
Ilmu tentang bagaimana menyentuh hati, bagaimana mengelola forum, ilmu tentang syahadatain,aqidah, akhlak, ukhuwah,  sejarah islam dan dakwah di sekolah, hingga hubungan ikhwan akhwat. Untuk apa semua itu? Agarmereka ketika bertemu dengan adik-adik nanti tidak ‘kosong’. Agar mereka ketika bertemu adik-adik nanti siap menjadi ‘sumur’ yang siap diambil airnya oleh adik-adik. Agar mereka ketika bertemu dengan adik-adik nanti menjadi sosok yang lembut, tangguh, dan berwawasan luas, sehingga adik-adik kami tidak sungkan bila ingin berceloteh tentang apa saja, bahkan mencurahkan isi hatinya. Dan tentu saja, mereka dibekali dengan slogan sekolah kami, 6S (senyum, salam, sapa,sopan, santun, dan sederhana). Sehingga ketika adik-adik menemui seniornya,selalu ada senyum dan raut ramah menyapa, yang menghadirkan kerinduan untuk bertemu kembali dalam forum maupun perjua\mpaan informal lainnya.
               
Dari kerinduan itulah maka muncul cinta. Cinta yang tersebab oleh kuatnya hati mengikat. Meski tak jarang setelah beberapa pekan berlalu, adik-adik dalam lingkaran mereka berkurang. Ada yang harus izin karena mengikuti latihan rutin sienom ini, sienom itu, les ini, les itu, dan sebagainya. Tapi tak mengapa, bagi mereka kuantitas bukan yang utama meski termasuk dalam perhitungan parameter. Mereka tak pernah memaksa dengan tuntutan, mereka menasehati dengan sepenuh hati, mereka mengingatkan dengan senyuman.
               
Maka setelah beberapa pekan, terlihatlah sesiapa yang sungguh-sungguh. Terlihatlah sesiapa yang begitu kuat ikatan hatinya, yang begitu rindu untuk bertemu dengan lingkaran-lingkaran yang terlingkup sayap malaikat. Setiap pekan bertemu, bercerita, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Setiap pekan mereka membimbing, mereka menasehati, mereka membersamai. Tak jarang karena kemurahan hati mas dan mbaknya, adik-adik pun mendapat traktiran, meski hanya semangkuk mie ayam sambil bercengkerama hangat. Begitulah para pendamping, mendampingi,dan memberi arti…
               
Pun sama dengan pansus. Sesi pansus adalah momen yang paling dinantikan bagi para peserta “Gravitasi”. Ketika sedang berlelah-lelah dengan sesi pleton, maka pansus hadir, mendengarkan curhatan adik-adik, memberi solusi, dan mengingatkanakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Bahkan ketika ada adik yang tidak  melakukan tugasnya, ada adik yang terlambat, maka mas mbak pansus inilah yangmenanggungnya. Setiap menit keterlambatan si adik maka satu ‘seri’ pun bertambah. Saya pikir “Gravitasi” ini adalah program dan ‘skenario’ nyata terbaik sepanjang saya SMA.
              
Maka dari kedekatan yang berbuah rindu, dari rindu yang menyebabkan cinta, ukhuwah itub ukan hanya sebagai teori, tapi lebih pada praktek yang sedang dijalani. Begitulah mereka, tak cukup ‘mengajak’ lewat lisan. Tapi mereka juga ‘mengajak’ dengan halus, dengan keteladanan yang mereka ajarkan.

Maka meski telah tiga tahun berlalu semenjak saya pertama kali mengenal Teladan, perjumpaan dengan senior-senior terhebat saya itu tidak pernah terlupakan. Maka meski telah tiga tahun berlalu, tak jarang kami berkirim sms sekedar mengatakan betapa rindunya kami.

Barisan kalimat ini ditulis ditengah kesibukan saya menyeka bulir bening yang jatuh dari pelupuk mata. Tulisan ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, yang kini mungkin akan dihadapkan dengan fase kaderisasi di kampus. Tulisan ini menjadi pengingat bagi saya,bahwa banyak sekali hal-hal yang saya dapat di Teladan, dan itu tak pernah tertelan waktu. Tulisan ini menjadi pengingat bagi saya, bahwa meski sudah menjadi alumni Teladan, keteladanan itu harus tetap ada, harus tetap kita bawa di bumi manapun kita berpijak.


Solo, 15 Agustus 2014.
 Khoirunisa Amrullah
Tld-13             
              


Jumat, 15 Agustus 2014

Cawan Air Di Tanah Gersang

[Menemukan Bagian Dari Dakwah yang Hilang]
15 Juli 2011

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

“Apakah yang lebih besar daripada iman?” Kata sosok itu dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana aku tahu sesungguhnya ia agak sedang bersedih.

“Aku tak tahu,” kataku. Tenggorokanku terasa sangat kering. Terik matahari menyengat, aku berada di sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya.
Tiba-tiba, aku ingin melihat sosok itu… dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan wajah yang agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya aneh yang justru tak membuatku merasa silau – tapi teduh. Kulitnya bersih, badannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan.

Sekali lagi ia tersenyum. Senyum yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku.

“Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?” katanya seperti mengulang pertanyaan pertamanya.

“Aku tak tahu,” aku menjawabnya dengan kata-kata yang sama.
Lalu ia memberiku minuman. Ia seolah tahu bahwa tenggorokanku terasa menyempit, haus yang hampir membakar rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih… “Minumlah,“ katanya, “kau sangat membutuhkannya.” Lagi-lagi, ia tersenyum.

