Jumat, 28 November 2014

Sketsa: Kau Kenal Aku?

Oleh: Adnan Rifai

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepda beliau memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan, Umar berkata, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!”

Lelaki itu pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu umar bertanya kepada orang itu, “ Apakah kau kenal orang ini?”

“Ya”

“Apakah engkau tetangganya, dan tahu keadaan sebenarnya?”, Umar bertanya.

“Tidak,” kata orang itu.

“Apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalan, sehingga tahu pasti perangai dan akhlaknya...?”

“Tidak.”

“Apakah engkau hanya mengenalnya ketika dia berdiri dan duduk di Masjid?”

“Ya.”

“Enyahlah Engkau dari sini. Engkau tak mengenalnya....”

Lalu Umar menoleh kepada laki-laki itu dan berkata, “Bawa lagi orang yang benar-benar mengenalmu ke sini.”

Dalam riwayat lain dikatakan, ada seseorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar Bin Khattab bahwa si fulan itu seseorang yang jujur. Maka beliau bertanya, “Apakah engkau pernah menempuh perjalanan yang jauh bersamanya?”

“Tidak”

“Apakah pernah terjadi permusuhan antara kau dan dia?”, tanya Umar Bin Khattab.

“Tidak”.

“APakah engkau pernah memberinya amanat?”

“Tidak.”

“Kalau begitu”, kata Umar, “Kau tidak mengenalnya  selain melihatnya mengangkat dan menundukan kepalanya di Masjid.”

***

Apakah mungkin, selama ini kita tak mengenal seorang pun. Juga tak dikenal oleh seseorang pun? –bahkan kepada kedua orang tua? Na’udzubillah. Kita mengaku, telah menjadi sahabat dari beberapa orang yang kita cintai, namun seberapa lama dan seberapa dekat kita mengiringinya dalam menempuh perjalanan ini? Perjalanan  nun jauh maupun perjalanan kehidupan?

***

“Andai dakwah bisa tegak dengan seorang diri, maka tak perlu Musa mengajak Harun. Tak perlu pula Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menemani Hijrah. Meskipun pengemban dakwah adalah seorang yang ‘alim, faqih, dan memiliki azzam yang kuat, tetap saja ia manusia lemah yang akan selalu membutuhkan saudaranya. Peliharalah saudaramu, jangan abaikan keberadaannya di sisimu, sebab mungkin ialah bagian dari lingkaran doa yang melingkupi langkahmu.”

***

Kenalilah mereka, tak hanya sebatas nama dan alamat. Sebab jika engkau tahu latar belakangnya, dimana dan bagaimana  mereka dibesarkan, engkau akan lebih bijaksana. Karibmu penuh cacat, cela,dan serba kekurangan. Begitu juga denganmu. Setiap insan punya kekurangan. Dengan bersamalah, setiap cela, cacat, dan kekurangan akan saling tertutupi.

***

Meski, kita tak akan bisa mengenali orang lain lebih dari kita mengenali diri kita. Sebab bagaimana mungkin kita membaca isi hati orang lain? Tetapi, kadang kala kita juga menemui saat-saat di mana tak mengenal siapa sebenarnya diri ini. “Dalam dekapan ukhuwah,” Ustadz Salim menjelaskan, “Allah akan menganugerahkan kepada kita sahabat – sahabat yang kadang lebih mampu menilai kita dari pada diri sendiri.”. Sadarkah bahwa kita tak pernah melihat diri kita. Melihat saat bercanda, berbicara, diam. Maka bercerminlah kepada siapa saja yang dekat dengan kita. Karena sikap mereka adalah cerminan tingkah laku kita.

“Secara pribadi, kadang kita memang bias dan menjadi tak jujur dalam mengenai diri.", lanjut beliau, "Kita menilai diri sendiri berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilai sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.”

***

"Aku merasa sendiri, diantara lautan manusia yang entah sibuk dalam dunianya". Drama kesendirian acapkali menyiksa mereka yang mulai putus asa, atau kecewa. Sebuah fragmen dari cerita besar yang paling menyayat.

Sayangnya, drama kesendirian sering dibuat sendiri oleh para pemeran. Seakan ia benar-benar sendiri, mengabaikan segalanya yang ada, dan berharap kepada yang selalu memberi kekecewaan. Manusia.
Apakah kita lupa, bahwa Nabi Musa berdo'a meminta teman dalam mengemban misi? Maka Musa dan Harun berangkat bersama dalam suka dan cita.

Maka berharaplah, berdo'alah kepada Alloh, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun yang mengharapkan keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang memanjatkan do’a kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti dapat dilaksanakan dengan sempurna. Segala puji hanya bagi Alloh yang telah menciptakan segala sesuatu, lalu menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah menetapkan takdir lalu menurunkan petunjuk bagi para hamba-Nya.


