Rabu, 10 Februari 2016

Dua Perlindungan

Oleh: HAIDAR MUHAMMAD

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui bahwa pada malam ini telah diturunkan beberapa ayat yang tidak pernah sama sekali dilihat ada yang semisalnya; Qul `A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul `A’uudzu bi Rabbinnaas.’”                              (Shahih Muslim, hadits no.814)

***
Dua surat terakhir dalam Al-Qur’an adalah beberapa dari surat paling singkat yang ada dalam Al-Qur’an. Meski singkat, namun isinya amat penting dan padat. Nabi SAW memberi nama pasangan surat ini “Al Mu’awwidzatain,” dua surat yang berisi permintaan perlindungan kepada Allah.

Tentu bukan kapasitas saya untuk membicarakan panjang lebar mengenai tafsir kedua surat ini. Akan tetapi, saat mendengarkan penjelasan Ust. Nouman Ali Khan (seorang da’i di Amerika) mengenai surat Al-Falaq dan An-Naas ini, ada sebuah keterangan yang amat-amat berkesan. Ini tentang perbedaan yang nampak di antara kedua surat itu, surat yang sama-sama memohon perlindungan pada Pemilik segala daya dan kekuatan.

Kalau kita perhatikan, surat Al-Falaq dan An-Naas sama-sama memiliki dua bagian. Bagian yang pertama adalah Ayat-ayat yang menyebutkan tentang “Yang dimintai Perlindungan.” Allah. Sedangkan bagian yang kedua adalah tentang “Dari apa kita memohon perlindungan.”

Pada bagian keduanya, Surat An-Naas merujuk pada satu hal: Waswas, Bisikan Syaithan. Ayat selanjutnya merupakan keterangan terhadap hal itu. Sedangkan Pada Surat Al Falaq, ada banyak sekali hal yang disebutkan. Syarri Maa Khalaq “Kejahatan apa yang dicipta-Nya,” “Ghaasiqin Idzaa Waqab” Malam apabila ia telah larut, “Naffaatsaati fil ‘uqad” Penyihir yang meniup buhul-buhul, serta “Haasidin idzaa Hasad.” Orang yang dengki, saat ia mendengki.

Ternyata, pada bagian pertama pun ada perbedaan. 3 Ayat Pertama surat An-Naas adalah tentang Allah, dzat yang dimintai perlindungan: “Rabbinnaas, Malikinnaas, Ilaahinnaas.” Sedangkan pada Al Falaq, Hanya disampaikan pada ayat pertama: “Rabbil Falaq.” Jadi, Pada surat An-Naas kita menyebut Allah tiga kali, untuk memohon perlindungan dari satu hal. Sedangkan pada surat Al Falaq kita menyebut Allah satu kali untuk memohon perlindungan dari empat hal. Apa makna di sebalik hal ini?

Maha Besar Allah, Dia menunjukkan betapa tak terhingga Ilmu-Nya dengan Al-Quran itu. Keindahan Sastranya selalu menyimpan hikmah yang besar dan amat bermakna. “Hikmah dari hal ini,” jelas Ust Nouman, “Adalah kita lebih ‘desperate’ hingga menyebut nama Allah 3 kali saat memohon perlindungan dari bisikan setan ketimbang dari hal-hal yang dapat membahayakan kita.”

Mengapa demikian? Sebab, Ancaman bagi kita dalam surat Al Falaq adalah ancaman yang membuat kita menjadi korban. Meski kita akan terluka karenanya, tetapi di akhirat kelak kita berdiri sebagai korban akan hal itu, bukan sebagai yang dimintai pertanggung jawaban. Sedangkan Bisikan setan, ketika kita takluk padanya, siapa yang akan diminta pertanggung jawaban? Ya kita sendiri ini. Setan akan berlepas diri sambil mengatakan, “Lho saya kan hanya mengajak dan membisiki saja, Yang melakukan siapa? Kamu sendiri kan?” Makanya, kita harus lebih dan lebih serius memohon perlindungan dari yang satu ini, tanpa melupakan ancaman lain dalam kehidupan kita.

Ketika saya coba merefleksikan apa yang ada dalam Keterangan indah ini, ada hal menyakitkan yang saya temukan. Bahwa dalam kehidupan dan alam pikiran saya (dan banyak orang lain di dunia pada zaman ini) ada hal-hal yang goyah, melenceng, dan tak selaras dengan hikmah itu.

