Rabu, 31 Desember 2014

Homesickness

Machine generated alternative text: ‘• LILC’

Pada Jannah-Nya, setiap jiwa pasti rindu. Karena bukankah awalnya kita ini makhluk Surga?

Homesick itu symptom alias gejalanya banyak. Mulai dari seseorang yang uring-uringan karena cuaca panas, tidak mau makan karena tidak sesuai selera, merepotkan diri dengan kosmetik tebal berbagai macam, rela korupsi untuk rumah yang lebih mewah, dan membayar berapapun harganya untuk kembali sehat setiap kali terserang penyakit, serta hal-hal fisik lain yang di Surga kelak kita miliki secara sempurna....mungkin diri benar rindu.

Tapi, kita juga ingat bahwa ‘properti’ Surga tidak hanya itu. Karena coba tanyakan pada hati, adakah rindu yang lebih besar dan dalam daripada semua itu? 
Mungkin jawab hati: rasa puas, rasa tenang, tentram, damai, dan kebebasan yang sebenarnya. Dibersamai orang-orang terkasih tanpa ruang atau dimensi lain yang memisahkan lagi. Hanya mendengar ucapan yang baik, hanya melihat yang indah. Kekal, tanpa ada yang fana. Dan... menatap wajah Allah, ‘Azza wa Jalla. Oh, "So which favour of God would you deny?" (QS Ar-Rahman : 13)

Karena itu, mulanya wajar jika ada banyak orang di dunia ini yang sehari-hari galau, gelisah, gundah. Disadari atau tidak, mereka homesick pada kenyamanan Surga. Meski ada juga yang sudah lebih sadar bahwa ia homesick pada 'dekatnya pada Sang Pencipta', pada 'keagungan'nya, pada segala 'yang sejati' itu.

Namun, kita juga mungkin ingat bahwa sang terkasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,
"..telah dijadikan-Nya penyejuk mataku ada dalam shalat." (HR Ahmad, an-Nasa-i, dan al-Hakim)
Ya, nyatanya Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi bonus berupa 'alat teleportasi' yang aktif  5x sehari bahkan bisa lebih, untuk kita bisa merasakan suasana dan aktifitas ukhrawi: Shalat.
Tidak ada yang lebih menyejukkan selayaknya seseorang yang bertemu dengan kekasihnya, atau seperti orang yang ketakutan masuk ke tempat yang aman. Seperti itu makna shalat bagi hamba yang berserah diri, yang penuh rasa cinta, takut, dan selalu berharap pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti kata Imam Hasan Al-Banna, “Bila shalat ditunaikan dengan khusyu’, ia lebih berarti bagi hati dan jiwa daripada seribu kata nasihat, seribu paragraf kisah, atau satu juta forum ceramah. Tiada yang menyucikan jiwa lebih utama, menghapus dosa, noda aib; menanamkan iman dan menentramkan dada daripada shalat.”
Pertanyaannya, sudahkah kita mempergunakannya dengan optimal?

Padahal kalau kata Imam Ahmad, dalam riwayat Mihna bin Yahya, “Sesungguhnya kebahagiaan mereka di dalam Islam, adalah sebatas kebahagiaan mereka di dalam shalat. Dan kecintaan mereka kepada Islam, sebatas kecintaan mereka di dalam shalat. Maka kenalilah dirimu wahai hamba Allah! Jangan sampai engkau berjumpa dengan Allah sedang tiada nilai Islam dalam dirimu. Sesungguhnya nilai Islam dalam hatimu sebanding dengan nilai shalat dalam hatimu.”

Sama juga dengan tilawah Qur’an, kalau belum optimal, wajar lah ya berarti kalau masih sering dihinggapi galau, gelisah, gundah........ Subhanallaah..

Di sisi lain kawan, ada juga suatu amalan tak terlihat –sebuah orientasi bagi hati, yang akan mencerminkan suasana Surgawi pada hidup: IKHLAS.
Yakni melakukan segala sesuatunya hanya karena dan untuk Allah Ta’ala. Hanya memperdulikan pandangan-Nya, penilaian-Nya. Kok bisa rasa surga?
...ikhlas akan menjadikan kita ridha pada semua ketetapan-Nya atas diri dan semesta
...dan ketahuilah bahwa rasa ridha itu akan membuat jiwa setenang di Surga (wallahu a’lam, mungkin baru tepiannya)!

"Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
Dan masuklah ke dalam Surga-Ku."
QS Al-Fajr : 27-30

Bahkan, untuk nantinya mendapat jaminan keselamatan dan Surga tertinggi, ikhlas adalah keharusan yang tak bisa ditawar. Syarat diterimanya amal, itu satu. Kalau tidak, bukan hanya gelisah menghadapi permasalahan hidup, tapi bahwa jika sebutir riya’ terbawa...hangus semuanya. Na’udzubillaahi min dzaalik. Selain itu, perlu kita ingat pula bahwa terbukti hanya orang-orang dengan keikhlasan yang tinggi lah yang kuat berada di jalan menuju-Nya ini.

*Yah, meskipun mungkin ikhlas adalah sebuah kunci dengan gerigi yang kompleks, yang kadang nampak terlalu abstrak ketika belum kita miliki ilmu tentangnya.. Tapi, percayalah kawan bahwa kita sebenarnya telah memilikinya, karena kita lahir dengan DNA-nya pada gen fitrah kita. Mari berusaha saja dengan yang kita bisa, maka Allah akan mengajari yang kita belum bisa.

Jadi kalau coba disimpulkan, seorang insan bisa mengusahakan dua hal untuk ‘hidup enak’ di bumi ini:
Beribadah mengagungkan-Nya sebagaimana Ia perintahkan melalui 'fasilitasnya', serta ikhlas dalam melakukan dan menerima segala sesuatunya.. ya kan?

Kembali ke homesickness; maka kita pun percaya, jika 'rindu' itu seperti energi, berarti kini ia bisa punya dua jalur pancaran: 1/5 (misalnya) jadi homesickness yang membuat bayang-bayang Surga itu senantiasa di pelupuk, 4/5 jadi do'a dan usaha berjalan kembali pulang...

Oh ya, tambahan tentang Surga, mungkin hikmah dari digodanya kita oleh syaitan di dunia ini adalah Nabi Adam ‘Alaihissalam. meski saat itu tengah berada di Surga, terkena jebakan syaitan yang jahat, sombong, dan ingkar itu. Lalu beliau bertaubat dan Allah, Subhanahu wa Ta’ala, mengampuni..
Sedang kita nanti di Surga insyaa Allah sudah bebas benar-benar dari godaan mereka. Maka hari ini adalah saatnya kita bertaubat memohon ampun ketika telah tergoda oleh syaitan. Jangan terlambat saja, iya kan?

Semoga kita benar-benar pulang ya, tidak nyasar.
“Allahumma as-alukal jannah… wa a'udzubika minannaar.. Allahumma aamiin.”