Wallohu a'lam.

Kamis, 27 November 2014

Semanis Perjuangan Dakwah Sekolah

oleh: Asni Ramdani,S. Si.

Dakwah Sekolah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Tunas Bangsa merupakan aset berharga bagi kebangkitan Islam. Berdakwah di dalamnya menjadi sebuah perjuangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di sisi lain seringkali muncul sebuah pertanyaan: Mengapa perlu berdakwah kepada pelajar? Tentu. Pelajar mempunyai andil besar dalam menyumbangkan pemikiran dan pergerakan di lapangan. Mereka adalah generasi muda yang ikut andil dalam menyusun batu bata – batu bata demi sebuah bangunan yang kokoh, di mana tujuan akhirnya adalah perwujudan khairu ummah. Di usia mereka yang masih belia, berdakwah pada pelajar dapat menggiring mereka untuk lebih produktif dan kritis dalam mengembangkan ide-ide segarnya. Jumlahnya yang sangat massif akan semakin bermanfaat ketika arah kerja mereka didukung dengan manhaj dakwah sekolah yang ideal.

Menjadi seorang ikhwah yang telah ditempuh tarbiyah bertahun-tahun sejatinya mampu membuka pandangan kita tentang syumuliyatul Islam, kesempurnaan Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia begitu jelas, sejak dari masalah aqidah, kehidupan sehari-hari, hingga aspek ekonomi dan politik. Pemahaman akan Syumuliyatul Islam ini akan lebih terhujam pada diri seseorang salah satunya melalui pendinian tarbiyah. Inilah alasan mengapa pembinaan tarbiyah menjadi esensial di ranah dakwah sekolah. Harapannya mereka yang  telah menempu pendinian tarbiyah sejak SMP, SMA atau bahkan SD kelak dapat melanjutkan dakwah mereka di berbagai ranah yang ada, dan ketika menjadi mahasiswa mereka akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai ideologi yang menyerang di ranah kampus.
Dalam membina para tunas bangsa, ibaratkan mereka adalah benih-benih segar yang sangat berkualitas, meski begitu kemampuan memahami dan berintima’ pada suatu ideologi masing-masing mempunyai kadar yang tidak sama. Sehingga penting adanya sebuah stakeholder dan pengarah yang berperan aktif sebagai organisator serta membuat konsep-konsep dakwah di sekolah bagi tunas bangsa yang mudah dipahami dan mendukung tujuan besar kita yaitu Ustadziatul Alam.

Seperti halnya dakwah kampus, dakwah sekolah pun terlahir dari rahim perjuangan, di mana jumlah para murabbi dan binaan yang harus diampu sering tidak seimbang, problema yang mereka hadapi pun tidak ringan, pelajar seringkali dekat dengan tawuran, narkoba, korban perang pemikiran dan berbagai pihak dari luar yang menentang adanya pembinaan kepada pelajar. Para binaan yang diampu pun tidak hanya mereka yang masih berstatus siswa, namun juga para alumni yang masih membina tetap di dakwah sekolah.

Ilustrasi – Mentoring keislaman di sebuah masjid sekolah. (flickr.com/array064)
Menjadi sebuah keniscayaan ketika jumlah para kader dakwah sekolah semakin menipis, banyak dari kader yang terbina memilih untuk melanjutkan estafet dakwahnya di ranah kampus, yang menjadi evaluasi ketika banyak aktivis dakwah kampus sudah enggan menggarap sekolah, padahal jarak dan waktu masih memungkinkan. Pernah suatu ketika mendengar cerita bahwa seorang aktivis enggan menggarap sekolah karena karier mereka dapat lebih mumpuni kala di kampus, letaknya yang strategis dan dekat dengan eksistensi diri, ujian adanya nama besar ditakutkan akan melemahkan fitrah makna dakwah itu sendiri. Wallahu a’lam. Tentu ini tidak bisa digeneralisasikan, karena bagaimanapun dakwah kampus dan dakwah sekolah adalah satu ikatan tujuan.

Para aktivis di dakwah sekolah memang masih jauh dari sempurna, tetapi kerelaan mereka untuk tetap membina jundi-jundi muda dengan jumlah murabbi yang terbatas di tengah aktivitas mereka yang jauh dari dunia sekolah menjadi renungan tersendiri bagi kita bahwa dakwah sekolah perlu diperjuangkan. Ya, sampai sekarang aktivis di dalamnya masih terus mengekspansi berbagai sekolah agar terus berkembang dan terbina secara berkesinambungan. Harapannya semakin banyak generasi muda yang terbina dan tumbuh kuat dari sisi tarbawi maupun haraki hingga  para simpatisan yang aktif dalam kegiatan jamahiri.

