Selasa, 29 Juli 2014

KSAI Movement

Segala puji hanya bagi Alloh yang telah memberi hidayah kepada kita, dan tidaklah kita berada di jalan yang benar kelau saja Alloh tidak memberikan hidayah-Nya kepada kita. Segala puji hanya bagi-Nya yang telah menutup aib hamba-Nya di siang dan malam hari dan memberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki amalannya.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad ; imam para mujahidin, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang berjihad di jalan dakwah hingga Hari Kiamat.

Semenjak awal kita selalu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Alloh, yang Maha Tunggal, dan tidak ada sekutu bagi-NYA. Kita pun bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Bersekolah di SMA 1 adalah sebuah hal yang sangat  mewah yang kita dapatkan. Barangkali, banyak diantara kita, yang sebelumnya di waktu SMP adalah penjahat ulung di tengah-tengah anak-anak SMP, adalah seorang pendengki, provokator kejahatan-kejahatan, adalah seorang yang tak punya pendirian, prinsip, dan idealisme. Barangkali pula, banyak diantara kita menganggap masa remaja awal, masa SMP adalah masa jahiliyah yang bila kita mengingatnya selalu merasa “aku tidak habis pikir kenapa  dahulu kita seperti itu”. Dan tentu, masih barangkali pula, di antara kita ketika akhir SMP-nya ada hasrat ingin melanjutkan sekolah di SMA 1, lalu  telah berazam, bertekad untuk keluar dari gelapnya masa, menuju cahaya perbaikan diri. Sekali lagi, barangkali diantara kita yang bertekad itu, ada yang kemudian menyambut cahaya Islam dengan bersegera, bergegas, takut ajal segera menjemput. Menjadikan orang lain bertanya-tanya, “ sejak kapan dirimu berubah seperti ini? Setahuku dulu engkau adalaha seorang....”. Sungguh sebuah kejadian yang sangat menakjubkan, ibarat seoarang penjahat yang kini menjadi penjahatnya penjahat, seekor cacing yang menjadi ular naga, atau mutiara yang telah dibersihkan dari lumpurnya. Sebagaimana dalam sebuah hadist, “ Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi terbaik di masa islam, jika mereka berilmu. Hadist Riwayat Bukhori no 1238).

SMA N 1 Yogyakarta adalah sekolah yang telah meluluskan banyak orang-orang hebat yang kemudian melanjutkan perjuangan menegakkan dienul Islam. Sebab, di sekolah Negeri ini banyak hal-hal besar terjadi, yang kadang tak pernah direkam dengan tulisan. Namun diturunkan melalui lisan dengan lisan. Tiga tahun berlalu, dengan tiap tahun, bahkan tiap semester selalu bisa kita uraikan secara definitif apa-apa yang bisa kita lakukan, dan apa-apa yang bisa kita kerjakan.

Namun, tiga tahun yang penuh dengan romantisme kenangan kini sudah berlalu. Setelah acara wisuda telah terlaksana, kita resmi telah diluluskan, telah resmi beranjak pergi untuk menuntut ilmu dijenjang yang lebih tinggi (bagi orang-orang yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah). Sebuah pertanyaan mendasar bagi kita, “ Setelah ini, lalu apa?”.

Bagi kita, yang telah resmi lulus, dan beranjak ke lingkungan baru, hampir bisa dipastikan akan terkaget-kaget melihat  kondisi ini tak sebahagia dulu, tak senyaman dahulu, dan tak seindah dulu kala. Perjalanan awal dimulai dengan ospek di kuliah, yang orang bilang, “ wis to nek wis tau melu GVT ki ospek mung marakke keri (geli)” ( jelas bukan ospek yang hewani yang sampai merenggut nyawa, lho ya). Gambaran indah GVT dengan segala pernak-perniknya kembali memaksa untuk dikenang kembali. Setiap kita yang bertemu dengan sahabat lama di SMA selalu saja berkeluh kesah, tentang dunia kuliah. Ketika penanaman prinsip dan Idealisme di GVT dilakukan secara rapi, halus, dan begitu indah. Di ospek perkuliahan kita dipaksa untuk memiliki sebuah gambaran idealisme yang begitu utopis (berangan-angan) yang bahkan kita sendiri tak bisa membayangkan. Kerasnya kehidupan kuliah membuat sebuah dilema yang begitu mengusik hati, hanyut dengan kerasnya lingkungan kuliah, atau bertahan dengan segenap semangat.

Tiga tahun kini benar-benar telah berlalu. Generasi-generasi dalam sebuah angkatan berganti tanpa bisa kita hentikan. Karena ini adalah sebuah sunnatulloh, bahwa waktu akan terus berjalan tanpa bisa kita hentikan, tanpa bisa kita putar kembali menuju masa lampau. Pernahkah kita merenungi berbagai pelajaran yang begitu banyak di SMA 1 itu? Kenapa, di SMA, ketika umur masih begitu muda belia, kita semua diusahakan untuk dicetak menjadi generasi yang kuat secara aqidah, jasad, pemikiran, kematangan ilmu dan berfikir?

“Pada setiap periode sejarah, generasi muda merupakan rahasia kekuatan umat, tiangnya kebangkitan, serta pusat-nya kekayaan, kebanggaan, dan kemuliaan. Di atas pundak merekalah masa depan umat terpikul, karena pemuda memiliki banyak keistimewaan tersendiri, baik dari segi keberanian, kecerdasan, semangat, maupun dari kekuatan jasmaninya. Sifat-sifat itulah yang dianggap sesuai untuk memimpin, mengelola, membangun, dan meningkatkan peradaban umat.

Pada periode lahirnya syariat Islam yang dibawa Muhammad, generasi muda memegang peranan sangat penting dalam menyebarluaskan dakwah islamiyah ke pelosok-pelosok. Merkalah yang memimpin tentara Islam dalam menaklukkan negeri-negeri dengan umat yang tidak bertuhan, generasi mudalah yang telah membawa rahmat Tuhan yang berupa hidayah kepada umat atheis, agar mereka mau hidup bermasyarakat  di bawah undang-undang yang haq. Dan generasi muda akan tetap memegang peranan penting, selama umat Islam terus hidup.[1]”

Masa SMA tentulah masa emas seorang manusia yang mana disebut sebagai pemuda. Pemuda yang nantinya akan dewasa dan mewarisi estafet perjuangan, tampuk kepemimpinan kemudian akan sampai di tangan mereka. Maka, dakwah SMA merupakan usaha untuk melahirkan generasi dan pemimpin EMAS. Generasi EMAS yang  mewarnai kehidupan anak-anak SMA, yang juga nantinya akan mewarnai lingkungan kampus, kampung, menghidupkan masjid-masjid di masyarakatnya dengan cahaya islam. Dan Pemimpin-pemimpin itu akan lahir dari sini, belajar untuk berjuang menegakkan membumikan Islam di SMA-nya, lalu menjadi penggerak perubahan setelah lulus yang didukung oleh generasinya. Artinya, mendidik pemuda sama artinya menanam benih-benih unggul yang akan berbuah kemenangan In syaa Alloh.