Wallahu a’lam bis shawab.


 Yogyakarta, 7 Rabiul Awal 1436 H


Zahrin Afina

Jumat, 26 Desember 2014

Jalan Dakwah


“.... Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman, Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka..” QS Al Anfal : 63
Sepenggal ayat yang menjelaskan bahwa hati-hati ini Allah padukan dalam ukhuwah, yang timbul atas keta’atan padaNya, bahkan Allah SWT menggambarkan perumpamaan, andai kata kita memberikan seluruh harta kita untuk membayar rasa ukhuwah, harta itupun takkan sanggup untuk memunculkan rasa itu, karena hanya Allahlah yang dapat mempersatukan hati – hati ini di jalan dawah.
Kita tahu bahwa jalan dakwah ini tidak selalu manis, bahkan rasa manis dakwah itu tidak seketika akan kita rasakan, yaa.., tabiat jalan dakwah penuh dengan rintangan. Namun, bukan berati kita boleh menghindarinya, karena dakwah disamping menantang sekaligus merupakan tugas mulia. Pernahkah kau bertanya mengapa dirimu berada dalam jalan dakwah ini? Bisa jadi Allah memilihmu untuk berdiri di garda depan dalam dakwah ini, karena Allah mecintaimu, karena Allah menyayangimu, karena Allah menginginkanmu menjadi satu diantara orang – orang yang berjuang di jalan ini. Allohu Akbar!

 
    Kamu.., kita.. dilahirkan dari sebuah rahim dakwah, dipersiapkan untuk menjadi kader dakwah, menyambung estafeta dakwah Rasulullh SAW, Syukur.. Mari kita panjatkan bersama, maknailah tiap waktu yang sudah kita lalui dalam jalan ini, agar kelelahan yang terkadang datang, ibarat tamu yang  tengah berkunjung  tak akan bermakna lagi, hanya akan bersisa kesenangan akan datangnya kelelahan itu, bahwasanya kelelahan itu adalah sebuah tanda cintaNya, yang masih memberikan kesibukan dalam dakwah ini. Begitu pun, kesedihan yang terkadang muncul akan hanya menjadi pemanis jalan dakwah ini. Jikalau kita berkesempatan bermimpi besar, mimpi yang pasti diinginkan tiap hambaNya yang bertakwa, kelak di akhir perjalanan ini, pertemuan itu, kenikmatan yang sangat besar, pertemuan yang bahkan dibayangkan pun tak sanggup, pertanyaan – pertanyaan yang sama selalu muncul di benak pikiran ini, sudah pantaskah diri ini? untuk bertemu dengan sang Maha Pencipta yang menciptakan seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sang Maha Pengampun yang dengan kasih sayangNya memberikan berjuta – juta kesempatan bertaubat bagi hambaNya, pertemuan yang dinanti – nanti, begitu pula dengan pertemuan dengan kekasihNya, berharap menjadi salah satu ummatnya yang akan mendapatkan syafa’at di akhirat kelak, menunggu sang kekasih Ilahi memberikan air yang sejuk, penghapus dahaga dari telaga itu, telaga Al kautsar.
    Teringat perjalanan dakwah beliau, sang penutup Nabi, batu bata terakhir dalam kesempurnaan sebuah bangunan yang kokoh nan indah bernama Islam, Rasulullah SAW, perjuangannya, kasih sayangnya tak pelak membuat hati ini bertanya – tanya.., sudah sejauh manakah jasad ini kita pergunakan dalam dakwah, sudah sejauh manakah pikiran ini, hati ini, waktu ini kita pergunakan dalam dakwah..? Bahkan hingga menjelang wafatnya, beliau masih sempat memikirkan kita, ummati, ummati, ummati, beliau paham bahwa akan ada tantangan yang lebih besar bagi ummatnya kelak, bagi ummatnya yang tidak pernah secara langsung bertatap muka dengan beliau, secara langsung mendengar dakwah beliau, secara langsung bertegur sapa dengan beliau, secara langsung merasakan kasih sayang dan kelembutannya dalam menyampaikan syari’atNya,  tetapi ummat itu dengan istiqomah berusaha untuk mengikuti sunnah – sunnah beliau, menjalankan syari’atNya. Ummat itu akan mendapatkan cinta tersendiri  dari Rasullullah SAW dan Allah SWT, Ummat itu.. kamu, kita..

    Kamu, kita .. bersatu dalam ukhuwah, dalam sebuah jama’ah penyambung risalah, penyambung estafeta dakwah, karena cinta kepadaNya, karena kasih sayangNya, hingga kini, kita masih bertahan dalam sebuah jalan, yaitu jalan cinta para pejuang. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi, akarnya menghujam hingga dasar, dedaunan yang lebat nan hijau, buah – buah yang turut menghiasinya,, Kamu, kita merupakan penyalur nutrisi agar pohon itu tetap menjulang tinggi, sehingga pohon itu dapat berfungsi semestinya, memberikan kesejukan ketika ada seseorang yang tengah berdiri dibawahnya, memberikan hasil ketika ada yang memetiknya.
    Alhamdulillah,, karena Allahlah yang menyatukan kami, menyatukan hati – hati kami, dalam sebuah ikatan ukhuwah iman kepadaNya. Semoga kelak ukhuwah ini akan kita bawa hingga akhir perjalanan kelak, bersua dalam SyurgaNya bersama para pemegan jalan ini.

Salma Nadiyah, 2014

Minggu, 14 Desember 2014

Ekspresi Cinta Seorang Ustadz Rahmat Abdullah

Freedom!

Satu kata yang terucap dari lisan seorang ustad Rahmat Abdullah Rahimahullah, saat ustad Hilmi mengumumkan ketua majelis pertimbangan yang baru saja terdeklarasi di konferensi pers hasil musyawarah majelis syuro’ sebuah organisasi politik.
Cinta!

Satu kata penuh ekspresi yang didermakan seorang Rahmat Abdullah kepada adik semata wayangnya dengan segenap ketulusan dan kepedulian yang teramat dalam.

Ramai orang bersuara tentang Freedom – kebebasan, tanpa memindai hakikat kata benda tersebut secara gamblang. Kebebasan seringkali diartikan sebagai sebuah aksi pembelaan bagi mereka yang tengah haus akan hak dan gelora dispensasi yang tak berbatas. Padahal bila kita mau menyelami lebih dalam akan sebuah makna kebebebasan, nampaknya makna tersebut tidaklah identik dengan pembelaan diri atau suatu golongan yang terkesan vulgar. Kebebasan memiliki artian yang amat luas seperti kebebasan untuk berbicara, kebebasan untuk berekspresi, dan kebebasan untuk mencetak kata benda tadi menjadi sebuah kata kerja yang aktif menyeru pada misi kebaikan bersama.