Aku pun segera meminumnya. Ada dingin yang mengalir di tenggorokanku, mengalir menjadi damai di hatiku, membebaskan sel-sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai menghidupkan lagi sel-sel yang mulai mati di tubuhku. Aku merasakan kesegaran yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka. Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan-pelan, angin menerbangkan helai-helai daun yang kering, rumput-rumput bersemi, bunga-bunga mekar- wewangian membebaskan segala bentuk penderitaan.

Lalu kutatap lagi sosok lelaki yang tampak agung itu: Muhammad. “Kebaikan,” katanya tiba-tiba, “melebihi apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.”

Seketika, langit hening, bumi hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan-pelan, ia melangkah pergi, menjauh meninggalkanku.

“Apakah yang lebih besar daripada iman?” bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman? Aku
menatap punggung Muhammad yang menjauh… terus menjauh.

“Kebaikan? Barangkali inilah kebaikan” kataku dalam hati, “budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatmu merasakan kebahagiaan yang membebaskan dank au takkan pernah rela ditinggal pergi olehnya.”

Entah mengapa ada perasaan sedih yang teramat dalam saat ia meninggalkanku di tempat itu sendirian. Aku benar-benar tak rela melepasnya pergi… aku menatap punggungnyadan memanggilnya kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh… menjelma sunyi, meninggalkanku.

Dikutip dari novel Menatap Punggung Muhammad karya Fahd Djibran, Penerbit Litera Pustaka (2010).

***

Dimensi waktu berputar kembali, menuju di abad ke 6 Masehi. Di sebuah bukit gersang di sebelah kota Makkah. Nampak kerumunan yang mulai saling berbisik, entah apa yang membuat mereka tampak keheranan – tampak heboh, seakan baru saja ada keadaan yang menuntut mereka melakukan sebuah perubahan besar.

Ada seseorang yang belum beranjak dari berdirinya di atas batu, seseorang yang bersahaja, dengan cahaya teduh di raut wajahnya. Ia nampak begitu tenang, begitu bijaksana. Semua bisikan dan sudut mata mengarah padanya.

Tiba-tiba, menyeruak dari belakang, ada suara lantang yang dari salah seorang yang hadir di siang itu, “Sungguh, Muhammad, kami tidak mendustkan apa yang engkau, akan tetapi kami mengingkari apa yang engkau bawa!”

Tampaknya, teriakkan itu mengagetkan semua orang, termasuk si Pusat Perhatian. Siapa menyangka, teriakan itu merupakan sebuah deklarasi yang kelak akan membawa dampak yang luar biasa bagi kota lembah di Saudi Arabia itu. Siapa akan mengira, teriakkan itu kelak akan dirindukan. Bagaimana tidak, teriakkan itu adalah sebuah perlambang keengganan manusia untuk berubah, tetap cenderung pada kebiasaan dan budaya yang menipunya sekaligus juga sebagai perlambang adanya pengakuan pada kepribadian agung sosok manusia yang menyerunya. Terpujinya akhlak takkan pernah tertolak.

***

Imam An-Nawawi, salah seorang ulama terkemuka yang menjadi rujukan ummat di berbagai tempat, mengumpulkan hadits-hadits pilihan yang menjadi pilar-pilar penting dalam agama Islam. Tentu, kita semua tahu, ialah Hadist Arbain, hadits yang empat puluh (meski jumlahnya tidak tepat empat puluh) sebagai sebuah pengingat bagi ummat dalam memperdalam pokok-pokok agama ini. Dalam hadits yang kedua, dalam sebuah hadits yang cukup panjang diceritakan tentang kehadiran orang asing (yang kelak diketahui bahwa ia adalah Malaikat Jibril) yang mengajarkan kepada para shahabat mengenai 3 unsur pokok dalam beragama. Pertama, sebagai landasan pengakuan ialah Rukun Islam yang lima. Kedua, sebagai sebuah landasan kepercayaan, ialah Rukun Iman. Sayangnya, yang ketiga ini tak terlalu ‘terkenal’ dibandingkan rukun yang sebelumnya, seolah kita kini terlupa: Ihsan.

Dalam hadits tersebut, Ihsan didefinisikan sebagai “beribadahlah padaNya seolah-olah engkau melihat Allah, jika tidak, maka yakinilah bahwa Allah melihatmu.” Iniliah puncak dari kehidupan beragama, sebuah bentuk kematangan kualitas dalam berbuat sesuatu: kebaikan. Tentunya, prinsip ‘puncak’ ini tidak bermaksud meninggalkan fondasi yang ada di bawahnya. Islam merupakan bentuk deklarasi, penegakkan identitas, lalu diikuti dengan iman yang melingkupi keyakinan. Ihsan, merupakan sebuah pembuktian, parameter kualitas, dan bentuk kesempurnaan seseorang dalam menjalani agama ini. Ber-ihsan, menebarkan kebaikan sebagai sebuah keniscayaan ber-Islam dan ber-Iman.