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”  [Al- Kahfi ayat 13]

Tiga tahun sudah berlalu. Barang kali, kita sering lupa, bahwa selain dari guru, para pelajar (kita dahulu) yang berjuang dalam menciptakan cita-cita  Teladan Daarussalaam, ada banyak sosok alumni dibaliknya yang berjuang sepenuh hati, memberikan segala fasilitas dengan  yang diusahakan dengan bersusah payah. Ketika kita dikenalkan lingkungan SMA 1 oleh pendamping SAA (kakak kelas), lalu diajari bagaimana berkasih sayang oleh pansus GVT (kakak kelas) dan minimal selama 8 bulan ada kakak alumni yang telah meluangkan, memprioritaskan waktunya untuk pelajar (kita dahulu). Berusaha memberikan -apa yang telah juga diberikan generasi sebelumnya- banyak kefahaman, seperti pandangan hidup seorang muslim, bagaimana berorganisasi dengan baik, bagaimana mengelola hati dengan baik, bagaimana berda’wah di keluarganya, dan bagaimana mewujudkan cita-cita Teladan Daarussalaam.

Tiga tahun sudah berlalu, dan dari manakah pasukan pembawa cinta itu, yaitu para alumni?. Dahulu kala, sekitar tahun 1993, muslim alumni-alumni  yang resah dengan keadaan umat islam, lebih khusus keadaan generasi muda bangsa ini, telah berkumpul dengan tekad membara. Lahirlah KSAI Al- Uswah, (Kelompok Studi dan Amaliyyah  Islamiyyah). Yang sampai sekarang masih tetap berdiri, dengan segala dinamika yang ada. Untuk memberikan cintanya kepada sang adik-adik karena Alloh. Menginginkan sang adik untuk menjadi lebih baik dari pada mereka. Bukankah kita dahulu pernah bertemu dengan bagian dari mereka? KSAI Al- Uswah.

Karena tiga tahun sudah berlalu kawanku, dan kita telah menanggalkan seragam putih abu-abu. Marilah kita menyambut seruan itu. Seruan untuk kembali ke SMA 1 dalam rangka Reuni Perjuangan, “Sekali Lagi kita akan Berjuang, di KSAI Al-Uswah”.  Dan tiga tahun sudah benar-benar berlalu, bayangkan kawanku, bila angkatan baru kita tempa selama itu. Bayangkan kawanku, bila kita mencetak ratusan pemimpin “Agent of Change yang siap berjuang di kampus, di kampung, di instansi-intstansi dan lembaga lembaga, serta tak lupa untuk ada kembali  ke SMA 1 untuk menjaga system, maka bisa dibayangkan peradaban islam akan segera tampil kembali, menjadi Rahmatan lil ‘alamin dan semua itu berawal dari SMA N 1 Yogyakarta.

[Epilogue]

Harapan,
Cita-cita,
Generasi Baru,
Asa tanpa jeda,
Tuk menggapai Surga

Berapa tahunkah telah kita lalui di tempat ini?
Sejak dulu kita pertama menginjakkan kaki,
Hingga saat ini. Saat kita telah mengenalnya:

Sudut-sudut sepi di sekolah ini,
Cermin-cermin muram dengan coretan jenaka.

Entah sampai kapan, kita akan berjuang di sini.

Kita bukan manusia pertama.
Pun sepertinya juga bukan insan terakhir.
Ya, kita adalah manusia perantara.

Maka layaknya teladan umat manusia
Shalawat serta salam untuknya

Entah itu kemenangan Badar
Atau Uhud yang menggores luka

Kita harus tetap ada.
Istiqamah di jalan-Nya.[2]





Wallohu’alam.

Dari Abangmu teruntukmu, kita akan mengenang kembali Romantisme Perjuangan kita. Walau seragam putih abu-abu telah kita tanggalkan.

Godean, 3 Syawal 1435 Hijrah Nabi.
Adnan Rifai







Sumber,


dari buku yang berjudul asli “Musykilatun fi Thoriq Asysyabaabi”,di terjemahkan, “Onani: Masalah Anak Muda”, bab Pendahuluan, karya Shaleh Tamimi.


Cover Modul Mentoring SMA N 1 YK, 2013/3014 oleh Haidar Muhammad.

Minggu, 27 Juli 2014

Sekapur Sirih Malam Kemenangan

Warna Kemenangan Islam

Deru takbir mewarnai ujung bulan suci. Atmosfir kemenangan menggelora dalam dada. Akhir sebuah perjalanan panjang penyucian jiwa. Kebahagiaan teriring kebersamaan, persatuan seakan tanpa keretakan.

Aura kemenangan ini mengingatkanku akan kisah sejarah dalam buku yang pernah kubaca, warna kemenangan yang menyambut kejayaan Islam. Warna kemenangan dalam setiap episode perjuangan. Penakhlukkan Makkah, perebutan kembali tanah Palestina, penakhlukkan dinding Konstatinopel. Warna kemenangan ketika Islam maju membimbing, menjadi guru peradaban, menjadi penuntun dan nasihat bagi ummat manusia.

Warna kemenangan Islam. Andai mereka merasakannya, pasti mereka ingin segera merebut dan menyambutnya, sebagaimana suka cita mereka menyambut datang nya hari raya yang mulia. Warna kemenangan. Andai mereka merasakannya, pasti mereka tidak akan tidur malam ini. Bekerja keras agar kemenangan itu segera datang ditengah mereka. Agar kemenangan tak hanya mimpi, dan sekadar cita-cita.

Warna kemenangan Islam. Ketika masih ada yang terdzalimi, hadirlah Islam sebagai pembela. Ketika masih ada yang tersesat, hadirlah Islam sebagai pentunjuk dan cahaya. Ketika masih ada yang terjerat, hadirlah Islam sebagai pembebas. Islam hadir sebagai solusi segala permasalahan.

Warna kemenangan Islam. Pengantar berdirinya sebuah peradaban baru dunia. Tatanan peradaban Islam yang memanusiakan manusia. Tatanan yang memuliakan dan meninggikan derajat bangsa-bangsa, melalui jihad nya dengan berpegang teguh dalam kalimat tauhid.

Memantaskan diri. Kata yang paling pantas untuk disemat dalam diri kita. Kapan kita memantaskan diri, sedangkan Muhammad II al-fatih telah menakhlukkan sebuah benteng besar yang tidak tertembus hampir 1000 tahun dalam usia nya yang ke-22?

Ujung bulan suci Ramadhan tahun ini menjadi refleksi bagi diri kita. Seakan sebulan lalu adalah representasi dari hidup kita selama setahun sebelumnya. Ibadah kita, jihad kita, amaliyah kita, semua terwakilkan.

Warna kemenangan Islam. Sudah saatnya kita kembali merenungkan ayat: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata". Ayat yang menjadi pertanda bahwa kemenangan telah dekat, sehingga para sahabat benar-benar memantaskan diri untuk kemenangan tersebut sehingga Allah menurunkan ayat: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan", "Dan kamu lihat manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong". Itulah kemenangan yang nyata. Warna sejati dari sebuah kemenangan. Kemenangan atas diri sendiri, dan kemenangan atas semesta alam.

Dibawah naungan takbir.[M-N-H]

Sabtu, 26 Juli 2014

Serial Generasi Cinta #6

[Cinta Tetumbuhan]

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Bumi adalah padang luas yang dihamparkan Tuhan bagi setiap nafas kehidupan. Langit menaunginya dengan cahaya cerah dan teduhnya sang awan. Diantara keduanya para makhluk kecil hidup bersama dalam horizon luas yang penuh kenikmatan. Cinta senantiasa berada dalam ruang dan waktu yang tercipta, menjadi saksi dari harmoni indah kesempurnaan penciptaaanNya. Kali ini, cinta muncul dari tetumbuhan. Cinta nan penuh kesetiaan.