Pada akhirnya, setiap kader yang terlahir dari rahim perjuangan dakwah sekolah sepatutnya bersyukur karena diberi kesempatan oleh Allah untuk melanjutkan estafet dakwah ini, menyusun batu bata yang baik hingga menjadi pondasi-pondasi yang kokoh. Insya Allah. Wahai saudaraku  tetaplah bersemangat meski kau lelah mencari pembina ke sana-sini, meski waktu, jarak bahkan materi seringkali menjadi hambatanmu dalam berjuang. Pun bila kau ditanya tentang semangat, jawablah bahwa bara itu masih tersemat dalam dadamu, api itu masih bersemayam dalam dirimu, dan ingatilah bahwa janji-janji-Nya adalah yang kita tuju.

Selasa, 25 November 2014

Mereka yang Bersama Memejam Mata.


Oleh: Haidar Muhammad

Alangkah berat bagi Ibrahim alaihissalam, tugas kali ini. Ya, bahkan bagi Ibrahim, Seorang lelaki terpuji yang Allah jadikan teladan bagi manusia. Setiap ujian yang diembankan padanya, selalulah berakhir sama: “Fa Atammahunna,” Selalu ia sempurnakan.

Anak yang ia nanti-nantikan berpuluh-puluh tahun lamanya, Isma’il alaihissalam, harus ia sembelih dengan tangannya sendiri. Seorang anak yang begitu ia sayangi, yang tengah tumbuh menjadi anak shalih yang cerdas dan penuh bakti. Seorang anak yang membuat orangtuanya bersemangat melihat tiap perkembangan dalam dirinya di setiap waktu. Seorang anak yang amat diharapkan kehadirannya di tengah-tengah keluarga sang Khalilullah.

Beberapa malam, lewat mimpi Ibrahim menerima perintah itu. Hingga akhirnya, setelah ia yakin bahwa ini betul-betul perintah Allah, ia mendiskusikan hal ini bersama sang anak. Sang anak dengan penuh taqwa mengiyakan, apabila itu memang perintah Allah. “Insya Allah,” katanya, “engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Alkisah, Nabi Ibrahim lantas membaringkan putra kesayangannya atas pelipisnya. Dengan Niat dan kepatuhan yang bulat, Ibrahim menggerakkan pisaunya, Sambil memejam mata.

***

“Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban”

Begitu Ustadz Salim membuka tulisannya yang berjudul “Yakinlah, dan pejamkan mata.”

Banyak pengalaman hidup yang telah kita lalui. Kita berkali-kali diingatkan, bahwa hakikat hidup adalah penghambaan kepada Allah semata. Secara kognitif kita sesungguhnya paham, bahwa banyak hal yang menghambat kita dari peribadahan, sesungguhnya adalah ujian. Bahkan hal-hal yang kita pandang sebagai keindahan, sebab syaitan begitu pandai menggoda kita dengan yang indah-indah. “Zukhrufal Qouli ghuruuro,” Perkataan yang indah namun sejatinya menyesatkan adalah salah satu senjata ampuh syaitan.

Semakin lama saya melalui perjalanan hidup ini, tentu semakin banyak alasan yang saya ketahui dapat menjadi apologi pelarian. Ada kalanya, pikiran ini lebih sibuk mencari-cari alasan untuk menghilang dari pekerjaan daripada memikirkan bagaimana mensukseskan amanah yang diemban. Kadang kita terjebak oleh hal seperti ini, sehingga banyak meninggalkan pekerjaan dengan alasan-alasan yang diramu canggih dengan kata menawan.

Mungkin kita tidak akan kehilangan harga diri, atau penerimaan dari teman-teman. Namun hakikatnya kita tengah melukai diri sendiri; Mengungkung jiwa lebih dalam di ruang gelap stagnansi, atau bahkan regresi. Sebab saat kita melarikan diri, berharap masalah hilang menguap jadi awan, Yang terjadi tidak demikian, sungguh masalah itu makin lama tumbuh menjadi “monster” yang  ganas, buas, dan besar. Karena itulah kita mesti menyadari; satu-satunya cara lari dari masalah adalah dengan menghadapinya. Sesegera mungkin.

"Tarsok* adalah duri dalam daging."
*Tarsok, (atau lebih tepatnya ntar besok aja) adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh J.A. Merujuk pada perilaku menunda-nunda pekerjaan (sila lihat pada kamus, kata 'procrastination') dan menjanjikan untuk mengerjakan sesuatu pada waktu yang tak tentu. Besar kemungkinan pekerjaan itu terlupa dan tidak jadi dikerjakan, hanya jadi kata-kata yang menguap di udara.