Sayangnya, kebaikan ini seakan menjadi ‘barang yang hilang’ dari ummat ini. Jika diibaratkan dalam cuplikan novel di atas tadi, kondisi ummat ini tak jauh berbeda dari si Aku. Bumi ini gersang, bumi ini panas dan gerah, kering kerontang. Panas mentari yang membakar, hawa kering yang menembus tulang, tenggorokan yang menyempit memperparah kesendirian dan kesedihan yang dialami seseorang. Pertanyaan-nya: apa yang kemudian kita lakukan? Dakwah tercipta, tentunya dengan membawa Islam sebagai solusi bagi semua. Sayangnya pada tataran kenyataannya, apa yang berlaku tak selalu begitu. Begitu banyak godaan, begitu banyak alas an yang membuat semua itu terhambat: kita melupakan akhlak, melupakan kebaikan.
Satu hal yang menjadi ironi adalah tentang jumlah ummat Islam dan kekuatan membangun peradaban di atas muka bumi. Dulu, rasulullah mengawali syiar Islam dari seorang diri. Ia adalah satu-satunya orang yang memeluk agama Islam di atas muka bumi. Sedangkan jumlah ummat Islam yang melimpah telah ada kini. Sayangnya dari begitu besarnya jumlah yang dimiliki, belum mampu untuk menjadi pelopor peradaban di bumi ini. Pertanyaan-nya adalah bagaimana sebenarnya kualitas kita sebenarnya? Kita harus mengaca diri, baik kita sebagai ummat maupun kita sebagai du’at, sebagai da’i. Syahadat yang terucap, hingga iman di dalam hati, harus kita pahami sebagai sesuatu yang selalu menuntut bukti. Ya bukti, kebermanfaatan kita sebagai khalifah yang memakmurkan bumi.

Kebermanfaatan inilah sebuah bentuk nyata dari ihsan yang didasari oleh iman dan islam. Salah satu contoh yang patut kita pelajari adalah mengenai salah satu pembuktian iman. Rasulullah pernah menyatakan bahwa iman diproyeksikan dalam spektrum amal yang sangat luas, meskipun hanya berupa kontribusi di jalan dengan menyingkirkan duri. Walaupun hanya sebuah tindakan sederhana, menyingkirkan duri adalah sebuah I’tikad kebaikan yang mengandung nilai universalitas amal yang luar biasa. Buktinya, ketika menyingkirkan duri atau batu di jalan, apakah kita pernah memikirkan siapa yang akan terselamatkan nantinya? Apakah kita menyingkirkannya dengan harapan yang selamat adalah orang yang kaya atau miskin, yang tua atau yang muda, atau bahkan agamanya apa pun tidak perlu kita pikirkan, yang terpenting bagi kita adalah saat kita berpeluang, maka kebermanfaatan itu harus kita wujudkan. Ini layaknya bentuk dari dakwah kita, kewajiban kita adalah menebarkan kebaikan, akan tetapi kepada hati siapa benih kebaikan itu tertaut dan tumbuh menjadi hidayah maka biarlah Allah yang mengaturnya, itu bukan wewenang kita.

Kebermanfaatan adalah prinsip utama dalam berdakwah. Implementasi nyata dari kebermanfaatan ini menuntut kita merangkai kembali pemahaman kita tentang dakwah: bahwa dakwah tidak hanya mengajak, tetapi juga memberi. Prinsip ini hendaknya kita pahami sebagai sesuatu yang tak terpisah dari kebutuhan ummat. Kali ini, kita juga harus introspeksi. Berapa banyak alasan yang kita buat untuk menghindarkan diri dari memberi. Kadang terlalu banyak logika dan pembenaran yang menghambat kita untuk beramal. Betapa ada, orang-orang diantara kita yang justru mencari jalan lain, sesaat ketika akan bertemu mad’u-nya hanya karena takut dianggap asing, karena baju koko yang kita pakai, atau kopiah yang terlanjur kita kenakan. Betapa banyak saudari-saudari kita yang memilih untuk untuk memalingkan muka, bukan karena semata-mata ingin menjaga pandangan, tetapi karena perasaan enggan melihat realita yang sebenarnya: bahwa ummat membutuhkan kita, menanti karya-karya kita. Atau bahkan, dengan pembenaran iman, justru kita korbankan kesempatan kita untuk memberi, menebar kebaikan.

Semangat memberi ini, yang semakin lama semakin luntur dari perjuangan dakwah kita, berganti dengan semangat mencaci, berprasangka, tanpa tahu yang sebenarnya apa yang dinantikan ummat, objek dakwah kita, sekuntum kebaikan. Ketika mereka hanya butuh peringatan dan pemahaman, kita kutuk keras mereka dengan teriakkan dan slogan-slogan penuh kebencian, dengan alasan mereka sudah tak terselamatkan, mereka sudah jauh dalam keingkaran. Hal ini hanya akan menyisakan luka dalam hati, takkan benar-benar dapat berarti dan mengubah perilaku yang terjadi. Ketika mereka butuh persaudaraan, kita beri mereka dengan salam. Sayangnya, sering kita gagalkan salam kita hanya dengan alasan takut dakwah kita tertolak di awal masa. Ketika mereka menengadahkan tangan, kita beri mereka dengan potensi harta, yang sayangnya sering kita gagalkan dengan prasangka: jangan-jangan akan ia gunakan untuk mabuk-mabukan? Bahkan, ketika ia hanya membutuhkan ajakan, ajakan sebagai sebuah pertanda dianggap sejajar sebagai manusia, seringkali kita nafikkan dengan alasan “maaf, sepertinya dia belum fasenya, takutnya ia belum paham”.
Kita, semua, harus berubah. Pemahaman Islam yang kamil (sempurna), harus diikuti dengan pemahaman Islam yang juga sebagai agama yang syamil (menyeluruh). Menyeluruh tidak hanya dari segi bidangnya, tetapi juga dari segi lingkup penerapannya, yakni identitas (Islam), keyakinan (iman), serta peran kebermanfaatan menebarkan kebaikan (Ihsan).