Ada kalanya cinta menancap layaknya akar. Begitu dalam dia menghujam, menyeruak ke kedalaman tanah menembus lapisan batuan. Cintalah yang senantiasa mencari air sumber kehidupan, menjaga keseimbangan zat hara tanah dengan serabut yang mengikat dan tunggang yang menetap. Akar adalah wujud cinta yang menjadi sumber energi. Bahwa generasi yang penuh cinta senantiasa memiliki keyakinan kuat dalam dirinya. Generasi yang menjaga tradisi kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan.

Cinta juga telah diterjemahkan oleh batang. Kambium yang membentuk lingkaran tahun sebagai lambang kerja keras tak pernah henti, terus mengokohkan dan mencari ruang untuk diisi. Bahwa cinta tak hanya melankoli, tapi ia sumber kekuatan, tempat bersandar kala kita lelah dan butuh pegangan. Generasi yang penuh cinta selalu siap menanggung beban, menjadi soko guru bagi peradaban. Menjadi tiang penyangga bagi tegaknya cita-cita mulia, menjadi tongkat penegak langkah apabila visi terasa renta. Cinta tinggi menjulang menjadi batang nan penuh kekuatan, menyalurkan energi kehidupan dari akar, menjamin bahwa semua energi akan tersebar. Batang mengajarkan bahwa tiap diri sang pencinta harus siap menjadi penopang, bahwa cinta tak sekedar kata, tak cukup dengan sekedar wacana yang berkembang.

Hingga cinta juga diterjemahkan oleh rimbun dedaunan. Pusat fotosintesis, sekaligus menjadi naungan sejuk nan penuh keteduhan. Cinta menjadi pertemuan antara energi kehidupan berupa air tanah dengan cahaya dari langit yang begitu cerah. Cinta menjadi titik temu antara potensi dengan kerja keras, antara air sebagai lambang kesegaran dengan terik mentari sebagai lambang perjuangan. Bahwa cinta adalah optimalisasi potensi lewat perjuangan tanpa henti. Bahwa bukan cinta sejati jika hanya meninabobokkan setiap diri dalam zona nyamannya sendiri. Bahwa perjuangan cinta senantiasa harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki. Dedaunan adalah perwujudan cinta yang saling melengkapi, wujud produktivitas di satu sisi, dan sekaligus kemampuan untuk menjadi pemberi naungan nan menenteramkan hati.

Hingga akhirnya, cinta berkembang menjadi bunga nan indah dipandang. Setiap cinta senantiasa menebarkan semerbak wewangian, menawar warna-warni indah yang merangkai harmoni dalam perbedaan. Cinta bunga sebagai wujud kesetiaan, kala kelopak yang setia melindungi di kala kuncup, tetap setia menempel di mahkota sampai warnanya meredup. Mahkota yang senantiasa indah menawarkan dirinya, melindungi putik dan benangsari di dalamnya. Sabar ia menjadi penggoda bagi lebah dan kupu-kupu, memancing mereka untuk sejenak mencumbu, hingga akhirnya penyerbukan berlalu.

Cinta menghasilkan buah yang dinantikan. Sebagai puncak kebermanfaatan, sebagai sarana pelanjut keturunan. Dan jika kelak para musuh melempari pohon itu dengan batu, maka pohon tak pernah dendam. Buah-buahan lah yang akan menjadi pemberian. Membalas keburukan dengan kebaikan, sebagai wujud cinta nan penuh kelembutan.

Inilah cinta sang tetumbuhan. Cintanya menghujam kuat penuh keyakinan, begitu kokoh menguatkan, begitu teduh layaknya rimbun dedaunan, begitu harum layaknya bebungaan, dan hingga menjadi buah yang penuh kebermanfaatan.


Demikianlah cinta sang tetumbuhan. Yang menjadi bentuk interaksi antara bumi dengan hamparan tanah dan tebaran benih kebaikan, beserta langit yang tak henti memberi curahan cahaya dan tetesan hujan yang senantiasa mencerahkan, menumbuhkan.

Kamis, 24 Juli 2014

Serial Generasi Cinta #5

[Cinta Sang Pengembara]

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Perjalanan menuju tegaknya Islam sebagai soko guru peradaban merupakan sebuah pengembaraan panjang yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Tidak ada yang tidak mengandung pelajaran dari setiap detail epos sejarah panjang para insan yang mencoba menerjemahkan maksud Tuhan dan misi penciptaaan. Episode sejarah yang penuh cinta dan penuh makna tersaji indah dalam kurva ruang dan waktu, yang berinteraksi dalam kisah heroik nan panjang berliku.


Tentu kita ingat dengan generasi Muhammad , yang menjadikan cinta sebagai sebuah energi dahsyat pembentukan generasi. Layaknya sebuah kendaraan peradaban, maka cinta lah yang menjadi pedal gas nan penuh dorongan. Ia menghindarkan manusia dari kejumudan, rasa tinggi hati atas segala nikmat dan kesenangan. Ialah yang menjadi penyemangat bagi segelintir makhluk sederhana yang yakin akan kemuliaan imannya. Ialah yang menjadi peneguh langkah para manusia, berawal dari perbaikan diri menuju tegaknya peradaban yang maju. Tidak ada benteng yang cukup kokoh untuk menahan laju perubahan, dan cinta berhasil diterjemahkan oleh para pejuang menjadi sebuah kekuatan. Cinta yang penuh izzah, kemuliaan.

Tentu tak bisa lupa kita dengan kisah Tha'if. Ketika harapan yang begitu besar, berhadapan dengan tirani kejahiliyahan nan penuh kesombongan. Maka cinta, layaknya sebuah rem bagi kendaraan, mampu membuat sang Utusan tak menggunakan haknya untuk membinasakan. Justru sang Utusan menahan dirinya, dan berharap generasi penerus akan lahir dari rahim-rahim para penolak da'wahnya kelak. Dan Mesir pun mengambil contoh yang mulia, ketika cinta sang Yusuf tak menjadikannya dendam pada saudara yang dahulu membuangnya, tak ada dendam pula pada penguasa yang menfitnahnya. Kisah Mesir pun berlanjut hingga kini, ketika kekuatan cinta justru mengajari kita untuk menahan diri. Meski penjara dan tiang gantungan menjadi akrab bagi para pewaris negeri, meski daya tahan tak diuji melainkan dengan nyawa dan siksaan tanpa henti. Tentu masih membekas dalam memori kita, kisah tentang perjalanan panjang tanah kekhalifahan Islam terakhir di Tanah Turki. Bagaimana cinta diterjemahkan menjadi layaknya pedal kopling dan roda gigi. Ia adalah pengatur energi, ia adalah komitmen untuk menerapkan strategi. Bagaimana cinta akhirnya menuntun para pewaris Al Fatih menjalani hari-hari panjang penuh kesabaran, meski pelan namun berlanjut hingga menuju kemenangan. Bagaimana izzah al Islam ditunjukkan dengan kesetiaan pada tujuan, kepahaman pada target dan misi zaman, dan kerja keras pada setiap sarana yang ditetapkan. Bahwa cinta melahirkan kepahaman pada marhalah tahapan da'wah, bahwa cinta melahirkan generasi yang kompatibel dengan dengan tuntunan zaman.