Atau setidaknya ia adalah musuh dalam selimut. Di awal berlagak layaknya kawan lama, menjanjikan kenikmatan dan ketenangan. Padahal sesungguhnya yang dijanjikan oleh penundaan tanpa alasan, hanyalah penyesalan. Pengkhianatan sempurna, sebab yang dikhianati tak curiga meski berkali-kali ditikam punggungnya.

Maka satu-satunya pilihan yang tersedia, sejatinya hanyalah untuk bersegera. Biarlah yang sudah berlalu jadi pelajaran, biarlah yang esok kita hadapi saat ia benar-benar tiba, namun saat ini kerjakan yang bisa dikerjakan sebaik-baiknya. Hadapi meski beratnya membuatmu harus memejamkan mata! Begitulah selayaknya cara kita hidup, menceburkan diri dalam kebaikan segera setelah selesai dari kebaikan lainnya. Fa idzaa Faraghta Fanshob!

Dan takkan mungkin seseorang rela mengorbankan waktu-waktunya untuk terus beristiqomah dalam kebaikan islam, jika ia tidak mengharap hanya pada yang Maha Kaya, Maha Pencipta. Mereka yang telah moncontohkan kita untuk terus hidup dalam kerja-kerja keimanan yang menerus, takkan tahan apabila tak memiliki Allah untuk berpasrah dan berharap. Sebab segala yang lain tak mampu menjamin. Tak mampu sedikitpun menjamin, karena meski seluruh makhluk bekerja sama untuk memberi manfaat bagi seseorang, takkan mungkin manfaat itu tiba tanpa izin-Nya. begitupun kasusnya ketika yang diharap manusia bagi seseorang adalah kehancuran. takkan terjadi tanpa izin-Nya.

Salah satu hal yang menguatkan seseorang dalam perjalanan kehidupan adalah adanya kawan. Sahabat setia perjalanan. Bukan mereka yang mengiyakan pada setiap langkah dan keputusan. Namun mereka yang kehadirannya membawa kita pada hal yang memang semestinya kita lakukan. Kadang pahit memang, ketika nasihat datang mengajarkan. Kadang bahkan kita merasa tersiksa ketika sadar: bahwa banyak orang yang lebih baik dari kita. Namun, apakah kita rela, merasa mulia saat nyatanya hina? Ah, setidaknya orang yang bodoh dan menyadari kebodohannya masih mending daripada mereka yang angkuh dalam kejahilan yang tak kunjung sembuh.

 Untuk Manusia semulia Muhammad SAW, amat banyak nama-nama yang setia. Para Shahabat yang mulia. Bukankah kita yang penuh cela ini, jauh lebih menghajatkannya: Sahabat setia dalam perjalanan. "Justru bersebab banyak cela pada diri pribadi kaum musliminlah," Kata Ust. Anton dalam suatu tausyiah, "Kita perlu untuk saling membantu. Ya, justru karena kita semua punya kelemahan, lubang, cacat masing-masing."

Maka kawan, untukmu yang setia dalam perjalanan. Terima kasih atas nasihat dan saran yang kadang kuterima dengan pahitnya kekalahan. Sebab senyatanya, manis lebih terasa setelah pahit datang lebih dulu. Maaf atas setiap senyum kecut saat menanggapi ucapanmu. Bukan dirimu yang salah, hanya hati ini yang kadang tak siap menerima saran dan masukan.

Alangkah indah jika kita -meski tentu sama sekali tak semulia Ibrahim 'alaihissalam- menapaki langkah yang melelahkan, walau kadang mata harus terpejam. Ya, semoga kita termasuk mereka yang bersama memejam mata, dalam pahitnya perjalanan.

***

Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara
(Ali Imron : 103)


Minggu, 23 November 2014

Segelas Teh dan Kesedihan

"Allahumma Inni a'udzubika minal hammi wal hazan..."

***

Lelaki itu lelah.

Sebakda berenang pagi itu, seluruh tubuhnya merasa lemas. Maklum, ia memang belum lama belajar berenang; pagi itu saja ia masih belum bisa ambil napas.

Hari Sabtu memang hari yang penuh agenda buatnya dan teman-teman. Berenang, lantas mengikuti sebuah diskusi intelektual -yang sepertinya menyita banyak glukosa untuk membantu otak bekerja- membuat perut dan lidahnya kompak mengajukan satu kandidat makan siang: Mie ayam yang ada pangsitnya.

Maka setelah shalat dzuhur ditunaikan, lelaki itu bersama kawan-kawannya berangkat mencari mie ayam. Di tengah siang yang terik, yang panasnya memerahkan kulit, mereka mengikuti salah seorang kawan yang paham daerah itu. Sedikit demi sedikit mekanisme fisiologis itu semakin terasa: Haus.