Jika parsialnya pemahaman kita dalam berdakwah dan mensyiarkan agama kita tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pandangan-pandangan terhadap Islam (yang jelas telah dijamin kesempurnaanya oleh Allah ini) semakin jauh dari potensinya untuk menjadi pelopor peradaban, bukan karena persoalan ajaran, tetapi karena perilaku ummatnya yang justru menjauhi kebaikan. Kebaikan, dalam lingkup kebermanfaatan, adalah bagian yang hilang dari dakwah kita yang menunggu untuk kita temukan. Tentu, kita bisa beralasan semua ini butuh waktu, tapi jangan pernah salahkan ummat yang tak sabar lagi menunggu. Menunggu terpujinya akhlak, yang takkan pernah mampu tertolak. Mari, kita belajar dari nabi kita, yang telah menjadi orang terpercaya jauh sebelum menyampaikan risalahnya. Pada akhirnya (semoga hal ini tak benar-benar terjadi nanti) jangan sampai terlontar kata-kata dari orang-orang di sekitar kita:

“Wahai para da’i, kami mendustakanmu karena akhlakmu. Tapi Sungguh kami tak mengingkari yang kau bawa, yaitu Islam ini, sebagai sebaik-baik agama.”


Serial Generasi Cinta #7

[Epos Perjalanan Cinta]

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

Hidup layaknya mengembara di tengah hutan belantara. Kadang ada pertanda alam yang tersaji lengkap di sekitar kita, namun karena terlena maka semua itu seolah sirna. Kita tersesat dalam hidup yang melelahkan, kehilangan arah dan tujuan. Tak ada habisnya jarak yang kita tempuhi, maka jurang yang curam atau binatang yang buas lah yang kita temui.

Hidup ibarat mengarungi samudera luas tanpa batas. Yang menyisakan ratusan pilihan yang hadir bersamaan, seolah setiap kejadian senantiasa ada untuk menguji pemahaman medan. Tidak pernah kita sadari bisa jadi betapa jauh kita telah mengingkari rute awal yang kita tentukan sebelum bahtera kita naiki. Maka cukuplah hempasan gelombang yang datang dengan kejam, atau terjebak dalam jeratan palung yang teramat dalam, yang membuat sekali lagi kita berpikir kemanakah kita akan menuju, dan dari mana kita berawal.

Perjalanan hidup manusia adalah sebuah epos yang senantiasa hadir penuh kebijaksanaan. Karena kita yakini bahwa cintalah yang akan memandu kita menjalani kehidupan ini. Maka pemahaman kita tentang cinta menjadi mutlak adanya. Bukan terjebak dalam hegemoni dan romantisme diri. Karena cinta bukan dilihat dari indahnya gegap gempitanya, tetapi bagaimana prosesnya mampu melahirkan seorang pejuang untuk bangkit mengambil peran. Bahwa cinta tak sekedar menuntun seorang hamba asyik khusyuk dalam mahligainya, tetapi bagaimana ia menghargai dirinya lewat persembahan yang terbaik untuk TuhanNya. Bahwa cinta adalah kata kerja, begitu salah seorang saudara kita berkata.

Maka pertama kali, cinta harus meneguhkan kita pada tujuan perjalanan. Inilah pokok pertamanya. Bukanlah cinta jika membuat kita justru terjebak dalam tempurung kesibukan tanpa makna. Bukanlah cinta jika membuat kita justru nyaman dalam euforia amal namun miskin substansinya. Karena cinta memperjelas asas perbuatan kita, capaian apa yang kita kejar dari sebuah kerangka amal yang tercipta. Karena cinta adalah masalah orientasi, visi yang menjadi tujuan segenap pikiran, perasaan, dan fisik ini. Bahwa setiap diri ini tak cukup jika hanya ikut bersama dengan sekumpulan manusia tanpa paham kemana arah pergerakan. Bahwa cintalah yang akan memandu langkah penuh kesetiaan.

Maka untuk yang kedua, cintalah yang akan memahamkan pada kita tentang tangga-tangga yang harus kita daki. Bahwa setiap perjalanan adalah proses yang memiliki karakteristik khas dan ciri. Setiap perjalanan yang telah ditentukan tujuannya senantiasa memiliki tahapan guna mencapainya. Dan setiap ciri senantiasa membutuhkan pemahaman, kapasitas, fungsi, dan kompetensi nya sendiri-sendiri. Cintalah yang mengajarkan pada kita bahwa kesetiaan kita pada tujuan akan diuji dengan ketelatenan kita melewati satu demi satu anak tangga. Di mana takkan ada anak tangga yang bisa kita loncati, kecuali jika nanti kita terkilir atau terjatuh hingga terpaksa harus langkah diulangi. Cintalah yang mengajarkan pada kita, bahwa kesetiaan pada tujuan takkan cukup jika tidak dibarengi dengan kepekaan diri membaca situasi. Bahwa cinta yang membuat kita tidak terdistorsi oleh keadaan, namun juga tak pula menjadi serba kaku dan terasing oleh zaman. Bahwa dengan cinta kita akan menjadi selalu kompatibel mengikuti setiap arah perputaran roda zaman, namun tak membuat kita kehilangan tujuan.