Tentu ingatan kita masih segar, tentang sebuah peristiwa di masa silam, ketika Umar mengganti Khalid dari posisi panglima perang, dan Khalid pun menerima dengan penuh keikhlasan. Bahwa cinta selalu mengajarkan proses evaluasi dan muhasabah menjadi sebuah sarana asasi, layaknya spion bagi kendaraan di bagian kanan dan kiri. Ada kalanya kita perlu menimbang posisi kita dibanding lingkungan sekitar kita, apa dampak kita bagi sesama. Dan kelak kita akan senantiasa tawadhu' dalam segala keadaan yang ada. Bahwa cinta menjadikan kita mawas diri, menjaga kita dari keegoisan pribadi, dan mengajarkan pada kita tentang prinsip amal jama'i.

Inilah cinta, sebuah obat bagi penyakit yang ada pada setiap diri. Cinta yang hakiki akan melihat ruang kosong lalu berusaha untuk mengisi, bukan mencari titik lemah lalu menggerogoti. Cinta lah yang mendesak kita untuk bergerak ketika kita nyaman dalam diam. Cintalah yang memandu perjalanan ketika kita tergoda untuk tidak fokus atau kehilangan arahan. Cinta lah yang menjadi pengatur energi agar bekal kita mencukupi untuk segenap langkah yang kita jalani. Cintalah yang mampu menjadi peredam ketika kita tergoda untuk menaruh dendam atau menjadi alarm diri saat kita terbawa emosi. Dan cintalah yang menjadi pengingat ketika kita kita terjebak pada kesombongan diri.


Karena cinta sejati membawa pewaris generasi ini mampu mengendalikan diri, bukan dikendalikan oleh egoisme dan terjebak situasi.

Jumat, 18 Juli 2014

Belajar Mengenali Diri

Beberapa waktu yang lalu, saya dengan beberapa teman lain juga, menemani Triany Rizky Arifanti-13412111 untuk menjalani rangkaian seleksi ketua kaderisasi inisiasi MTI ITB 2014. Saat itu saya menyadari satu hal yang berharga mahal. Satu yang menjadi nyawa dari visi yang dia bawa yakni kemauan belajar. Ya, ‘kemauan belajar’ bernilai mahal karena menurut saya tidak semua orang bisa selalu ada dalam posisi itu. Saat kita sedang ada dalam posisi mau untuk belajar, saat itu pula pikiran, hati, dan fisik kita siap menerima segala hal yang masuk ke kita. Tidak ada penolakan sesedikit apapun, karena niat kita ada untuk menerima.

Hal ini sejalan dengan salah satu materi yang pernah saya diskusikan dengan beberapa adik calon mentor OSKM ITB 2014. Materi pola pikir terbuka. Disana disampaikan bahwa,

Pola pikir terbuka merupakan sebuah keadaan ketika, meskipun kita berpikir bahwa kita benar, kita juga harus berpikir bahwa kita bisa saja salah dan kita tetap mau untuk mendengarkan sudut pandang lain bahkan untuk sudut pandang yang bertentangan. (Madhvi, Urbandictionary.com, 6 Juni 2014).

Berangkat dari sini,

Saya sadar, ketika sedang merasa puas pada apa yang telah kita dapatkan sebelumnya, ketika itu pula saya semakin menutup diri pada ilmu-ilmu baru yang mungkin bisa mendewasakan.

Saya sadar akan pernyataan di atas setelah melalui sekian proses pengkaderan, baik di SMA ataupun di kampus selama dua tahun ini. Proses yang saya lalui membuat saya mendapat banyak cermin akan diri saya sendiri. Ini yang saya sebut dengan 'kaderisasi membawa kita untuk mengenal diri'. Ya, karena kita sendiri tau, banyak metode kaderisasi yang diterapkan di banyak tempat. Nah dari situ, secara alami ketika kita ada di posisi yang dikader, akan memberikan respon yang bermacam pula kan? Walaupun mungkin emosinya sama. Tapi mari sejenak pikir dan rasakan, respon kita adalah ukuran sampai mana diri kita telah dewasa menghadapi konflik di luar pemikiran kita. Teridentifikasilah diri kita semakin lengkap.

Teruntuk semua pembaca yang masih sama-sama ada di bangku kuliah. Terkhusus yang sedang dikader. Jika memang, kemauan belajar di atas telah kita bawa, seharusnya kita semakin bersyukur berkesempatan melalui proses kaderisasi ini. Kita diberi kesempatan untuk memperbaiki kapasitas diri sebelum masuk ke dunia profesional. Di dunia profesional yang ada kita benar dan dapet uang atau kita salah dan rugi. Sedangkan disini? sekarang kita difasilitasi oleh sistem yang kita buat sendiri. Kita bisa belajar, bermain membuat sistem, menjalankan sistem, dan mempertahankan parameter keidealan yang kita buat. Bisa saling menghujat dan memuji. Kita, dalam arti masih sesama mahasiswa juga yang melaksanakan. Idealisme yang kita bawa dalam proses ini juga idealisme hasil pembelajaran dan kesepakatan kita bersama. Kita sesama mahasiswa. Tidak ada patokan salah dan benar untuk yang dikader ataupun pengkader karena masih sama-sama belajar statusnya. Yang ada pembelajaran dari ketidakidealan.

Lalu untuk para penyelenggara kader, disini kita juga banyak dibawa untuk belajar. Belajar melihat dari berbagai macam sudut pandang kebutuhan. Belajar membawa nilai yang telah kita sepakati untuk dititipkan pada adik-adik kita. Menjaga idealisme dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian. Lagi- lagi karena ini saya sebut sebagai belajar, sebutuh itu pula untuk punya niat kesana dengan pola pikir terbuka. Sedikit saja kita sebagai pengkader menutup diri dan berpikiran bahwa kita selamanya benar sebagai kakak, selama itu pula adik-adik yang kita kader tidak akan terpancing untuk ingin tau lebih dalam tentang nilai-nilai kita. Karena adik-adik kita tidak butuh banyak ilmu teoritis, mereka pasti sudah punya juga dari banyak sumber, yang mereka perlu adalah kerelaan kita untuk mau berbagi lebih. Berbagi lebih dengan sama-sama berniat untuk saling bertukar sudut pandang. Berbagi apa yang telah kita petik selama kita ada lebih dahulu dari mereka.

 
Sampai disini, anda boleh berkesimpulan untuk setuju atau tidak. Karena segala bentuk pernyataan diatas, mungkin hanya terjadi pada diri saya. Dan tidak selamanya semua orang setuju dan akan mengalami hal yang sama.

Ada banyak cara untuk mengenal diri. Salah satunya dengan kaderisasi. Ya. Kaderisasi, belajar untuk mengenali diri kita ini siapa dan seperti apa. Tidak muluk-muluk, kaderisasi sesederhana berbagi :)

Selamat berpetualang !

18 July 2014 at 00:54




Ega Zulfa Rahcita

Selasa, 15 Juli 2014

Resume Dialog Intelektual #4

[Menyatu Dengan Zaman]


Tulisan yang ditangisi oleh penulisnya..

Sebuah refleksi terhadap nilai perjuangan seorang da'i..

Kita mengenal para ilmuan dengan karya-karya dan penemuan besar, yang melalui penemuannya muncul sebuah entitas pemikiran baru dan entitas masyarakat dengan cara berpikir yang baru.

Kita mengenal para raja dan panglima dengan kharisma, kecerdikan dan kepiawaiannya, yang melalui titahnya mampu menghinakan atau memuliakan sebuah negeri.

Kita mengenal para seniman dengan karya tak hidupnya yang mampu menghidupkan jiwa, mempengaruhi perilaku, bahkan membuat orang lain berpikir dan bertindak diluar batas kendalinya.