Bak pengembara yang melihat oasis fatamorgana, lelaki itu harus menahan kekecewaannya. warung Mie ayam dengan pangsit yang dari tadi diharap-harapkan tutup. Rombongan kelaparan itupun meneruskan perjalanan. "Ada satu lagi dekat sini," Kata sang kawan. Harapanpun kembali meninggi. Namun -seakan-akan ada konspirasi penjual mie ayam untuk tutup pada hari itu- warung kedua pun tutup pula.

Bagaimanapun mereka harus melanjutkan perburuan mie ayam ini, sebab perut, mulut, dan kerongkongan mereka terus mengirimkan sinyal kebutuhan.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang penuh harap-cemas, mereka menemukan satu warung di pinggir jalan besar. Warung ini tidak terlalu luas, namun penataannya yang rapi dan bersih membuat mereka nyaman. Sejurus kemudian, mereka menyampaikan pesanan masing-masing. Perut memang masih bisa menunggu, namun kerongkongan sudah meraung-raung kehausan.

"Es Teh sama mie ayam pedas ya mbak," Lelaki itu menyampaikan pesanannya dan memastikan, "Sudah ada pangsitnya kan?" Dan gayung pun bersambut, kini rombongan itu tinggal menunggu.

Sang tamu istimewa pun tiba: Es teh yang datang di saat kehausan, saat terik matahari amat terasa, memang bukan sekedar es teh. Dibandingkan es teh yang datang di saat kerongkongan telah banyak terbasahi, tentu nikmatnya berkali-kali lipatannya. "Srupuut," seruputan pertama lelaki itu, tak terungkapkan kata-kata nikmatnya. Hingga, ketika gelas itu tinggal terisi separuhnya, dengan hati yang amat senang lelaki itu mengatakan: " Teh ini takhemat ah, biar nanti habis makan mie ayam masih bisa nge es."

Beberapa menit setelahnya, mie ayam dengan pangsit pesanan mereka disajikan. Mie ayam yang ini agak berbeda dengan biasanya, di atasnya sudah di toppingi dengan sambal yang melimpah. Makin kuatlah hujjah lelaki itu untuk menghemat es tehnya yang nikmat itu. Namun, ketika akan mengambil mie ayamnya, tragedi itu pun terjadi: sikunya tanpa sengaja menyampluk gelas es teh yang segar itu. Waktu tak bisa dihentikan, detik tak bisa dikembalikan. Kini es teh yang nikmat itu ter reduksi menjadi genangan yang tak lebih hanya meminta untuk dilap dan dibersihkan.

Harapan dan angan-angan kecil lelaki itu "lenyap" seketika, sekejapan mata, dengan nafas sehela.


***
Apa yang kita rasakan, saat suatu ekspektasi tinggi terhunjam ke tanah seketika?
Apa yang sekilas terbit di pikiran kita, saat harapan lenyap -meski sementara saja-?
Apa yang hati kita lalui, di waktu-waktu ketika kita benci pada diri sendiri?
Jawabannya? Sedih. Sedih, dan Sedih.

Kesedihan. Ialah yang dapat membuat manusia yang tegar biasanya, bisa meratap-ratap tak semestinya. Ia yang kadang jadi alasan seseorang memilih kematian paling menghinakan, bunuh diri dalam keputusasaan. Ialah yang  mungkin secara tidak rasional membuat seseorang memutuskan untuk berhenti berkembang. Ialah kesedihan.

Memang seringkali perasaan kita membuat persepsi penuh ilusi. Membuat logika tak berdaya, bahkan membuat kita gelap mata. Ada -setidaknya- dua perasaan yang menghipnotis kita agar lupa pada hari yang tengah dilalui. Membuat kita lalai akan masa kini: Kecemasan dan kesedihan. Atau dengan gaya bahasa lainnya; galau dan sedih. galau adalah rasa cemas dan takut akan kemungkinan-kemungkinan di masa depan, sedangkan sedih adalah penyesalan-penyesalan berlebihan atas yang terlampaukan.

Yang dialami oleh lelaki dalam cerita di depan semestinya adalah kesedihan. Sebab ia menyesali sikunya yang menjadi pelaku tersiakannya es teh yang dihematkan. Lantas apa yang seharusnya dilakukan lelaki itu selanjutnya? Apakah sebaiknya ia ratapi kepergian esteh itu, atau segera move on menatap masa depan?

Simpel: Relakan, Bersihkan, Pesan es teh lagi, dan maknai agar tak terulangi.  Kadang, sesimpel itu pula seharusnya kita menghadapi kekecewaan yang sesekali bertamu dalam kehidupan. Saat kita mendapat IP di bawah target yang kita tuliskan, saat kita sadar bahwa sahabat kita bukan manusia sempurna bersebab kekhilafan, saat kita sadar bahwa terlalu banyak waktu yang telah kita anggarkan untuk kesia-siaan. Sesimpel itu, dengan modifikasi tertentu.