Cinta adalah sebentuk ekspresi yang bila didefinisikan oleh sejuta umat manusia pun bisa jadi mempunyai makna serapan dan sasaran objek yang beragam. Namun ada satu hal yang dapat kita seragamkan dari arti kata tersebut. Kita dapat bermufakat bahwasanya cinta adalah bentuk ekspresi sebuah perasaan terhadap objek yang dituju dengan menumpahkan segenap kemampuan yang ia miliki disertai teknik yang benar. Ahsanu ‘amala- amal yang terbaik. Bila cinta adalah sebuah amal, maka sejatinya kita akan beramal dengan niat yang lurus dan cara yang benar. Ibarat sebuah pohon yang gagah berdiri untuk menaungi berbagai organisme di bawahnya, meski daun mulai berguguran dan kemarau tengah mencekam. Ya, cinta juga memiliki makna yang sama, ia akan tulus menaungi objeknya meski di luar sana banyak pedang musuh yang siap menghunus bahkan menerkam tanpa ampun.

Tersanjungkah kita bila pandai bercakap tentang bentuk kepedulian pada negeri kita Indonesia, namun naluri enggan memendarkan hakikat kepedulian tersebut, kita enggan mengikhtiarkan atau sekedar merenungkan. Banggakah kita bila mereka para pemuda di luar sana yang kala siang ia belajar dan bekerja dalam perut lapar karena shaum, atau berjuang dengan peluh keringatnya dan kala malam yang hening ia disibukkan dengan rintihan istighfar dan kedalaman munajat di rakaat-rakaatnya yang panjang. Sedang kita?

Ustad Rahmat Abdullah, seorang penuntut ilmu yang dikenal dengan semangat dan kerendahan hatinya pernah bertutur: “Di antara sekian jenis kemiskinan yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azzam dan tekad”. Itulah sepenggal kalimat seorang pemuda yang penuh dengan azzam dan kecintaan pada negeri dan keluarganya. Bila di luar terdapat sekumpulan pemuda yang memiliki gelora semangat untuk bebakti pada negeri dan agama maka ustad Rahmat pasti salah satu di antaranya. Bila di luar sana terdapat sekumpulan pemuda yatim yang sungguh berbakti pada ibu dan mencintai adiknya, maka ustad Rahmat pasti juga termasuk di dalamnya.

Sosok sederhana yang alim tersebut lahir di Kinungan, Jakarta Selatan, pada tanggal 3 Juli 1953. Ia dibesarkan di daerah yang kala itu masih masyhur dengan sebutan Betawi, bahkan hingga sekarang. Namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda, sedang penjajah Belanda telah jelas membuat jutaan jiwa pahlawan gugur dan warga Indonesia terpaksa terpasung dalam kemiskinan, ketakutan bahkan hingga terpaan siksa yang membuat jutaan nyawa melayang. Ia lebih bangga disebut sebagai orang Jayakarta (Jakarta) karena nama tersebut adalah nama yang diberikan oleh seorang Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta bentuk kebanggaan sebagai seoang penerus perjuangan terhadap warisan pejuang Islam.

Kecintaannya pada negeri, keluarga dan umat bahkan membuatnya merasa berat kala diminta melangkah dari tanah kelahirannya meski untuk mendalami ilmu agama. Awalnya ia memang merasa sangat bahagia mendapat tawaran melanjutkan pendidikan ke Mesir, bahkan surat-surat, buku dan kitab-kitab yang dibutuhkan telah terkemas rapi. Namun sebagai seorang muslim yang taat, ia memilih mengikuti hasil istikharahnya yang telah meyakinkan hatinya untuk tetap berada di Indonesia untuk menyirami tanah-tanah yang kala itu sangat haus dan tandus, untuk menyemaikan benih-benih unggul agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh demi kejayaan negeri dan agamanya.

Di antara orang yang sangat merasakan ketulusan ustadz Rahmat adalah adiknya sendiri, Ahmad Nawawy nama lengkapnya. Kakaknya yang berjarak usia tiga tahun lebih tua benar-benar mempunyai harapan dan tanggung jawab teramat dalam terhadap sang adiknya. Bang Mamak, panggilan yang biasa diucapkan oleh Nawawy tidak hanya berperan sebagai seorang kakak, bahkan selepas ayah mereka tiada, ustad Rahmatlah yang menggantikan peran sebagai ayah dalam keluarga tersebut.

Kala itu Nawawy kecil sudah terjerumus ke dalam jurang pergaulan yang tidak baik, mulai dari kegemaaran sabung ayam hingga kebiasaan minum minuman keras. Ia bahkan keluar SD sebelum sempat melanjutkan hingga tamat. “Saya ini bandel sejak kecil. Saya terjerumus ke miras sejak tahun 1973, berapa tahun setelah keluar dari SD di kelas empat. Terjerumusnya itu karena lingkungan, ingin nyoba-nyoba. Waktu itu anggur kolesom. Setelah itu minum arak. Jarang yang kuat, bahkan teman-teman itu suka dengan arak karena kadar alkoholnya 32 %, kalau anggur kolesom itu hanya 12 %,” cerita Nawawy.

Dalam kekalutan dan kepiluan kala menghadapi keadaan adiknya, dalam lingkup lingkungan dan keadaan sadar yang mewajibkannya untuk terus menyampaikan pesan nabi, dalam kurun waktu perjuangan yang tak singkat itu, ustad Rahmat tidak pernah henti-hentinya berusaha, mengajak, menasihati dengan berbagai upaya, mencurahkan perhatian dan kasih sayang seorang kakak yang bersahaja dan bersahabat kepada adiknya, meski adiknya tak kunjung berubah ia tidak pernah bosan berjuang. Ia ingin agar adiknya yang sangat dicintainya, benar-benar keluar dari semua jalan yang sangat dibencinya itu.

Bentuk kepedulian ustad Rahmat di antaranya adalah dengan mengajak Nawawy pergi berjalan-jalan bila adiknya tersebut tengah mabuk, Nawawy sendiri tidak pernah bisa menolak. Ia mengakui bahwa tak ada seorang pun yang bisa menghalangi polah buruknya kecuali kakandanya, bahkan encingnya sendiri pun tak mempan. Tapi kalau sudah didatangi ustadz Rahmat, sang adik seperti dihipnotis, seketika ia berhenti dari ulahnya dan segera naik ke atas motor tuanya untuk beralih pergi dari aktivitas maksiat tersebut. Ustadz Rahmat juga gemar membawanya ke Taman Ismail Marzuki (TIM), itulah tempat pelarian yang disarankan kepada adiknya. “Di sini ada drama, ada bela diri ada banyak lagi yang positif,” iming-iming positif ustadz Rahmat selaku seorang kakak.