Kita mengenal para pembaharu Islam dari sejarah, sebagai seorang pahlawan yang memuliakan dan menghiasi zaman dengan kebaikan-kebaikan, yang kemanfaatannya terasa melampaui zamannya.

Namun, bagaimana kita mengenal diri seorang da'i? Atau lebih tepatnya, bagaimana kita mengenal diri kita sendiri? Apa yang kita kenal dari diri kita sebagai seorang da'i, sehingga kita bisa meningkatkan kapasitas dan nilai, peran, serta kontribusi?

Teringat sebuah perkataan seorang intelektual Muslim Indonesia ketika mencirikan bagaimana pemimpin Indonesia seharusnya: "Pemimpin bangsa Indonesia harus menjadi otaknya Indonesia, menjadi jantungnya Indonesia, dan menjadi tulang punggungnya Indonesia."

Dan begitulah seharusnya bagaimana para da'i mencirikan dirinya. Menyatu dengan zaman. Inilah yang membuat para da'i menjadi istimewa. Ia menjadi mata nya zaman, dimana ia melihat wajah kondisi zaman secara utuh, dimanapun, kapanpun. Ia menjadi telinga nya zaman, dimana ia mendengar hiruk pikuk, kebisingan dan keluh kesah. Tidak cukup sampai disini. Seorang da'i harus menjadi jantungnya zaman, dimana ia secara pasif mengalirkan dan memompa semangat peningkatan kualitas kebaikan. Ia harus menjadi otaknya zaman, dimana ia selalu menghiasi akal pikirannya dengan gagasan-gagasan dan rencana-rencana besar perubahan.

Kita sudah mendapatkan sebuah pribadi seorang da'i melalui ciri diatas. Akan tetapi yang baru kita dapatkan hanyalah seorang da'i tanpa produktifitas. Hanya beretorika. Hanya membuat gagasan. Hanya merencanakan. Dakwahnya terbatas pada diskusi-diskusi tentang kegelisahan dan cita-cita kebaikan, namun nol besar perjuangan. Da'i yang terbuai dalam mimpi indah. Ini tidak cukup.

Seorang da'i adalah tangan dan kakinya zaman. Ketika ia berani  mengkaryakan gagasannya dengan langkah dan kerja nyata. Ketika ia tetap berdiri, bertahan, berkorban dan bersabar melawan gelombang dan badai kenyataan zaman. Lengkaplah seorang da'i yang menyatu dengan zaman. Seorang da'i yang memiliki cita-cita besar, diiringi dengan kerja-kerja besar. Seorang da'i yang bukan hanya pikirannya yang melampaui zaman, namun dengan langkah dan kerja besar yang dampak nya terasa melampaui zaman.

Diatas semua itu ada yang lebih penting. Menyatu dengan zaman tidak muncul dengan sendirinya. Tidak spontan. Menyatu dengan zaman melampaui sebuah proses panjang yang disengaja antara kegelisahan dan perenungan. Antara pemikiran dan tindakan. Menyatu dengan zaman muncul dari sebuah titik sentuh dari dalam diri seorang da'i.

Rasulullah SAW benar-benar mengalami proses ini sebelum beliau diangkat sebagai nabi dan rasul. Berangkat dari sebuah kegelisahan terhadap kondisi dan perilaku masyarakat jahiliyah. Berangkat dari sebuah perenungan dan pemikiran panjang, selama Rasulullah berdiam beri'tikaf di gua Hira. Begitulah Rasulullah melampaui sebuah proses panjang. Dan Rasulullah SAW memulai estafet misi risalah kenabian dengan penuh keyakinan, semangat, dan perjuangan yang tiada tara.

Agaknya inilah yang melatar belakangi para da'i terdahulu. Mereka menghidupkan titik sentuh. Titik yang menjadi titik ledak seorang da'i sehingga ia siap melanjutkan estafet misi risalah kenabian. Seperti dikata: "Setiap Muslim mewarisi misi risalah kenabian". Mereka menjadi refleksi bagi kita yang mengaku diri sebagai penerus estafet misi risalah kenabian. Pantaskah kita? Sudahkah titik sentuh ini hidup dan menjadi bagian dari landasan segenap perjuangan kita? Atau selama ini kita salah dalam memulai dan melandasi perjuangan kita?

Maka: "Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang Maha Pencipta"(QS: 96: 1)

Bismillah. Waktunya berbenah.

Kota Gede, 14 Juli 2014

[M-N-H]

Senin, 14 Juli 2014

Resume Dialog Intelektual #3

[Prolog-Kurindu Senyum Itu]

Sore itu,

Bedah SKL untuk persiapan ujian sudah mulai membosankan dan akhirnya teristirahatkan dengan adzan Ashar. Kuputuskan untuk nylonong keluar kelas untuk sholat ashar berjama'ah di Masjid sekolah tercinta.Seusai sholat, biasa, kusapa adik-adikku tercinta yang kulihat biasa berkumpul di masjid dari pulsekteng

"Piye kabare dek?" (dengan tersenyum) (Ini pertanyaan paling mainstream di sekolah kami)

"Alhamdulillah mas, apik-apik wae" (dijawab dengan senyum manis menurut rupa)

Aaah, senyumnyaa.. Manis kata orang, tapi ini bukan senyum yang kunanti. Entah mengapa aku tidak melihat kehangatan dalam senyumnya walaupun sudah bisa dikatakan manis. Seakan-akan senyumnya berkata.

"Alhamdulillah mas, apik-apik wae"
Bukan berkata

"Alhamdulillah mas, apik insyaAllah. Iki aku lagi berjuang, dongakke yo mas!"

Dari tatapan matanya, bibirnya, dan ekspresinya tak kulihat senyum hangat itu. Sore itu, kusadari senyum hangat itu tidak bisa dibuat dalam sekejap. Senyum hangat hanya bisa muncul ketika seseorang sedang memikul beban. Dan ternyata sulit untuk dijelaskan -___- Arrgghh!
Mudahnya, bandingkan saja senyumnya Pak Karno atau Pak Harto atau mungkin Pak Prabowo dengan artis-artis yang ada di layar kaca. Pokoknya beda! (sedikit maksa)

Dan senyumannya ketika itu bukan senyum yang kurindu sedangkan beban-beban itu sudah cukup menjadi alasan dalam kehangatan senyum

Malam itu,

"Dialog intelektual" (ngobrol kalo bahasa gampangynya) kami menceritakan aktifitas dan perjuangan kami di masa putih-abu-abu. Kakak kami bercerita:

"Mbiyen ki pas jamanku nek mikir PTB ki yo ngasi do nangis-nangis"
Akupun tak mau kalah:

"Aku mbiyen mikir GVT yo tekan stres mas, nganti aku ngompol terus ning omah. Takono ibuku"

Dan kemudian banyak cerita darah dan tetes air mata kami. Hingga sampai pada sebuah celetukan

"Sik-sik, kok keto'e ki sing do nggetih ki kok dudu programe POH yo? Kowe ning POH tau ngrasakke ngene ra?"

Serempak menjawab:

"ORA"

"Kalaupun ada beban, bukan ummat yang dipikirnya. Namun kok begini ya kondisi organisasiku" Itu gumamku.

Aneh,



Bersambung...