Bahwa skalanya berbeda dengan kehilangan sekedar es teh, itu keniscayaan. Namun, Pola flowchartnya memiliki kesamaan. Jangan sampai kita terjebak dengan skala dan ukuran kekecewaan, toh musibah yang Allah kirimkan selalu sesuai kadar kemampuan penerimanya. Sebab, saat itu -saat kita mengisi waktu dengan bernestapa ria- kita tengah mengorbankan banyak hal yang jauh lebih berharga. Dr. 'Aidh Al Qarni, dalam "Laa Tahzan" menasihatkan: 
 
"Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu, sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad, dan mengubur masa depan yang belum terjadi."

Tindakan bodoh dan gila. Sebab sulit dibayangkan akal kita memberi kesimpulan bahwa lebih baik mengisi waktu dengan meratapi kegagalan, daripada memperbaikinya.
"Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam." tulis beliau di beberapa paragraf setelahnya, "Selamatkan diri anda dari bayangan masa lalu! Apakah dirimu ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, dan air mata ke dalam kelopak mata?"

Waktu memang -biidznillah- tak bisa berputar ke masa lalu. Detik yang telah terlalui, sekejap menjadi hal terjauh dari kehidupan insani, sebab ia jadi bagian dari masa lalu, masa yang tak terjangkau manusia meski dengan segenap usaha. Maka alangkah baiknya jika saat ini juga, atau di waktu kita tergoda tuk "menikmati" rasa tersiksa, digunakan untuk memperbaiki diri dan hidup yang tersisa. Apakah kita akan selamanya seperti ini? mengandalkan alasan dan rasionalisasi untuk menutupi lalai dan lemahnya diri? Tidak boleh, sungguh tidak pantas bagi seorang mukmin, jatuh di lubang yang sama berkali-kali.

***

Alhamdulillah, lelaki itu -ya, lelaki penikmat es teh itu- tidak berlama-lama mengerutkan muka. Setelah memakan mie ayam pangsit yang pedas itu, ia memesan es teh lagi sambil bergumam dalam hati:

"Besok lagi, aku harus lebih berhati-hati"
Kenangan, ada bukan untuk dilupakan.
Pun bukan pula tuk diratapi setengah  mati.
ianya mengisahkan jalan kehidupan
biarlah ia jadi pelajaran.
Untukku, untukmu, untuk mereka.

                                                                 

Mari Mencari Makna

Oleh: RLA
“Aku tak mati wae.”

Kalimat itu yang terucap dari mulut seorang pria tua yang sedang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Sambil meronta karena menahan sakit akibat meminum cairan kimia, ia berteriak untuk minta diakhiri hidupnya saat itu juga. Dahulu orang mengenalnya sebagai pelipur lara melalui layar kaca diberbagai acara. Kini, badannya kurus kering, wajahnya tirus.  Seolah hilang segala riwayat kelucuan dan canda yang pernah ia lakonkan.

Pernahkah merasa ada buncahan dalam dada yang membuat hati sesak dan tidur pun tak nyenyak? Jikalau boleh menerjemahkan, mungkin itulah yang dirasakan oleh pria tua tersebut.Buncahan yang menyesakkan sehingga hidup menjadi tiada makna, “Aku tak mati wae”. Pernahkan sahabat merasakan hal yang sama? Itu sangat menyiksa, bukan?
“Saya nggak berguna”

Pernahkah ada masa ketika merasa hidup ini hanya bisa menjadi benalu bagi orang lain? Tidak produktif dan merepotkan. Bukan orang lain yang sembarangan pula, melainkan orang yang kita sayangi: orang tua kita, teman, guru, dsb. Merasa tidak cukup bermakna bagi orang lain.Itu sangat menyiksa, bukan?
“aktivitasku banyak tapi kok..”

Atau pernahkah ada masa ketika hidup ini begitu sibuk? Seperti kutu loncat yang hinggap dari satu aktivitas ke aktivitas lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu tempat ke tempat yang lain pula. Mungkin pernah ada masa ketika pergantian hari menjadi seakan pergantian jam, pergantian jam seakan pergantian menit, begitu pula seterusnya. Semua terasa sangat cepat.Seakan kita telah melakukan banyak hal dalam kondisi tersebut, namun kita merasa h a m p a. Tanpa makna. Itu juga sangat menyiksa.

Semua peraksaan menyiksa tanpa makna tersebut terkadang menghasilkan suatu hal yang sama: putus asa. Putus asalah yang membuat pria tua itu ingin mengakhiri hidupnya. Putus asa lah hasil penilaian terhadap diri yang merasa menjadi benalu. Putus asa pula lah yang bisa jadi menghentikan total aktivitas-aktivitas kita.