Maka untuk yang ketiga, cintalah yang akan memaksa kita mengambil peran, tak banyak mengeluh, dan terus berjuang mengoptimalkan setiap potensi dan kesempatan. Bahwa cinta membuat kita senantiasa bergairah dengan kerangka amal, mendayagunakan setiap kemampuan untuk menggerakkan diri mencapai tujuan, serta senantiasa sibuk dengan produktivitas dan kebijaksanaan. Bukanlah cinta jika membuat kita berpangku tangan, meratapi nasib diri dan dirundung kesedihan. Sepahit apapun keadaan, selalu ada cinta yang senantiasa membuat kita mencari celah untuk beramal. Namun cinta juga tak membuat kita buta dan berkeras hati. Cintalah yang mengajarkan kita untuk senantiasa mengevaluasi diri, seberapa efektif dan efisienkah strategi yang kita jalani. Cinta juga yang membuat kita senantiasa memastikan bahwa setiap amal ini akan memenuhi kebutuhan zaman, dan mengarahkan kita pada tujuan. Cinta pula yang membimbing kita mampu secara bijak membedakan mana tujuan, mana tahapan, dan mana sarana yang kita gunakan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan pada kita tentang al Ghoyyah, tujuan asasi atas sebuah keadaan ideal yang sama-sama kita rindukan. Sebuah tujuan yang menjadi parameter keberhasilan, suatu tujuan akhir yang dinantikan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan kita al ahdaf, sebuah tahapan yang harus kita lalui guna melangkah ke tujuan. Sebuah capaian operasional dan langkah-langkah sistematik sebagai sebuah keniscayaan proses dan lambang sunnatullah akan adanya perkembangan alamiah dari sebuah perjalanan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan kita al wasilah, cara / sarana prasarana yang menjadi kendaraan paling optimal untuk menempuh perjalanan. Sebuah bentuk pertanggungjawaban kita melalui kemampuan kita memetakan kebutuhan, menentukan alat paling efektif dan efisien, serta kefokusan mengambil peran.

Maka jadilah cinta sebagai penuntun dalam perjalanan panjang. Tak akan relakan diri ini kehilangan orientasi, tak jua ingkari adanya proses yang mesti kita jalani, hingga pastikan kita menggunakan kendaraan paling sesuai untuk menempuh pengembaraan panjang ini.

Kamis, 14 Agustus 2014

Mahasiswa, Realita, dan Schizophrenia

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Mungkin ini bukan lagi masanya Iwan Fals untuk bernyanyi tentang keadilan dan lagu-lagu kerakyatan. Apalagi masa-masa Soe Hok Gie untuk bericara tentang perjuangan mahasiswa melawan rezim pemerintahan. Bukan juga masanya Ronggowarsito untuk mnjelaskan rancangan pemikirannya mengenai apa itu Zaman Edan. Ini masa para mahasiswa yang sibuk dengan riset-riset mutakhir, penelitian yang menggagas teori-teori mumpuni, serta perjuangan mereka untuk memenuhi tuntutan akademis yang tinggi. Tidak ada lagi istilah mahasiswa turun ke jalan, parlemen jalanan, apalagi seruan-seruan reformasi dan kritik-kritik tajam pada para pejabat yang bertugas mengelola kepercayaan rakyat. Selamat datang di dunia mahasiswa masa kini, realita pendidikan tinggi yang diciptakannya sendiri.

Dunia Mahasiswa: Mencipta Realita?

 Adanya dorongan yang begitu kuat pada mahasiswa untuk menggeluti dunia akademis dengan maksimal dan menjadikannya sebagai prioritas utama lebih dari yang lain, entah tersistematis atau tidak, telah membawa kehidupan mahasiswa pada tugas-tugas pokoknya sebagai seorang konsumer sekaligus produser ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari dunia riset sebagai tulang punggung ilmu pengetahuan. Tugas-tugas ini telah membentuk budaya baru dalam kehidupan mahasiswa saat ini. Budaya ini berpengaruh pada orientasi studi, orientasi kegiatan-kegiatan yang dipilih selama proses perkuliahan, masa waktu studi, hingga ke proses pengambilan keputusan pasca studi, baik untuk ke dunia kerja hingga ke keputusannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun secara umum, perubahan yang paling mendasar tren mahasiswa masa kini adalah perubahan orientasi studi dan apa yang mereka lakukan selama mereka duduk di bangku perkuliahan, tentang skill apa yang mereka pilih, tentang waktu-waktu yang mereka habiskan, dan tentang penelitian yang mereka jalankan.

Salah satu tugas terberat sebuah penelitian, adalah membawa keadaan yang terjadi sebenarnya, atau kita sebut sebagai realita, mendefinisikannya, merangkaikannya dengan fenomena lain, merumuskan permasalahannya, lalu mengkonduksi sebuah proses empiris untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Atau dalam bahasa sederhana, sebuah penelitian adalah realita-sentris: dari realita, oleh realita, dan untuk realita. Penelitian, sebagai sebuah metode empiris yang “dikultuskan” dalam perkembangan ilmu pengetahuan, hakikatnya berfungsi sebagai perumus permasalahan yang ada pada kehidupan manusia sehari-hari, pembuat solusi, dan mengimplementasikannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Tampaknya pengertian ini harus dikembalikan ke pengertian awalnya. Suatu pengertian yang menegaskan bahwa apapun kegiatan yang kita lakukan, tidak pernah terlepas dari realita yang kini ada, realita dalam masyarakat di sekitar kita.