Kadang adiknya juga dibawa ke Cikoko, yakni sebuah padepokan silat di Jakarta. Tidak berhenti sampai di situ, agar benar terhindar dari kebiasaan buruk lingkungannya itu, ustadz Rahmat memasukkannya ke kursus Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia), waktu itu namanya PGI, dan bersyukur akhirnya Nawawy berhasil kursus beberapa bulan. Di sinilah letak esistensi cinta danmujahadah yang sungguh menyiratkan pembelajaran bagi kita para pemuda.

Suatu ketika Nawawy pernah menampar anak tetangga dan menyebabkan kakak ipar anak tersebut marah. Karena lebih dewasa dan tidak sanggup melawan, akhirnya nyaris, Nawawy mengambil pisau dan segera siap menunggu di depan rumah anak tadi. Beruntung kakaknya segera datang untuk mengajaknya pulang. Kakanya bernasihat, “Luka tamparan kamu itu besok juga hilang tapi hatinya tidak bisa, meskipun kamu minta maaf mungkin di depan dimaafin karena takut, tapi hati sangat membekas lukanya. Itu minta amal kamu di akhirat, itupun kalau amalnya banyak.” Rangkaian kata petuah tersebut rupanya teramat membekas bagi Nawawy.

Drama kehidupan rupanya belum tamat, perjuangan masih bertahan untuk dikerjar. Ayah mereka mewariskan usaha mesin cetak Hand-Press. Tetapi kemudian, ketika mereka ingin menjalankan usaha tersebut, buku tentang sablon masih jarang, kalau ada pun berbahasa Inggris. Karena keinginannya kuat untuk mencari nafkah melalui usaha sablon  yang diwariskan ayah mereka, maka dibelilah buku tersebut di Senen, Gunung Agung dan akhirnya diterjemahkan oleh ustad Rahmat. Pada ujungnya usaha itu mereka namakan ARACO (Abdullah, Rahmah/Rahmat/Rahmi Company). Kesibukan mulai mewarnai hari Nawawy, meski tetap ustad Rahmat yang biasa mencari order. Dari situlah kebiasaan buruk Nawawy mulai tersampungkan.

Benar, Nawawy mulai lebih baik, namun pergulatan batin seorang kakak belum usai. Candrarasa cinta ustad Rahmat kepada adiknya tak pernah pupus dan terhapus, meski  perih dan getir ia tetap mencintainya sepenuh hati, lebih dari sekadar rasa cinta seorang kakak yang mencoba menyeduhkan perhatian, tetapi cinta seorang hamba Allah yang mempunyai keyakinan, bahwa ingin agar adiknya merasakan manisnya jalan yang sama dengan saudara kandungnya yakni jalan orang-orang beriman, oleh karenanya berbagai upaya ia lakukan. Termasuk menuliskan surat khusus dengan mesin ketik tuanya, melalui pos yang ia kirim dari Tebet.

Adikku, aku tak bisa mengatakan dengan pasti apa yang sedang kau jalani saat ini, kau lebih tahu mata orang banyak sekarang tertuju ke sebuah keluarga, keluarga kita yang pernah menjadi titik pandang orang banyak, tapi terserahlah. Nawawy adikku, satu hal yang harus kau pahami kita hidup tak sendirian di dunia ini, ada tata aturan yang mengikat yang bila dilanggar maka akan terasa sekarang juga, baik berupa kerugian kehormatan, kesehatan, apalagi yang bernilai. Marilah kita menarik pelajaran dari masa lalu, menarik manfaat, mensyukuri kenyataan baiknya, dan menghindari kenyataan ruginya agar tak terulang lagi. Saya yakin, betapapun jauhnya kita selama ini namun engkau tentu tidak menutup diri untuk satu dua patah kata dariku sebagai tanda bahwa saya masih punya hati untuk memahami dan menghayati perasaan orang lain. Maafkan daku atas segala kealpaan, terimalah kebenaran dari manapun datangnya.

Terima kasih. Salamku. Rahmat Abdullah

Jumat, 12 Desember 2014

"Tapi Bang.."

"Tapi Bang, bukankah masih banyak yang lebih baik dari pada aku? Tetapi, mengapa semua ini jatuh begitu saja kepadaku, seolah..."

"Dik, jangan engkau teruskan lagi. Dengarkan aku.

Berprasangka baiklah kepada Allah, bahwa mungkin saja Allah sedang memberikan ini semua, semata untuk menyiapkanmu, mendidikmu agar nantinya engkau akan menjadi pendekar yang tangguh. Pemimpin yang akan menebarkan keadilan di muka bumi.

Sampai saatnya tiba, hal terbaik yang harus dilakukan adalah melakukan sesuatu yang mestinya dikerjakan, apapun, semampunya."

"Semampunya ya... lalu seperti apa bang?"

"Dik, jika engkau mau, engkau bisa mencontoh Abdullah Azam dalam memberi gambaran tentang semampunya. "Aku berlari hingga aku pingsan, dan itulah batas kemampuanku berlari semampunya.", kini terserah engkau dik, sebab, kita hanya beroleh sesuai apa yang telah kita kerjakan . Bukan apa yang kita mampu akan kerjakan"

Sore itu sedang cerah, cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan pohon, angin bertiup sepoi-sepoi membuat bayangan daun seperti menari anggun, indah dipandang. Di tempat biasanya, kedua orang itu kembali bertemu, jarak mereka tak terpaut jauh. Yang lebih muda bernama Yudha sedang dibangku SMA kelas XI, lalu yang lebih tua bernama Dayat, tahun kedua jenjang perkuliahan.

Memang telah menjadi hal yang biasa (padahal itu adalah hal luar biasa), seorang yang telah lulus kerap kembali menengok sekolah yang ditinggalkannya. Bukan tidak ada pekerjaan lain, bukan tak ada teman bermain, dan bukan karena hanya mengisi waktu luang. Tetapi, mereka ingin bersyukur, bahwa dahulu ada sosok-sosok yang seperti dia perankan sekarang ini. Betapa akhirnya tahu, bagaimana dulu kepayahan perjuangan beliau-beliau.

“Tapi bang, aku masih tak yakin kepada diriku sendiri apakah mampu untuk memikul beban yang tak terbayang ini. Aku takut, sungguh aku takut, berada dalam kecemasan yang tak lagi kumengerti dari mana ia datang. Juga aku sedih, sebab diri ini masih banyak cela, Abang tahu sendiri aku ini mantan....... mantan........”

Bang Dayat lagi-lagi memotong pembicaraan dengan menepuk bahu. “Dik.....”, sambil juga menghela nafas, sepertinya juga berat mengatakan sesuatu. Belum Bang Dayat melanjutkan tiba-tiba Bang Somad, teman sebangku Bang Dayat semasih SMA datang.

“Boleh aku ikut bergabung? Sepertinya menarik pembicaraan.”

“Ya boleh, monggo,”, Bang Dayat mempersilahkan, dan Yudha hanya bergeser tak bicara.