Lantas apa yang dicari? Apa yang hilang?
Rasanya lama sekali untuk bisa menemukan jawabannya. Padahal jawaban tersebut sudah dekat dan ada sejak dulu.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” QS. Ali ‘Imran:139)


Iman pada Allah-lah pelipur lara saat dunia terasa sempit bagi kita. Seperti kata ‘Aidh Al-Qarnee dalam bukunya “Menjadi Wanita Paling Bahagia”
Wahai manusia yang paling berbahagia, dengan agama dan akhlaknya
Tanpa mutiara, perhiasan, dan emas engkau bahagia
Karena tasbihmu bagai kabar gembira, rintik hujan, sinar fajar,
cahaya mentari, dan awan yang tiada berhenti mengalir,
dalam sujud, doa, dan perenunganmu terhadap cahaya kitab-Nya,
yang menyeruak dari celah-celah sebuah gua,
lalu oleh rasul Rabb-mu dipancarkan kepada segenap bangsa Arab dan Romawi,
Engkau adalah yang paling bahagia di dunia dan akhirat
Dengan kesucian hatimu yang dibangun dengan taqarrub



Allah melalui hamba-Nya mengingatkan kepada saya bahwa berbagai peristiwa dalam kehidupan kita itu sudah by design. Tidak ada yang kebetulan. Hamba-Nya yang lain juga mengingatkan bahwa sesungguhnya peristiwa yang kita lalui itu bukanlah kejadian yang biasa. Ada banyak makna yang Allah selipkan didalamnya. Tugas kita adalah mencari makna sebanyak-banyaknya sehingga itu membuat kita mengerti. Membuat kita lebih berarti.

“bila engkau putus asa hanya karena belum mendapatkan jalan keluar, kau kemanakan Allah dan Kemahakuasaan-Nya?”(Dr. ‘Aidh Al-Qarnee)

Untuk kalian yang putus asa dan merasa tak berarti. Jangan sedih. Kalian bukannya tak istimewa. Kalian mungkin hanya lupa mencari makna.Oleh karena itu, mari mencari makna.. J


Referensi:
Al-Qur’an nul Kariim
Menjadi Wanita Paling Bahagia. Karya Dr. ‘Aidh Al-Qarnee
041114



Rabu, 19 November 2014

KEEP YOUR HEAD UP! :)

“Kalau sedang butuh semangat, saya pasti kembali ke lantai hijau itu, sekolah yang teduh oleh cemaranya itu.Di sana ada apa?

Di sana ada realita.”

oleh: 
Zahrin Afina, 
KPPI-KSAI 1435

Sebagai seorang akademisi dengan jadwal penuh, atau bahkan organisator yang sok sibuk, kita sering terpusat pada urusan diri sendiri, iya apa iya? ^.^”

Hal itu mungkin bisa membuat kita tampak apatis bagi sebagian orang, egoisbagi sebagian orang lainnya, tapi menurut saya yang paling berbahaya; kadang, ketika kita sampai terjatuh, kita akan merasa menjadi orang paling menyedihkan...dan akhirnya, terjebak dalam ketidak-percayaan diri, terjebak oleh keterpurukan. Dan itu adalah salah satu kelemahan umat Muslim saat ini. Sampai ust. Anis Matta pernah berpesan, ”kalau datang ujian yang sangat besar, salah satu yang bisa kita lakukan adalah melupakannya, Allah karuniakan kemampuan untuk itu. Dengan begitu, kita bisa menghemat energi untuk melakukan banyak tugas yang lain.”

Benar bahwa tiap orang punya masalah yang akan terus datang bak gelombang di hidupnya. Tiap orang menghadapi "perang" dalam dirinya. Bahkan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa salah satu jihad yang utama adalah melawan diri sendiri alias hawa nafsu.

Tetapi sebelumnya, pernahkah kita menyadari, bahwa ada suatu mekanisme alamiah yang mungkin sudah berkali Allah tunjukkan pada kita: bahwa masalah dalam diri tidak harus selalu diselesaikan sendiri kok, yang perlu kita bantu benar-benar itu justru masalah orang lain, yang dengan begitu ia menjadi teringankan, ukhuwah otomatis menguat, balasan besar ikut menanti, dan tiba-tiba saja masalah diri sendiri pun –secara langsung/tidak langsung- ikut terselesaikan. Pernah kan, mengalaminya?