Memperlihatkan Gejala Schizophrenia

Masalahnya, realita-sentris yang saat ini digandrungi dan menjadi tren mahasiswa masa kini, justru menjadi belenggu yang membuat mahasiswa menjauhi realita yang sesungguhnya, realita masyarakat di sekitar kita. Satu penjelasan unik mengenai penyakit schizophrenia tampaknya patut kita pertimbangkan sebagai sebuah penjelasan yang cukup menggambarkan permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Sebagai sebuah psychological disorder, salah satu kondisi terparah yang dihadapi penderita schizophrenia adalah ketika mereka mulai menyadari adanya “realita yang lain” hingga mencapai keadaan ketidakmampuannya membedakan mana realita yang sebenarnya dan “realita yang lain” itu. Ketika seorang penderita telah masuk ke dalam fase tidak mampu membedakan mana realita yang sesungguhnya dan mana “realita yang lain” itu, secara resmi penderita tersebut mengalami schizophrenia yang sesungguhnya, pikiran yang pecah, jiwa yang terbelah. Kekhawatiran terbesar yang saat ini layak untuk mulai kita pikirkan adalah tentang kondisi mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang mulai menyadari adanya realita yang lain berupa kehidupan akademisnya semata, kita yang mulai kehilangan kesadaran akan realita di masyarakat yang sesungguhnya.

Kesadaran-Kepekaan-Kepedulian Mahasiswa: Sebuah Konklusi

Tanpa bermaksud untuk menyandingkan mahasiswa dengan penderita schizophrenia, atau merendahkan saudara-saudara kita yang tidak seberuntung kita itu, tetapi kita benar-benar harus belajar memahami realita yang ada secara lebih bijak. Apa kita pernah membayangkan ada di luar sana seorang berusia lanjut mungkin, yang terpaksa menahan sakitnya, tidak bisa berobat karena kekurangan biaya. Ya, ia yang tidak memiliki penghasilan tetap, tinggal di kawasan kumuh, makan seadanya, dan memiliki banyak putra tidak mampu membayar biaya kesehatannya. Ya, ia yang memiliki resiko tinggi untuk sakit, harus membayar sangat mahal untuk pengobatan kanker paru-parunya. Sebenarnya sistem realita macam apa yang bekerja dalam kehidupan kita?


Contoh di atas sengaja berupa keadaan ekstrim yang dipaparkan berbeda dengan apa yang selama ini kita lihat dalam keseharian. Namun sayangnya, meski secara ilmiah belum teruji empiris, contoh di atas adalah sebuah realita. Poin utamanya: Jangan kita lupa, yang tak terlihat belum tentu tak ada, yang tak tersentuh bukan berarti sesuatu yang tidak nyata. Kita, sebagai mahasiswa, harus bisa keluar dari gejala schizophrenik akut yang membuat diri kita dibingungkan oleh realita, atau tertipu oleh sesuatu yang kita lihat saja. Hal ini bukan berarti kita harus meninggalkan ‘dunia ilmiah’ yang saat ini kita jalani, namun kita dituntut untuk lebih bijak memahami situasi. Di penghujung tulisan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah keterangan yang dijelaskan Shaughnessy et all., dalam bukunya Metode Penelitian Psikologi: “Psikolog mengembangkan teori dan melaksanakan penelitian untuk menjawab pertanyaan tentang perilaku dan proses mental, yang jawabnnya dapat berdampak pada individu dan masyarakat.” Ini saatnya kita tersadar tentang apa realita yang sebenarnya terjadi, peka pada tiap disonansi antara idealisme dan realita, dan peduli dengan berkontribusi optimal untuk masyarakat yang menunggu karya-karya kita, mahasiswa.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Pemuda dan Peradaban Islam: Muhammad II al-Fatih

Dalam sejarah ummat Islam, adalah sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda adalah kunci berdiri dan tegaknya peradaban. Jika kita kembali membuka catatan sejarah kita, maka kita akan menemukan sederet nama pemuda besar yang tetap terkenang atas sumbangsih mereka terhadap tegak dan jaya nya peradaban Islam.

Kita patut bersyukur bahwa lembar catatan sejarah ummat Islam tidaklah kosong. Kita masih dapat bertemu dengan Muhammad II Al-Fatih, bahkan menyaksikan jatuhnya benteng Konstatinopel ke tangan Islam pada tahun 1453 melalui catatan sejarah. Kita juga patut bersyukur karena dengan catatan sejarah ini, kita dapat bertemu ulama besar yang ada dibalik sang penakhluk Konstatinopel. Kita tidak boleh lupa dengan Syaikh Aaq Syamsuddin dan Syaikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani. Dua ulama besar dibalik pemuda dan pemimpin yang tercantum dalam hadist Nabi Muhammad sebagai sebaik-baik pemimpin, dan pemimpin sebaik-baik pasukan.

Mari mengenal sosok Muhammad II al-Fatih dengan segala prestasi dan keteladanannya. Ia mampu menghafal Al-Quran, memanah di atas kuda, dan menguasi tujuh bahasa yang berbeda di usianya yang belasan tahun. Tampuk kekuasaan diberikan oleh ayahnya, Murad II, di usianya yang ke-14 dengan segala kematangannya, dan ia menjadi pewaris tahta kesultanan pada usianya yang ke-22. Ia mewujudkan nubuwwat, menakhlukkan Konstatinopel  di usianya yang ke-24. Ia memimpin, menjadi sultan hampir selama 30 tahun. Ekspansi pada masa kepemimpinannya menyentuh Italia Selatan, dan sedikit lagi Roma ditakhlukkan. Muhammad II al-Fatih adalah seorang yang dekat dengan ulama dan ilmu pengetahuan. Ia memiliki perpustakaan khusus, dengan 12.000 buku langka didalamnya. Dan Muhammad II al-Fatih tidak pernah meninggalkan tahajjud dan amalan sunnah lainnya sejak ia memasuki akil baligh.