Coba saja, kini kepada siapa kita berlindung? Benarkah pada Allah? Benarkah pada-Nya kita menggantungkan segala harap dan cemas?

Kalau jawabannya ya, mengapa di hadapan-Nya yang selalu melihat kita bermaksiat? Sedangkan saat manusia yang hakikatnya sama-sama tidak berdaya kita justru menunjukkan seakan kita ini orang yang benar-benar taat?

Mengapa kita tak tenang saat melakukan yang benar menurut-Nya, namun tenteram dengan saran-saran terbaru dari Penelitian Ilmiah yang teruji secara klinis? Padahal Sains sendiri mengakui sering ada error di dalamnya. Mengapa kita tak hirau pada ketentuan yang digariskannya, sementara mati-matian berteriak tentang Hak Azasi Manusia, dengan sepenuhnya percaya pada mereka yang ada di Jenewa atau Amerika tanpa sedikitpun kritik atas kejanggalan-kejanggalannya? Mengapa kita lebih percaya diri dengan DSM yang kelima ketimbang Al-Quran yang 30 Juz itu?

Atau mengapa kita lebih takut akan penyakit Kardiovaskuler ketimbang penyakit-penyakit dalam hati kita? Mengapa kita lebih tenang dengan Asuransi bercampur bunga ketimbang memperbaiki kehalalan dan kethayyiban makanan kita?

Pada apa kita bertawakkal? Apakah pada harta yang kita tumpuk sepanjang usia kita? Atau pada nilai-nilai A dalam KHS kita? Atau pada keluarga yang suatu saat pun akan meninggalkan kita?

Sungguh, perenungan akan hal semacam ini bukan perkara remeh yang patut terlupa. Semoga Allah mudahkan kita untuk terus memupuk iman dalam Hati, Lisan, hingga perbuatan kita. Semoga kita diampuni, semua dosa sejak yang bermula dari pikirannya hingga yang telah mewujud dalam maksiat dan dosa-dosa.

Ditulis di Komputer Kantor Masjid Jogokariyan,

30 Januari 2016.

Selasa, 10 Februari 2015

Dunia

Jalanan yang sesak dengan lalu lalang kendaraan. Riuh sahut menyahut menawarkan dagangan di pasar, mulai dari sayur hingga baju tidur. Gedung-gedung tinggi perkantoran dengan dering telepon yang siap diangkat 24 jam dan tumpukkan kertas-kertas diatas meja yang kelak bakal di loakan. Bangku-bangku coklat, buku-buku, ransel dan baju putih abu-abu yang senantiasa menemani dari senin hingga sabtu, dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Semua orang sibuk dengan urusan dunianya. Dan diantara mereka ada yang mencoba sejenak menjauh dari kepenatan dunia, menuju pintu ketenangan untuk mengingat Rabbnya.

Hakikat hidup bagi kebanyakan orang adalah mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira, meski harus ditempuh dengan badan yang penuh luka, mati-matian dan berharap kebahagiaan abadi. Badan mereka semakin lemah, seperti iman yang digerogoti oleh keinginan-keinginan semu, hidup untuk dunianya.

Yang lain mati-matian beribadah memohon Allah memberikan apa yang diinginkannya, lagi-lagi memohon dunia pada-Nya, dan akhirat tak ada sisa. Kebahagiaan itu apa yang berbentuk, dapat disentuh, dapat ditunjukkan ke seluruh penghujung dunia. Lagi-lagi dunia. Sesempit itukah keinginan kita. Setelah kita berlari bermil-mil dan tak pernah melihat ujungnya, tersadarlah kita, apa yang kita pinta hilang tak bersisa.


Sudahkah kita meminta apa yang terbaik untuk kita? Rela dan bersyukur kepada-Nya. Sadar betul akan hakikat hidup kita? Karena menyesal di akhir memang tiada berguna Maka harus bersiap jatuh dan bangkit lagi, lagi, dan lagi. Berkali-kali.  Hingga biar Allah saja yang menjadi tujuan utama. Bersiap memulai dari awal saja, tiap jatuh dan porak-poranda. Biar Allah saja yang menilai kita, bukan manusia. Biar Allah saja menjadi Dzat yang kita harap-harap pertemuannya.


Ahad, 4 Januari 2015
Nurhanifa Rizky R.