14 Juli 2014


Ja’far Ayyasy


Resume Dialog Intelektual #2

[From The Silent Majority]
Jika detik-detikmu terus berlalu, dan engkau masih seperti itu,
Jika jam-jammu terus berlalu, dan engkau masih seperti itu,
Jika hari-harimu berlalu, dan engkau masih seperti itu,
Maka, tanya-tanyalah, pada lubuk hati terdalammu,
Ini tentang hidupmu,
Ini tentang hidupmu,
Ini tentang hidupmu,

Jika hanya dengan berdiam saja bisa menyelesaikan masalah dan memberikan solusi, maka setiap orang akan memilih untuk diam. Memang benar jika dikata diam itu sebaik-baik perbuatan, jika dengan diamnya ia bisa memberi maslahat dan menghindarkan madharat. Memang benar jika dikata diam itu seburuk-buruk perbuatan, jika dengan diamnya ia tak bisa menghadirkan maslahat bahkan mendatangkan madharat.

Terjelaskan bahwa setiap hal yang dilakukan pasti memberikan dampak, bahkan dari hanya sekadar diam. Ketika diam kita menjadikan kita tidak produktif atau bahkan diam kita menjadikan kita (seperti) mati. Dan ini berlaku pada setiap orang. Bahkan orang baik sekalipun.

Tidak cukup sekadar menjadi orang baik. Karena setelah menjadi orang baik, ada hal yang harus dilakukan untuk membuktikan kebaikan orang tersebut. Karena kebaikan itu pada dasarnya adalah sebuah nilai, dan nilai itu akan muncul dengan sendirinya setelah perbuatan.

Maka disinilah muncul titik permasalahan bagi para penyandang titel kebaikan. Baiknya hanya untuk diri sendiri, atau baiknya untuk diri sendiri dan orang lain. Menjadi orang yang sholih atau menjadi orang yang mushlih. Itu adalah hak dan kebebasan kita untuk memilih, menjadi seperti apa, mengambil peran sebagai apa.   

Jika orang baik itu ibarat air, maka orang baik yang diam adalah air pada aliran yang tersumbat lalu menghasilkan genangan. Ia yang dengan kebaikannya, tidak bisa memberikan kemanfaatan bagi siapapun, bahkan bagi dirinya sendiri. Dan orang baik yang berbuat adalah air yang terus mengalir. Ia yang dengan kebaikannya bisa menghadirkan banyak kemanfaatan. Disinilah letak bedanya muslim yang produktif dan muslim yang tidak produktif. Yaitu pada amalnya, pada perbuatan yang dilakukannya. Ia selalu ingin memberikan yang terbaik pada setiap amal yang dilakukannya, dan sebaliknya.

Menjadi volunteer kebaikan, menjadi agen perbaikan adalah solusi, disaat semua merindukan lahirnya para pembaharu, kita menyadari bahwa akhir-akhir ini telah mengalami stagnasi yang panjang, bahkan akut. Kita melalui banyak hal tanpa pemaknaan yang mendalam, dan dengan kehampaan yang dirasakan. Dan ini adalah bahaya, kita memang melakukan banyak hal, tapi yang banyak itu tidak memberikan dampak yang signifikan, bagi kita pun orang lain.

Maka kehadiran mereka adalah harapan, maka kehadiran mereka adalah dirindukan. Mereka tidak sekedar menjadi volunteer kebaikan tapi bahkan menjadi pioneer kebaikan. Ia yang selalu memberi warna baru, ia yang selalu menjadi semangat baru.

Kini, saatnya berbenah dan berpindah dari the silent majority menuju muslim yang produktif, menghasilkan gagasan baru, menghasilkan ide-ide baru. Karena umat telah lama menantimu. J



Maka, menjadi orang muslim yang bisa selalu menghadirkan manfaat adalah cita-cita.
Maka, menjadi orang muslim yang bisa selalu ber-amar ma'ruf adalah cita-cita.
Maka, menjadi orang muslim yang bisa selalu ber-nahi munkar adalah cita-cita.


Jogjakarta, 14 Juli 2014



Ahmad Zaki Rmd.


Minggu, 13 Juli 2014

Resume Dialog Intelektual #1

Komunitas muncul dari berkumpulnya orang-orang yang sering ngobrol. Lalu sebuah organisasi lahir darinya. Dengan perpaduan ‘ke-spontan-an’ dan sistem, organisasi akan selalu tumbuh. Organisasi menua ketika ‘ke-spontan-an’ hilang dan sistem yang ada hanya menjadi formalitas. Organisasi mati saat orang-orang menjalankan hal-hal yang formalitas saja sudah tidak professional lagi. Saat itulah terjadi persimpangan, akan bangkit (terlahir) kembali atau jasad organisasi dikuburkan dalam liang lahat, dengan kata lain dibubarkan.

Jika demikian, lalu apa yang menjadi pondasi sebuah organisasi? Maka sudah dapat diduga, ialah (1) ke-spontan-an, dan (2) Sistem (formal), dimana kedua hal tadi harus dijaga melalui (3) pewarisan yang jelas.

Ke-spontan-an  (kami lebih suka menyebutnya dengan acong). Apa itu acong?

***

Suatu ketika ada dua orang pelajar kelas 3 yang selalu berdialog secara intelektual di meja paling belakang. Mereka adalah korban kekejaman zaman. Zaman itu memaksanya untuk harus memberontak atas kemapananan yang mulai mengerikan. Merencanakan sebuah gerakan yang merupakan anti-tesa dari generasi sebelumnya. Bayangkan saja, ketika itu (hampir) sama sekali tak ada pewarisan pengalaman, mereka berdua (hampir) tak merasakan hangatnya pelukan dari kakak-kakaknya yang seharusnya memanggil mereka untuk mengajak sekedar meminum teh anget  bersama lalu berdialog.

“Kita bukan yang memulainya, kenapa kita yang harus bertanggungjawab?”, umpatnya dibalik wajah-wajah pucat mereka.

Singkat cerita, mereka berdua memutuskan untuk membuat mabit. Judulnya Mabit Penjahat. Tanpa banyak syuro’ mereka bisa membuat mabit hanya berpanitia dua orang. Ini adalah sebuah otokritik (autocritic) di zaman itu. Sederhana saja, mereka hanya ingin membangkitkan kembali pemikiran untuk selalu melakukan yang menjadi hal yang substansial dan sesuai dengan kondisi zamannya (acongisme), tanpa terjebak dengan sistem yang mapan yang tak memberi kemanfaatan lebih. Bahasa inteleknya, mereka menyerukan gerakan dekonstruksi.

Malam itu, mereka mempertemukan tiga angkatan sekaligus untuk membicarakan masa depan sekolahnya agar menjadi lebih baik. Mengajak adik-adiknya untuk makan dan minum bersama lalu berdialog secara intelektual (halah). Juga membuat gerakan penjahat sebagai bentuk untuk keluar dari sistem. Di mulai sholat ashar di masjid, lalu mereka ditinggal oleh kedua orang tadi disebabkan mereka harus mencari makan malam untuk peserta. Para peserta lalu di ultimatum, “kalau setelah kami kembali kalian belum saling kenal, maka...”. Lalu malam itu diisi dengan sebuah materi yang tertuang dari kegelisahan dalam hati.
slide pertama


Usai materi adalah tidur, karena pagi-pagi sekali akan diadakan games ‘maut’, akan tetapi para pserta malah ngobrol (dialog intelektual), akhirnya game ‘maut’ tidak diadakan. Setelah subuh penutupan, dan pergi bersama untuk sarapan sambil mengobrol lagi.