Muhammad II al-Fatih. Kita berbicara tentang sebuah kapasitas yang dibangun oleh seorang guru kepada seorang murid yang kelak akan mewujudkan nubuwwat, menakhlukkan Konstatinopel. Satu hal yang harus kita sadari dan patut banggakan sebagai seorang Muslim adalah bahwa sistem Islam memberikan petunjuk dan rambu-rambu yang lengkap yang tidak kita temukan pada sistem peradaban lain-kepada para pemudanya, agar kelak ia dapat memberikan pengaruh yang besar kepada dunia. Inilah yang disadari oleh guru Muhammad al-Fatih dan Muhammad al-Fatih sendiri. Kelengkapan sistem Islam yang tercermin dalam pendidikan yang diberikan oleh sang guru kepada sang penakhluk, dan respon yang diberikan Muhammad II terhadap seluruh pengajaran dan apa yang diajarkan, memberikan dampak yang luar biasa dalam pembentukan pandangan (worldview), cita-cita, dan kerja-kerja Muhammad II al-Fatih.

Muhammad II al-Fatih. Sosok kepribadiannya tidak terlepas dari keteladanan yang terbangun dalam dirinya terhadap Rasulullah . Orientasinya terbangun melalui keteladanannya yang mendalam terhadap Rasulullah . Kunci nya adalah obsesi dan tekad yang kuat yang tertanam dalam dirinya, beserta cita-cita untuk mewujudkan nubuwwat, menakhlukkan Konstatinopel. Tanpa keteladanan yang mendalam, takkan ada obsesi, cita-cita dan tekad yang kuat untuk mewujudkan nubuwwat.

Kita mengenal Muhammad II al-Fatih sebagai seorang yang berhasil menghimpun kebaikan yang berserakan diantara para pendahulunya dan lingkungannya, serta menjauhkan keburukan yang tertempel. Ia menjadi magnet bagi setiap kebaikan yang ada disekitarnyadan di masa lalu. Ia berhasil memahami sejarah dengan baik. Tercermin dari cara Ia hidup, hingga keputusan strategis kemiliteran yang ia ambil dalam usahanya menakhlukkan Konstatinopel.

Inilah sepenggal cerita seorang pemuda yang memberikan sumbangsih yang besar kepada peradaban Islam. Ia menjadi angin segar bagi peradaban Islam yang dirundung duka pasca runtuhnya Baghdad di tangan suku Tartar. Syiar Islam, budaya Islam, tradisi keilmuan, dan kebanggaan terhadap Islam kembali bersemi setelah kemarau panjang yang hampir merenggut eksistensi peradaban Islam.[M-N-H]

Referensi:
1. Muhammad Ali ash-Shalabi: Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah

2. Abu Fatah Grania: Panglima Surga

Jumat, 08 Agustus 2014

Keterikatan Hati: Sebuah Simpul Ukhuwwah

Kembali merenungi diantara potongan yang hilang dari kesatuan besar tubuh ummat Islam: Keterikatan hati(ta'liful qulub). Menjadi suatu yang agung hingga mengantarkan ummat Islam pada masa keemasannya. Menjadi pembeda sebuah peradaban yang ditampilkan Islam diantara banyak peradaban yang lain.

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.."(QS:3:103)

Keterikatan hati. Membangun sebuah energi ukhuwah yang besar nan dahsyat. Menjadikan mulia hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Kita mengenal salamatush shadr (selamatnya hati dari prasangka) dalam sebuah abjad tingkatan terendah ukhuwah Islam, dan itsar(mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi dalam perkara penting)pada tingkatan yang paling agung.

Inilah salah satu kunci terpenting kejayaan Islam. Keterikatan hati melahirkan ukhuwah, sehingga kaum Anshar pada masa hijrah Rasulullah SAW rela memberikan seluruh hartanya untuk kepentingan kaum Muhajirin. Sehingga kita melihat Sa'ad bin ar-Rabi' ra.(anshar) -yang dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Abdurrahman bin Auf (muhajirin)- rela memberikan setengah hartanya, dan menceraikan istrinya agar diambil oleh Abdurrahman bin Auf ra. Inilah benih keterikatan hati yang ditanamkan oleh Rasulullah. Melahirkan sebuah kekuatan internal baru dalam sebuah eksistensi masyarakat yang sebelumnya tidak diperhitungkan, menjadi sebuah entitas bangsa yang besar, yang menjadi jantung bagi peradaban Islam.

Kita mengingat betapa banyak peperangan yang dialami Rasulullah. Mari mengingat perang Uhud. Betapa mulianya kedua sahabat Rasulullah yang rela menjadi perisai hidup disaat hanya mereka yang berada di sisi Rasulullah, sementara Rasulullah terkepung dan terpisah dari barisan kaum Muslimin yang lain. Kita tidak boleh lupa dengan Thalhah bin Ubaidillah dan Sa'ad bin Abi Waqqash yang menjaga Rasulullah di saat-saat genting. Kita juga tidak boleh lupa dengan Abu Dujanah yang berdiri membentangkan tangannya, menghibahkan punggungnya sebagai perisai hidup Rasulullah.