“Dik, saya  tahu, engkau dahulu adalah orang yang seperti itu. Meski aku masih lebih lugu, polos, pemalu, dan pendiam, tetapi.....”

“Lah... apanya yang lugu, polos, pemalu, dan pendiam,” Bang Somad seperti tidak terima,” Kamu tidak ingat dulu kamu membuat rencana untuk menginap di sekolah, katanya hanya mau menulis kalimat-kalimat nasihat, tetapi berakhir penghancuran barang-barang milik sekolah. Beruntung pihak sekolah tidak tahu. Kamu juga tidak ingat, pernah membuat acara menginap malam, yang mungkin bisa dibilang pencucian otak, sebab hampir saja merusak sistem yang ada, dan memporak-prandakan situasi menjadi lebih kacau? Sesungguhnya aku yang lebih pantas dibilang lebih lugu, plos, pemalu, dan pendiam.”

“Polos apanya, kamu juga nggak ingat? Dulu sewaktu kita masih satu kelas, kita selalu memilih bangku paling belakang? Engkau membuat pembicaraan-pembicaraan yang mengerikan. Membahas strategi-strategi yang tidak lazim. Juga dulu ketika kita memilih duduk dipaling depan berhadapan dengan meja guru, engkau bertanya dengan ekspresi datar.”

                “Pak, kapan Pancasila akan diganti?”, Pak Guru pun terlihat mulai gelisah.

                “Kenapa harus diganti nak?”.

      “Pancasila sudah tidak bisa memberikan kebaikan bagi kita. Sesuatu yang sudah usang,              kenapa tidak diganti?”

“Lah kamu juga, kau tidak ingat ketika ujian harian Kewarganegaraan, bukannya menjawab dengan panjang lebar, malah membuat sesuatu. #BonusPertanyaan buat pak Guru#. Dan akhirnya malah menjadi pertanyaan esai untuk Mid Semester.”

Akhirnya mereka bertiga tertawa, mengenang masa-masa yang telah lalu. Sejurus kemudian Bang Dayat melanjutkan pembicaraan dengan serius.

“Dik... engkau lihat sendiri kan, bahwa kami pun juga mirip-mirip denganmu. Tetapi janganlah terlalu larut dalam kesedihan. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda,

Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi yang terbaik di masa Islam, jika mereka berilmu. (diriwayatkan oleh Bukhari 1238)

Di antara logam, engkau menyerupai emas dik. Setiap kemuning emas di masa jahiliyyah, akan menjadi kilauan emas di dalam Islam. Syaratnya: harus ditempah secara matang. Digodok di kawah candradimuka. Dilebur di tungku api. Di buang segala lapisan buruk yang menodai kemilaunya. Dan di dalam islam, caranya adalah dengan belajar dan menuntut ilmu. Serta mengamalkannya dengan segenap jiwa dan raga.”

Yudha mendengarkan dengan seksama. Ada secercah harapan dalam sorot matanya. Ada setitik semangat yang mulai tumbuh. Meski hari esok, masih banyak misteri, tetapi percakapan hari ini seolah menghapus kecemasan akan masa depan, dan menghilangkan kesedihan akan masa yang telah lalu. Masa lalu telah berlalu.


Jika memang dirinya adalah orang terbaik dalam masa jahiliyyah, misalnya panglima dalam pertawuran antar geng, maka ia pun dengan usaha keras akan menjadi panglima dalam Islam. Sebab menjadi panglima, meski memimpin geng, juga membutuhkan banyak skill dan kemampuan. Misalnya pengaturan strategi, ia harus memperhitungkan dengan matang kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Begitu pun dalam halnya berda’wah perlu sebuah strategi yang baik. Misalnya agar mudharat yang ada hilang, atau berkurang, bukan malah menghilangkan sebuah mudharat tetapi memunculkan mudharat yang lebih besar.

Memetik Nilai Pengorbanan dari Seekor Penguin

Kasih sayang dan pengorbanan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki peran yang bernilai tinggi dalam kehidupan manusia, karena sesungguhnya kasih sayang yang dilandasi pengorbanan akan memunculkan nilai keikhlasan yang hakiki. Dalam sejarah Islam, Allah telah memberikan banyak teladan, salah satunya melalui Nabi Ibrahim yang kasih sayang dan pengorbanan beliau begitu tulus bagi putranya. Meski demikian, jauh di luar pandangan manusia, rupanya Allah telah mengilhamkan rasa kasih sayang dan pengorbanan tersebut kepada seekor hewan yang hidup di bumi Antartika sana.


Kutub Selatan, daerah terdingin di dunia yang mengalami musim dingin selama enam bulan. Daerah ini menjadi habitat para penguin, induk paling setia di dunia. Di mana curahan kasih sayang dan pengorbanan kepada anaknya begitu nyata dari makhluk berdarah panas ini. Tentu miris rasanya bila kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, masih ada yang sengaja menelantarkan anak-anaknya, bahkan tega membunuh janin mereka yang tak berdosa. Sejenak, mari kita petik hikmah dari perjalanan hidup penguin dengan segenap behaviornya ini. Harun Yahya seorang cendekiawan dan saintis muslim pernah menyatakan: kebanyakan dari pencetus teori evolusi menganggap bahwasanya hewan hanyalah makhluk hidup yang memikirkan diri sendiri, namun belajar dari tingkah laku penguin, maka seketika anggapan para evolusioner tadi dapat teruntuhkan.

Bagi sepasang hewan, menjaga telurnya hingga menetas dalam keadaan sulit di musim dingin membutuhkan pengorbanan yang tak terkira. Dibutuhkan kerjasama serta komitmen antar hewan betina dan jantan. Penguin betina dan penguin jantan adalah sepasang hewan yang memiliki komitmen tinggi dalam memelihara calon anak mereka. Hewan yang biasa berenang di laut es atau meluncur dengan menggunakan perutnya ini harus menempuh perjalanan yang berjarak lebih dari ratusan kilometer. Di mana tujuannya adalah tempat yang aman untuk menetaskan telur-telur mereka. Perjalanan melelahkan tersebut boleh jadi di luar pemikiran manusia. Pada musim dingin yang suhunya dapat mencapai -50 derajat celcius, sang induk harus meletakkan telur hasil tetasannya. Telur tersebut lantas diserahkan kepada pingun jantan agar mereka menjaganya sampai menetas, setelah itu penguin betina akan segera kembali ke laut. Di sinilah perjuangan luar biasa akan dimulai.