Lalu apa dan kenapa namanya penjahat? “kita tidak akan menjadi penjahat seperti mereka, hanya saja kita akan menjadi penjahatnya penjahat. Karena penjahatnya penjahat adalah kawan dari pembela kebenaran. Kita sebenarnya juga pembela kebenaran hanya saja seorang penjahat dari para penjahat asli. Para pembela kebenaran memiliki musuh penjahat asli. Penjahat asli memiliki musuh penjahat ‘yaitu kita’, dan kita berkawan dengan pembela kebenaran. Kita juga pembela kebenaran yang bertitel penjahat.”. Ya, begitulah ceritanya kumpulan anak-anak jenaka yang dirudung rasa gelisah yang mendalam.

Mabit penjahat yang lainnya dilakukan sesaat sebelum bulan Ramadhan tiba. Mabit itu memiliki tujuan (1) mengeluarkan semua mushaf Al-Qur’an di lemari-lemari kelas dan menaruhnya di atas meja, dan (2) menulisi papan tulis dengan kalimat basmalah. (sebaiknya mabit kedua ini jangan langsung dicontoh, berkoordinasilah dengan guru-guru!!!!). Kegiatan di atas sebenarnya hanyalah alasan, tujuan utamanya adalah dialog intelektual dalam waktu malam yang syahdu!

Akhirnya, penjahat mulai redup, ketika berganti nama yang kurang berfilosofis dan tidak membakar semangat. Namanya menjadi semacam, barisan dakwah, agen-agen dakwah. Alasannya karena dakwah tidak dibedakan menjadi dakwah ikhwan dan dakwah akhwat, dan karena nama penjahat terlalu seram maka harus diganti. Karena namanya terlalu berat, konsepnya menjadi kabur. Padahal nama penjahat pada hakikatnya adalah "ayo bergerak, tanpa banyak syuro’ yang memubadzirkan waktu, tenaga, dan pikiran !"(saya sama sekali tidak merendahkan syuro’, hanya para pelakunya).
Maka, sekarang namanya menjadi acong (semoga tidak ditolak lagi, hehe). (haha) Lalu bagaimana folosofi acong? Ah lain kali saja dibahasnya.

***

Maka, seiring berjalannya waktu, kami tersadar. Bahwa tidak selamanya harus melakukan anti-tesis untuk mengobati zaman. Ada alternatif cara, yaitu sintesis. Sintesis maksudnya adalah menggabungkan semuanya yang baik.

Sebuah organisasi tanpa sistem maka lebih pantas dengan komunitas. Dan organisasi tanpa acong lebih pantas disebut dengan organisasi yang hampir mati, yang lupa akan tujuan awal. Maka, sebuah organisasi yang dinamis dan selalu muda membutuhkan kedua hal tadi untuk terus ada.

Kedua hal tadi bukanlah dualisme maupun dualistik, akan tetapi dualitas. Dualisme artinya sebuah paham dimana kedua hal tadi haruslah dipertentangkan. Acong hanya untuk ketika menjadi komunitas dan ketika menjadi organisasi acong harus dibuang karena bertentangan dengan sistem. Sistem saja atau acong saja. Dualistik maksudnya bahwa kedua hal tadi sejak awal adalah sesuatu bertentangan dan ada sekat ditengahnya. Sedangkan dualitas artinya keduanya adalah berpasangan dan saling melengkapi, seperti siang dan malam, juga laki-laki dan perempuan. Dualitas bukan berarti harus seimbang, akan tetapi haruslah sesuai dengan kondisi realitas. Terkadang lebih dibutuhkan acong, dan terkadang pula harus menjalankan sistem (formalitas) yang diutamakan.

slide terakhir

***

Semoga bisa disambung kembali, in syaa Alloh

Godean, 13 Juli 2014


Adnan Rifai

Dialog Intelektual

Bismillah

Zaman selalu berubah, terkadang kita hanya menjadi pewaris 'tradisi'. Tanpa tahu kebutuhan Dakwah terus berubah. Maka saat itulah kita perlu untuk membuka mata, melihat disamping kanan kiri kita. Lalu berdiskusi, "Kita Harus Berpikir dan Bertindak".

Mengutip tulisan Mas Luthfi Alfikri 2012, "Di saat adik-adik kecil kami masih asik dengan boneka dan mobil-mobilannya. Dan di saat orang-orang tua di negeri ini sudah sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadinya. Maka tak ada pilihan lain, bahwa pemudalah yang menjadi pelopor, tulang punggung perubahan, yang sadar akan carut marutnya negeri ini."


POH [seharusnya] bukanlah mereka yang menutup diri. Tak punya teman. POH, Pelayan Oemat Harian. Bukankah nama itu sungguh indah?

Mengutip tulisan Mas Shofwan Albanna Choiruzzad Dua 2003, "Tapi, “pemuda” bukanlah semata soal daftar usia yang di bawah 30-an itu. “Pemuda” itu lebih dicirikan oleh pikiran dan tindakan mereka yang melampaui zamannya"(Shofwan ABCd - selasar.com). Kalau pemuda zaman dahulu lebih memikirkan, bagaimana Hijab agar diterima, bagaimana anak-anak rohis itu tercerminkan pemuda yang sholeh, pintar, berakhlak baik dengan sesama, guru dan karyawan, maka Pemuda zaman ini (POH) memiliki beban yang lebih. Karena sekali lagi, “Pemuda” itu lebih dicirikan oleh pikiran dan tindakan mereka yang melampaui zamannya."

Untuk itu Mengundang teman-teman Pelajar maupun Alumni SMA N 1 YK sekalian dalam obrolan santai di acara "Dialog Intelektual-POH dalam Menjawab Tantangan Zaman". Sabtu, 12 Juli 2014, jam 8.30-Selesai, di Aula Katamso, SMA N 1 Yk.

Ahmad Zaki Haidar Muhammad Mufid Nur Hasyim Ahmad Alfian Nursalim Adnan Rifai Ja'far Ayyasy

silahkan di Share dan temen2nya di Tag nggih.

Bagi temen-temen yang bisa datang lebih pagi, mohon bantuannya untuk turut mempersiapkan. (usung-usung karpet, kursi, hijab)

Jogjakarta, 12 Juli 2014


Acongers

Sabtu, 12 Juli 2014

Serial Generasi Cinta #4

Ada Dilemma dalam Cinta

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Pembangunan generasi adalah sebuah kisah yang perjuangannya terukir abadi dalam sejarah panjang peradaban. Dan seiring dengan berjalannya waktu dilemma yang mengiringi kisah itu pun juga ikut menjadi bagian tak terpisahkan dari khasanah & pelajaran yg penuh hikmah. Bahwa mempelajari bagaimana proses terbentuknya generasi yang gemilang takkan mampu secara sempurna kita lakukan jika kita tak memahami dilemma para pewaris peradaban ketika mengambil keputusan bagi generasi yang penerusnya. Bahwa formula jitu pembangunan generasi juga terletak pada kemampuan seorang pemandu dalam mengendalikan cinta mereka, tidak terjebak pada cinta yang lemah penuh haru biru belaka.

Dilemma pertama bisa jadi muncul ketika melihat generasi penerus kehilangan visi. Apakah kita harus menuntun mereka sepenuhnya? Tegakah kita melihat mereka terombang ambing dalam ketidakpastian langkahnya?

Maka cinta kitalah yang akan menuntun mereka, tanpa mengurangi sedikitpun kepercayaan kita padanya. Bahwa untuk menghadapi dilemma ini kita patut memastikan agar langkah yang kita ambil tidak semakin menjerumuskan mereka dalam ketidaktahuannya. Bahwa sekedar memberitahu mereka harus berjalan kemana ada kalanya harus kita tempatkan sebagai alternatif terakhir dari sekian banyak kemungkinan yang ada. Maka cinta akan mengajari kita untuk mengajak mereka membuka lembaran pelajaran yang dulu pernah kita berikan. Cinta akan menuntun mereka mengumpulkan serpihan bekal yang bisa jadi tertinggal sepanjang perjalanan yang ditempuhnya. Kita patut memfasilitasi mereka untuk menggambarkan visi suksesnya tanpa terjebak pada bayang-bayang kita.