Diatas hanyalah sepenggal kisah kekuatan ukhuwahyang tak terhapuskan oleh fitnah dan terjangan luka di sekujur tubuh, yang tak lain muncul karena keterikatan hati. Dan kita juga melihat bagaimana keterikatan hati menjelma menjadi sebuah kekuatan militer yang dahsyat. Perang Tabuk. Membuktikan keterikatan hati antara satu Muslim dengan Muslim yang lain dalam sebuah atap besar ummat Islam. Mereka rela berkorban dengan harta mereka, jiwa mereka, dan waktu mereka untuk berjuang mengentaskan sebuah proyek besar ummat Islam dalam membuktikan eksistensinya, menghadapi Romawi. Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya. Umar menyumbangkan sebagian hartanya. Hingga ada diantara kaum Muslimin yang hanya dapat memberi dua butir kurma. Pada akhir ekspedisi, peperangan tidak terjadi, dan kemenangan ada ditangan ummat Islam.

Berkali-kali ummat ini diuji dengan persoalan ukhuwwah. Masalah kekinian kita yang menjadi ibu permasalahan: Palestina, Suriah, hingga masalah kekinian yang menjadi dampak: kemiskinan, kelaparan, dsb. Semua kembali pada lemahnya keterikatan hati antara kaum Muslimin, sehingga melahirkan buruknya Ukhuwwah.

Lemahnya keterikatan hati juga menjadi kunci rapuhnya sebuah barisan dakwah. Kadang keterikatan hati ini terkubur atau terselip diantara rapatnya aktivitas dan program-program, serta tuntutan dakwah yang menekan. Dan tidak jarang terjadi, usaha-usaha untuk membangun keterikatan hati bergeser menjadi sesuatu yang sekunder.

Maka, tiada kalimat yang pantas untuk menyelesaikan permasalahan ini selain firman Allah dalam surat Ali Imran diatas dan surat Al-Hujurat: "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."(QS:49:10).

Dan betul apa yang dikatakan Imam Malik: Tidak akan menjadi baik ummat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik ummat terdaulu” [M-N-H]

Kamis, 07 Agustus 2014

Ia Mulai Dilupakan

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 247, Allah mengabulkan permintaan Bani Israil yang memohon kepada Allah agar dipilihkan seorang raja. "Allah telah memilihnya menjadi raja kamu (bani israil) dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik"
           
Namanya Talut. Seorang yang dibekali Allah tidak hanya dengan ilmu yang luas, namun juga fisik yang kuat. Ia menjadi seorang raja sekaligus panglima dalam sebuah perang yang menentukan melawan Jalut. Ia menang atas izin Allah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa para da'i, penyeru kebaikan, terdahulu tidak hanya memiliki ilmu yang luas namun juga fisik yang kuat. Tentu saja Rasulullah Muhammad SAW memilikinya. Rasulullah mulai berperang pada fase Madinah, pada usia lebih dari 50 tahun, usia disaat fisik kebanyakan orang biasa mulai melemah. Bahkan Rasulullah adalah sosokyang paling tangguh di medan perang, pada masa-masa genting perang Uhud, saat Rasulullah terkepung dan harus berhadapan dengan puluhan jawara kafir Quraisy. Rasulullah berhasil melewati saat-saat genting tersebut.

Kita juga mengenal sosok Khalid bin Walid. Pedang Allah, panglima besar umat Islam, penakhluk dua negeri adidaya: Romawi dan Persia. Kekuatan fisiknya sungguh luar biasa. Ia pernah mematahkan sembilan pedang dalam perang Mu'tah, salah satu perang paling menentukan, perang pertama kaum Muslimin melawan bangsa Romawi.

Sebagaimana Khalid bin Walid, kita juga mengenal sosok Umar bin Khattab dengan kebijaksanaan dan fisiknya, yang ketika Umar menaiki seekor unta, maka kakinya akan ikut menapak. Kita juga mengenal Ali bin Abi Thalib yang mengarungi gurun pasir sendirian untuk berhijrah pada usianya yang sangat belia, dan kemenangannya di setiap duel dalam setiap peperangan yang senantiasa Ia ikuti semasa Rasulullah hidup.

Begitulah kekuatan fisik para da'i, penyeru kebaikan terdahulu. Hampir-hampir sejarah tak pernah mencatat mereka mengalami sakit. Tercatat dalam sejarah, Rasulullah hanya pernah sakit sebanyak tiga kali semasa hidupnya. Saat disihir oleh seorang Yahudi bernama Labid bin A'sham, saat terluka semasa perang Uhud, dan menjelang wafatnya. Bahkan Rasulullah tak pernah sakit akibat faktor internal: menjaga kesehatan, pola hidup;namun seluruh sakitnya adalah sebab faktor eksternal. Umar, Ali, Khalid, hingga Shalahuddi al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Mereka adalah pahlawan yang tidak pernah sakit, kecuali dalam perang dan menjelang wafatnya.

Kini, bahkan kita sering menemukan seorang da'i, penyeru kebaikan, yang sakit akibat buruknya kebiasaan dirinya. Mulai dari kebiasaan makan, hingga manajemen istirahat atau olah raga yang menjadi hak bagi dirinya. Kini, kita sering menemukan seorang da'i yang mengesampingkan kekuatan fisiknya, da'i yang lemah jika berada di lapangan. Padahal kita mengetahui bahwa Muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada Muslim yang lemah.


Inilah sepotong bagian yang terpisah atau sengaja dipisahkan dari badan kaum Muslimin. Tentang kuatnya fisik. Sepotong bagian yang terlihat remeh, namun berdampak besar dalam produktifitas setiap aktifitas dakwah. Sepotong yang kecil, namun terkadang menjadi batu sandungan terhadap aktifitas dan kerja besar dakwah. [M-N-H]