Pada musim dingin, angin berkecepatan seratus kilometer per jam selalu menerbangkan es dan salju, pinguin jantan harus menjaga telur-telur tadi selama empat bulan lamanya, sebab induknya berlindung di dalam laut. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar itu, telur yang baru saja diamanahkan oleh penguin betina akan selalu dijaga penuh oleh penguin jantan, karena bila telurnya jatuh di atas es, seketika telur tersebut dapat membeku. Mereka akan selalu berdiri dan tak pernah meletakkan telurnya barang sesaat pun. Selama empat bulan itu pula para penguin jantan saling merapatkan tubuh untuk berlindung dari angin yang  dapat membekukan, sehingga suhu tubuh mereka tetap tinggi dan dapat bertahan hidup sampai musim dingin berakhir.

Di akhir  penantian dalam keadaan yang sulit tersebut, musim semi datang kembali. Di musim itu telur-telur telah menetas dan anak-anak penguin untuk pertama kalinya dapat menyapa dunia, namun karena lapisan lemak pada anak penguin yang akan melindungi dari dingin belum terbentuk, maka mereka akan berlindung di kaki ayahnya. Makanan pertama anak penguin pun berasal dari susu yang disimpan di tembolok penguin jantan. Selama empat bulan itulah mereka berpuasa demi anak-anak mereka. Masyaa Allah, sungguh pengorbanan yang luar biasa.

Tidak lama setelah musim dingin berakhir, penguin betina kembali ke daratan untuk menemui anak-anak mereka yang  baru saja menetas dari telurnya. Sama halnya dengan penguin jantan, selama empat bulan di laut, para betina tadi juga melakukan pengorbanan dengan memburu makanan dan menyimpan di tembolok mereka untuk anak-anaknya yang baru saja menetas. Di sinilah pembelajaran kerjasama antar pasangan penguin begitu nyata terlihat. Setelah penguin betina datang, penguin jantan pun segera bergegas ke laut untuk bergantian mencari makan dan menyimpannya bagi anak-anak mereka. Seiring berjalannya waktu, penguin muda pun tumbuh besar dan memungkinkan mereka untuk pergi bersama.
Penguin jantan menahan lapar selama empat bulan, mereka terus berdiri tanpa meninggalkan telur barang sesaat pun. Dari kisah ini, sungguh kita tengah dihadapkan pada nilai pengorbanan yang luar biasa dan hal itu dilakukan oleh seekor hewan. Bagi orang-orang yang mau berpikir, tentu tingkah laku penguin ini mencerminkan nilai kasih sayang dan pengorbanan yang patut kita renungkan. Maha Besar Allah dengan segala  kesempurnaan ciptaan–Nya. Sungguh tiada suatu pun yang sanggup mengilhamkan rasa kasih sayang dan pengorbanan pada makhluk seperti penguin ini selain Sang Rahman-Allah Swt.

Allah yang telah menuliskan kekuasaan-Nya di dalam sebuah surat Huud ayat enam: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semunya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Semoga setiap jejak dan tindak tanduk makhluk-Nya dapat memberikan nilai pembelajaran yang bermakna bagi kehidupan kita.


Jumat, 28 November 2014

Sketsa: Kau Kenal Aku?

Oleh: Adnan Rifai

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepda beliau memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan, Umar berkata, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!”

Lelaki itu pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu umar bertanya kepada orang itu, “ Apakah kau kenal orang ini?”

“Ya”

“Apakah engkau tetangganya, dan tahu keadaan sebenarnya?”, Umar bertanya.

“Tidak,” kata orang itu.

“Apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalan, sehingga tahu pasti perangai dan akhlaknya...?”

“Tidak.”

“Apakah engkau hanya mengenalnya ketika dia berdiri dan duduk di Masjid?”

“Ya.”

“Enyahlah Engkau dari sini. Engkau tak mengenalnya....”

Lalu Umar menoleh kepada laki-laki itu dan berkata, “Bawa lagi orang yang benar-benar mengenalmu ke sini.”

Dalam riwayat lain dikatakan, ada seseorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar Bin Khattab bahwa si fulan itu seseorang yang jujur. Maka beliau bertanya, “Apakah engkau pernah menempuh perjalanan yang jauh bersamanya?”

“Tidak”

“Apakah pernah terjadi permusuhan antara kau dan dia?”, tanya Umar Bin Khattab.

“Tidak”.

“APakah engkau pernah memberinya amanat?”

“Tidak.”

“Kalau begitu”, kata Umar, “Kau tidak mengenalnya  selain melihatnya mengangkat dan menundukan kepalanya di Masjid.”

***

Apakah mungkin, selama ini kita tak mengenal seorang pun. Juga tak dikenal oleh seseorang pun? –bahkan kepada kedua orang tua? Na’udzubillah. Kita mengaku, telah menjadi sahabat dari beberapa orang yang kita cintai, namun seberapa lama dan seberapa dekat kita mengiringinya dalam menempuh perjalanan ini? Perjalanan  nun jauh maupun perjalanan kehidupan?

***

“Andai dakwah bisa tegak dengan seorang diri, maka tak perlu Musa mengajak Harun. Tak perlu pula Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menemani Hijrah. Meskipun pengemban dakwah adalah seorang yang ‘alim, faqih, dan memiliki azzam yang kuat, tetap saja ia manusia lemah yang akan selalu membutuhkan saudaranya. Peliharalah saudaramu, jangan abaikan keberadaannya di sisimu, sebab mungkin ialah bagian dari lingkaran doa yang melingkupi langkahmu.”

***

Kenalilah mereka, tak hanya sebatas nama dan alamat. Sebab jika engkau tahu latar belakangnya, dimana dan bagaimana  mereka dibesarkan, engkau akan lebih bijaksana. Karibmu penuh cacat, cela,dan serba kekurangan. Begitu juga denganmu. Setiap insan punya kekurangan. Dengan bersamalah, setiap cela, cacat, dan kekurangan akan saling tertutupi.

***

Meski, kita tak akan bisa mengenali orang lain lebih dari kita mengenali diri kita. Sebab bagaimana mungkin kita membaca isi hati orang lain? Tetapi, kadang kala kita juga menemui saat-saat di mana tak mengenal siapa sebenarnya diri ini. “Dalam dekapan ukhuwah,” Ustadz Salim menjelaskan, “Allah akan menganugerahkan kepada kita sahabat – sahabat yang kadang lebih mampu menilai kita dari pada diri sendiri.”. Sadarkah bahwa kita tak pernah melihat diri kita. Melihat saat bercanda, berbicara, diam. Maka bercerminlah kepada siapa saja yang dekat dengan kita. Karena sikap mereka adalah cerminan tingkah laku kita.

“Secara pribadi, kadang kita memang bias dan menjadi tak jujur dalam mengenai diri.", lanjut beliau, "Kita menilai diri sendiri berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilai sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.”

***

"Aku merasa sendiri, diantara lautan manusia yang entah sibuk dalam dunianya". Drama kesendirian acapkali menyiksa mereka yang mulai putus asa, atau kecewa. Sebuah fragmen dari cerita besar yang paling menyayat.