Dilemma kedua adalah saat generasi kita minim strategi. Kehilangan jiwa seni saat mengelola segenap potensi yang dimiliki da'wah ini. Apakah kita mesti mengajari satu demi satu langkah-langkah yang harus ditempuh? Ataukah kita biarkan generasi penerus kita terus menahan keluh dalam kisah trial and error yang tak pernah putus?

Maka cinta kitalah yang akan membimbing mereka mencapai formula jitu guna membimbing generasinya. Terkadang cinta mesti merelakan anak-anak ideologi kita berdarah-darah dalam mencapainya. Tidak tega mungkin kadang mewakili cinta, namun cinta sejati takkan biarkan ketidaktegaan menghalangi proses pendewasaan mereka. Bahwa pengalaman dakwah hanya dapat dilakukan dengan pengamalan nilai nilai teoritis yang selama ini diajarkan, tidak dengan keluhan kekhawatiran akan apa yang akan terjadi di masa depan atau wajah yang tertunduk mengingat masa lalu yang tampak suram.

Ya, bahwa dilemma membimbing generasi kadang membuat kita terjerumus ke dua hal: ketidakpercayaan pada para pewaris yang berujung pada mandegnya suksesi, atau tuntunan otoriter yang berujung pada lahirnya generasi manja yang selalu alpa dalam inisiasi. Kewajaran diri menerima kenyataan bahwa zaman sudah berubah tidak lantas membuat kita menjadi pembuat benteng bagi mereka sehingga daya kreativitasnya lemah dan minim pengalaman. Tidak juga membuat kita bebas nilai dalam pewarisan karena merasa bahwa ini sudah bukan zaman kita. Ingat, ini adalah zaman kita juga, sehebat atau sebaik apapun karir da'wah kita sebelumnya. Hanya peran saja yang harusnya disesuaikan, tentu telah diawali denga proses pewarisan. Karena promosi marhalah da'wah tidak berarti meninggalkan, tetapi melanjutkan.


Ya, selalu ada dilemma dalam cinta. Antara menuntun mereka sepanjang waktu, atau membiarkan mereka dalam kebingungan yang tak tentu. Namun tentu bukan keduanya yang akan kita pilih. Karena da'wah ini mengajarkan pada kita adanya ketegasan disamping sifat asih. Karena da'wah ini juga mengajarkan kemandirian di samping rasa kasih sayang. Tidak ada yang perlu dirisaukan ketika melihat generasi pewaris menghadapi masalah pelik, selama kita senantiasa hadir dalam hari-hari mereka. Membimbing tanpa paksaan, memberi saran tanpa sifat arogan, mewariskan pemgalaman dengan senantiasa menyadarkan: bahwa pengalaman da'wah hanya bisa didapat dari pengamalan teori da'wah dalam setiap sendi kehidupan.

Serial Generasi Cinta #3

Ada Cinta yang Menjebak

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB hidayatisnan@yahoo.com)

Segala puji hanya Allah semata, yang Mahasempurna dalam menyandingkan segala hal dalam keseimbangan. Oleh karenanya selalu ada kata cinta yang seiring dengan kata pengorbanan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada insan mulia Nabi Muhammad SAW al Musthofa, yang memberikan teladan bahwa setiap klaim kata cinta harus terkonversi menjadi amal nyata.

Pembahasan tentang cinta dalam pembentukan generasi ini takkan habis, layaknya mata air yang akan terus mengalir membasahi bumi, layaknya pula air mata yang kadang membasahi pipi. Bukan soal sedikit atau banyaknya, tapi kita takkan pernah mampu memisahkan cinta dari usaha pembentukan sebuah generasi yang mulia. Namun lebih dari semua itu, ada satu hal yang patut kita tahu. Kadang ada cinta yang menjebak. Yang justru membuat generasi menjadi lemah dan enggan bergerak.

Cinta ada kalanya dipahami secara sepihak, menjadi bentuk pembenaran bagi kebanggaan yang meledak-ledak. Akhirnya para pemandu, generasi yang lebih tua, memandang cinta terlalu berlebihan dalam hegemoninya.

Seolah cinta diibaratkan seperti membangun sebuah rumah yang sangat aman bagi sang anak, memastikan generasi penerusnya senantiasa nyaman dalam pengawasannya.

Seolah cinta diibaratkan sebagai membangun sebuah benteng yang sangat kokoh, sehingga tak seorangpun musuh dapat mengganggu proses pewarisan dan pendidikan bagi para penerusnya.

Seolah cinta layaknya memberi perisai, yang memastikan para pewarisnya takkan terluka. Kalaupun ketiganya adalah kebaikan, ada satu pertanyaan yang tersisa. Kapan para anak-anak ideologi kita akan berinteraksi dengan kehidupan yang sesungguhnya?

Cinta seharusnya tidak membatasi para generasi baru hanya terduduk lesu dalam penjagaan yang penuh haru biru. Cinta harusnya mencipta kerja. Cinta seharusnya tidak menciptakan penjara realita dari keadaan yang sesungguhnya. Cinta lahir dari kedewasaan dalam memandang kenyataan. Cinta seharusnya tidak membuat seseorang takut untuk terluka. Cinta adalah obat lelah bagi mereka yang seharian bekerja.

Kalaulah kita anggap cinta sebagai sebuah rumah yang begitu nyaman, maka ia adalah tempat kembali bagi anak-anak ideologi yang begitu keras berjuang. Bahwa cinta tak semata soal membangun suasana kondusif untuk belajar, tapi juga soal menanamkan keberanian untuk mencoba dan mempraktekkan setiap pelajaran.

Kalaulah kita ibaratkan cinta sebagai sebuah benteng yang aman, maka ia adalah tempat untuk mengatur strategi, lalu kemudian maju berperang. Bahwa cinta tak semata soal mencari perlindungan, tapi juga soal manajemen diri untuk senantiasa produktif beramal.

Kalaulah kita maksudkan cinta sebagai perisai, maka ia adalah sebuah bentuk penjagaan bagi mereka untuk sebuah pertempuran yang tak jua usai. Bahwa cinta bukan semata soal membuat garis pertahanan, tapi juga soal memberi pemahaman untuk mengambil peran.

Dalam membangun sebuah generasi, kita mesti memahami cinta secara berimbang. Bahwa luka yang tercipta saat berjuang bukanlah kehinaan, justru cinta lah yang akan mengikat setiap pemahaman dengan kebijaksanaan yang lahir dari kenyataan. Bahwa lelahnya hati dan tubuh ini kala berkontribusi tidaklah melemahkan, karena cinta lah yang akan menjadi penawar bagi setiap diri dengan berinteraksinya energi ideologi dengan energi rangkuman potensi yang dimiliki ummat ini. Bahwa satu-satunya penyebab dari kedewasaan sebuah generasi adalah dengan mengajarkannya komitmen kebaikan seiring dengan kerasnya usaha untuk mengambil makna dari setiap peristiwa dalam kehidupan.


Mari membangun generasi dalam pemahaman cinta yang seimbang. Karena ada cinta yang menjebak, ada cinta yang justru membuat kita malas untuk bergerak.