Sayangnya, drama kesendirian sering dibuat sendiri oleh para pemeran. Seakan ia benar-benar sendiri, mengabaikan segalanya yang ada, dan berharap kepada yang selalu memberi kekecewaan. Manusia.
Apakah kita lupa, bahwa Nabi Musa berdo'a meminta teman dalam mengemban misi? Maka Musa dan Harun berangkat bersama dalam suka dan cita.

Maka berharaplah, berdo'alah kepada Alloh, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun yang mengharapkan keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang memanjatkan do’a kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti dapat dilaksanakan dengan sempurna. Segala puji hanya bagi Alloh yang telah menciptakan segala sesuatu, lalu menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah menetapkan takdir lalu menurunkan petunjuk bagi para hamba-Nya.


Wallohu a'lam.

Kamis, 27 November 2014

Semanis Perjuangan Dakwah Sekolah

oleh: Asni Ramdani,S. Si.

Dakwah Sekolah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Tunas Bangsa merupakan aset berharga bagi kebangkitan Islam. Berdakwah di dalamnya menjadi sebuah perjuangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di sisi lain seringkali muncul sebuah pertanyaan: Mengapa perlu berdakwah kepada pelajar? Tentu. Pelajar mempunyai andil besar dalam menyumbangkan pemikiran dan pergerakan di lapangan. Mereka adalah generasi muda yang ikut andil dalam menyusun batu bata – batu bata demi sebuah bangunan yang kokoh, di mana tujuan akhirnya adalah perwujudan khairu ummah. Di usia mereka yang masih belia, berdakwah pada pelajar dapat menggiring mereka untuk lebih produktif dan kritis dalam mengembangkan ide-ide segarnya. Jumlahnya yang sangat massif akan semakin bermanfaat ketika arah kerja mereka didukung dengan manhaj dakwah sekolah yang ideal.

Menjadi seorang ikhwah yang telah ditempuh tarbiyah bertahun-tahun sejatinya mampu membuka pandangan kita tentang syumuliyatul Islam, kesempurnaan Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia begitu jelas, sejak dari masalah aqidah, kehidupan sehari-hari, hingga aspek ekonomi dan politik. Pemahaman akan Syumuliyatul Islam ini akan lebih terhujam pada diri seseorang salah satunya melalui pendinian tarbiyah. Inilah alasan mengapa pembinaan tarbiyah menjadi esensial di ranah dakwah sekolah. Harapannya mereka yang  telah menempu pendinian tarbiyah sejak SMP, SMA atau bahkan SD kelak dapat melanjutkan dakwah mereka di berbagai ranah yang ada, dan ketika menjadi mahasiswa mereka akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai ideologi yang menyerang di ranah kampus.
Dalam membina para tunas bangsa, ibaratkan mereka adalah benih-benih segar yang sangat berkualitas, meski begitu kemampuan memahami dan berintima’ pada suatu ideologi masing-masing mempunyai kadar yang tidak sama. Sehingga penting adanya sebuah stakeholder dan pengarah yang berperan aktif sebagai organisator serta membuat konsep-konsep dakwah di sekolah bagi tunas bangsa yang mudah dipahami dan mendukung tujuan besar kita yaitu Ustadziatul Alam.

Seperti halnya dakwah kampus, dakwah sekolah pun terlahir dari rahim perjuangan, di mana jumlah para murabbi dan binaan yang harus diampu sering tidak seimbang, problema yang mereka hadapi pun tidak ringan, pelajar seringkali dekat dengan tawuran, narkoba, korban perang pemikiran dan berbagai pihak dari luar yang menentang adanya pembinaan kepada pelajar. Para binaan yang diampu pun tidak hanya mereka yang masih berstatus siswa, namun juga para alumni yang masih membina tetap di dakwah sekolah.

Ilustrasi – Mentoring keislaman di sebuah masjid sekolah. (flickr.com/array064)
Menjadi sebuah keniscayaan ketika jumlah para kader dakwah sekolah semakin menipis, banyak dari kader yang terbina memilih untuk melanjutkan estafet dakwahnya di ranah kampus, yang menjadi evaluasi ketika banyak aktivis dakwah kampus sudah enggan menggarap sekolah, padahal jarak dan waktu masih memungkinkan. Pernah suatu ketika mendengar cerita bahwa seorang aktivis enggan menggarap sekolah karena karier mereka dapat lebih mumpuni kala di kampus, letaknya yang strategis dan dekat dengan eksistensi diri, ujian adanya nama besar ditakutkan akan melemahkan fitrah makna dakwah itu sendiri. Wallahu a’lam. Tentu ini tidak bisa digeneralisasikan, karena bagaimanapun dakwah kampus dan dakwah sekolah adalah satu ikatan tujuan.

Para aktivis di dakwah sekolah memang masih jauh dari sempurna, tetapi kerelaan mereka untuk tetap membina jundi-jundi muda dengan jumlah murabbi yang terbatas di tengah aktivitas mereka yang jauh dari dunia sekolah menjadi renungan tersendiri bagi kita bahwa dakwah sekolah perlu diperjuangkan. Ya, sampai sekarang aktivis di dalamnya masih terus mengekspansi berbagai sekolah agar terus berkembang dan terbina secara berkesinambungan. Harapannya semakin banyak generasi muda yang terbina dan tumbuh kuat dari sisi tarbawi maupun haraki hingga  para simpatisan yang aktif dalam kegiatan jamahiri.

Pada akhirnya, setiap kader yang terlahir dari rahim perjuangan dakwah sekolah sepatutnya bersyukur karena diberi kesempatan oleh Allah untuk melanjutkan estafet dakwah ini, menyusun batu bata yang baik hingga menjadi pondasi-pondasi yang kokoh. Insya Allah. Wahai saudaraku  tetaplah bersemangat meski kau lelah mencari pembina ke sana-sini, meski waktu, jarak bahkan materi seringkali menjadi hambatanmu dalam berjuang. Pun bila kau ditanya tentang semangat, jawablah bahwa bara itu masih tersemat dalam dadamu, api itu masih bersemayam dalam dirimu, dan ingatilah bahwa janji-janji-Nya adalah yang kita tuju.

Selasa, 25 November 2014

Mereka yang Bersama Memejam Mata.


Oleh: Haidar Muhammad

Alangkah berat bagi Ibrahim alaihissalam, tugas kali ini. Ya, bahkan bagi Ibrahim, Seorang lelaki terpuji yang Allah jadikan teladan bagi manusia. Setiap ujian yang diembankan padanya, selalulah berakhir sama: “Fa Atammahunna,” Selalu ia sempurnakan.

Anak yang ia nanti-nantikan berpuluh-puluh tahun lamanya, Isma’il alaihissalam, harus ia sembelih dengan tangannya sendiri. Seorang anak yang begitu ia sayangi, yang tengah tumbuh menjadi anak shalih yang cerdas dan penuh bakti. Seorang anak yang membuat orangtuanya bersemangat melihat tiap perkembangan dalam dirinya di setiap waktu. Seorang anak yang amat diharapkan kehadirannya di tengah-tengah keluarga sang Khalilullah.

Beberapa malam, lewat mimpi Ibrahim menerima perintah itu. Hingga akhirnya, setelah ia yakin bahwa ini betul-betul perintah Allah, ia mendiskusikan hal ini bersama sang anak. Sang anak dengan penuh taqwa mengiyakan, apabila itu memang perintah Allah. “Insya Allah,” katanya, “engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Alkisah, Nabi Ibrahim lantas membaringkan putra kesayangannya atas pelipisnya. Dengan Niat dan kepatuhan yang bulat, Ibrahim menggerakkan pisaunya, Sambil memejam mata.

***

“Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban”

Begitu Ustadz Salim membuka tulisannya yang berjudul “Yakinlah, dan pejamkan mata.”

Banyak pengalaman hidup yang telah kita lalui. Kita berkali-kali diingatkan, bahwa hakikat hidup adalah penghambaan kepada Allah semata. Secara kognitif kita sesungguhnya paham, bahwa banyak hal yang menghambat kita dari peribadahan, sesungguhnya adalah ujian. Bahkan hal-hal yang kita pandang sebagai keindahan, sebab syaitan begitu pandai menggoda kita dengan yang indah-indah. “Zukhrufal Qouli ghuruuro,” Perkataan yang indah namun sejatinya menyesatkan adalah salah satu senjata ampuh syaitan.

Semakin lama saya melalui perjalanan hidup ini, tentu semakin banyak alasan yang saya ketahui dapat menjadi apologi pelarian. Ada kalanya, pikiran ini lebih sibuk mencari-cari alasan untuk menghilang dari pekerjaan daripada memikirkan bagaimana mensukseskan amanah yang diemban. Kadang kita terjebak oleh hal seperti ini, sehingga banyak meninggalkan pekerjaan dengan alasan-alasan yang diramu canggih dengan kata menawan.

Mungkin kita tidak akan kehilangan harga diri, atau penerimaan dari teman-teman. Namun hakikatnya kita tengah melukai diri sendiri; Mengungkung jiwa lebih dalam di ruang gelap stagnansi, atau bahkan regresi. Sebab saat kita melarikan diri, berharap masalah hilang menguap jadi awan, Yang terjadi tidak demikian, sungguh masalah itu makin lama tumbuh menjadi “monster” yang  ganas, buas, dan besar. Karena itulah kita mesti menyadari; satu-satunya cara lari dari masalah adalah dengan menghadapinya. Sesegera mungkin.

"Tarsok* adalah duri dalam daging."
*Tarsok, (atau lebih tepatnya ntar besok aja) adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh J.A. Merujuk pada perilaku menunda-nunda pekerjaan (sila lihat pada kamus, kata 'procrastination') dan menjanjikan untuk mengerjakan sesuatu pada waktu yang tak tentu. Besar kemungkinan pekerjaan itu terlupa dan tidak jadi dikerjakan, hanya jadi kata-kata yang menguap di udara.

Atau setidaknya ia adalah musuh dalam selimut. Di awal berlagak layaknya kawan lama, menjanjikan kenikmatan dan ketenangan. Padahal sesungguhnya yang dijanjikan oleh penundaan tanpa alasan, hanyalah penyesalan. Pengkhianatan sempurna, sebab yang dikhianati tak curiga meski berkali-kali ditikam punggungnya.

Maka satu-satunya pilihan yang tersedia, sejatinya hanyalah untuk bersegera. Biarlah yang sudah berlalu jadi pelajaran, biarlah yang esok kita hadapi saat ia benar-benar tiba, namun saat ini kerjakan yang bisa dikerjakan sebaik-baiknya. Hadapi meski beratnya membuatmu harus memejamkan mata! Begitulah selayaknya cara kita hidup, menceburkan diri dalam kebaikan segera setelah selesai dari kebaikan lainnya. Fa idzaa Faraghta Fanshob!

Dan takkan mungkin seseorang rela mengorbankan waktu-waktunya untuk terus beristiqomah dalam kebaikan islam, jika ia tidak mengharap hanya pada yang Maha Kaya, Maha Pencipta. Mereka yang telah moncontohkan kita untuk terus hidup dalam kerja-kerja keimanan yang menerus, takkan tahan apabila tak memiliki Allah untuk berpasrah dan berharap. Sebab segala yang lain tak mampu menjamin. Tak mampu sedikitpun menjamin, karena meski seluruh makhluk bekerja sama untuk memberi manfaat bagi seseorang, takkan mungkin manfaat itu tiba tanpa izin-Nya. begitupun kasusnya ketika yang diharap manusia bagi seseorang adalah kehancuran. takkan terjadi tanpa izin-Nya.

Salah satu hal yang menguatkan seseorang dalam perjalanan kehidupan adalah adanya kawan. Sahabat setia perjalanan. Bukan mereka yang mengiyakan pada setiap langkah dan keputusan. Namun mereka yang kehadirannya membawa kita pada hal yang memang semestinya kita lakukan. Kadang pahit memang, ketika nasihat datang mengajarkan. Kadang bahkan kita merasa tersiksa ketika sadar: bahwa banyak orang yang lebih baik dari kita. Namun, apakah kita rela, merasa mulia saat nyatanya hina? Ah, setidaknya orang yang bodoh dan menyadari kebodohannya masih mending daripada mereka yang angkuh dalam kejahilan yang tak kunjung sembuh.

 Untuk Manusia semulia Muhammad SAW, amat banyak nama-nama yang setia. Para Shahabat yang mulia. Bukankah kita yang penuh cela ini, jauh lebih menghajatkannya: Sahabat setia dalam perjalanan. "Justru bersebab banyak cela pada diri pribadi kaum musliminlah," Kata Ust. Anton dalam suatu tausyiah, "Kita perlu untuk saling membantu. Ya, justru karena kita semua punya kelemahan, lubang, cacat masing-masing."

Maka kawan, untukmu yang setia dalam perjalanan. Terima kasih atas nasihat dan saran yang kadang kuterima dengan pahitnya kekalahan. Sebab senyatanya, manis lebih terasa setelah pahit datang lebih dulu. Maaf atas setiap senyum kecut saat menanggapi ucapanmu. Bukan dirimu yang salah, hanya hati ini yang kadang tak siap menerima saran dan masukan.

Alangkah indah jika kita -meski tentu sama sekali tak semulia Ibrahim 'alaihissalam- menapaki langkah yang melelahkan, walau kadang mata harus terpejam. Ya, semoga kita termasuk mereka yang bersama memejam mata, dalam pahitnya perjalanan.

***

Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara
(Ali Imron : 103)