Sebab, bukankah seringkali masalah kita hanya akibat sikap kurang bersyukur, kufur nikmat, alias diada-adakan? Sebab, sebagai apa masalah itu hadir selalu tergantung pada sudut pandang kita terhadapnya.Dan Allah, Allah akan selalu menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya. Subhanallaah :')

Seperti itu juga halnya ketika kita membina. Apakah menjadi seorang 'murabbi' cukup dengan menghafal teori, ilmu fiqh, dan sebagainya (meskipun itu saja sudah berat --yah walaupun kayaknya kita kurang niat saja kalau sampai tidak mengejarnya di 'kandang ilmu' di Jogja ini)? Kalau diibaratkan, murabbi adalah 'syaikh' yang harus berinteraksi dengan tiap hati mad'u-nya, mengetahui latar belakang sampai alam pikiran serta permasalahan mutarabbi-nya. Karenanya, membina itu nyeni. Dalam mengenali, memahami, membantu mencarikan solusi bagi jiwa manusia yang beragam itu kreatifitas niscaya dibutuhkan. Dan dasarnya, kata Sayyid Quthb rahimahullah, adalah kepekaan. Kepekaan atau sensitifitas terhadap sesuatu baik itu perasaan maupun realita, yang menjadi konsekuensi atas kebenaran yang kita yakini dan syahadat kita, dan kesemua ini disebut mas'uliyah. M-A-S-U-L-I-Y-A-H. *Sounds familiar? Jadi tak perlu dijelaskan panjang lebar lagi ya..^^

Kemudian, last but really not least, kedekatan kita dengan Allah (ma’rifatullah –mengenalNya dengan baik, taat beribadah, dan taqwa kepadaNya) adalah ruh sebenarnya dari semua seni itu. Memang dengan apalagi kita menggapai hati jika hanya Dia Sang Pemilik dan Pembolak-balik hati?

**Yang menulis ini, sama sekali bukan berarti sudah bisa mempraktikkannya dengan sempurna. Seperti yang tadi saya bilang kan, bagaimana mau peka kalau terlalu fokus pada diri sendiri, kalau egoismenya masih selembar penuh begitu? :"

Hmm,"hidup untuk orang lain.." ya. Semoga kita tak asing ya. Sungguh kita tetap patut berusaha, karena ia termasuk ajaran Islam yang dasar, sunnah Rasulullah, yang sedari awal berkata,
"Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat. Amal yang paling dicintai Allah adalah membuat seorang muslim bahagia atau menghilangkan kesulitannya, membayarkan hutangnya, dan mengusir rasa laparnya. Berjalan bersama seorang muslim untuk memenuhi keperluannya lebih aku sukai daripada beri'tikaf di dalam masjid selama sebulan. Barangsiapa menutup amarahnya, niscaya Allah akan menutup auratnya, dan barangsiapa menyembunyikan kemarahan yang bisa ia tumpahkan jika ia berkehendak, maka pada hari kiamat Allah akan memnuhi hatinya dengan keridhaan. Barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk satu keperluan hingga menetapkannya untuk saudaranya tersebut, niscaya Allah akan menetapkannya ketika kaki-kaki terpeleset. Sesungguhnya akhlak yang buruk itu merusak amal, sebagaimana cuka merusak madu." (HR. Thabrani)

Ditambah lagi dengan mekanisme alamiah antar-manusia yang indah di atas, kurang baik apa Allah yang dengan lembut menuntun kita untuk membantu orang lain, hidup untuk orang lain?

Katanya dakwah juga itu kan intinya; cinta, karena ingin saudara kita sama-sama masuk surga. Atau kadang seperti membersihkan sampah yang bukan kita yang membuangnya. Maka yang namanya cinta, akan meminta segalanya darimu. Dan mari bersabar terus dalam memberi, karena kalau tidak nanti rasanya seperti diambil paksa.

Cara lain lagi untuk bangkit, adalah bertemu dengan qiyadah (pimpinan dakwah) kita.

Qiyadah yang baik adalah yang bisa membuat jundinya berkata, "Tidak ada waktu untukku mengeluh sementara beliau-beliau (para qiyadah) sedang melakukan semua yang terbaik yang mereka bisa!"

Qiyadah yang baik itu yang kedatangannya saja membuatmu renyuh oleh cinta. Ketika beliau telah terlebih dulu mengetahui kebutuhan jundi-jundinya, dapat memvisualisasikan dan mengkomunikasikan segala impian dalam misi-misi, serta bersedia untuk selalu melangkah di depan.

Karena.. beliau telah begitu berani melawan dirinya lebih keras untuk amanah ini.

Kemudian dengan atau tanpa kita sadari, cinta itu menyergap jadi rasa malu melihat diri kita yang masih berkutat dengan masalah-masalah lemah azzam, buramnya himmah (biggest concern), yang disebabkan dunia begitulah. Sedangkan mereka menjaga 'kekondusifan' itu dengan terus bekerja dalam frame dakwah, yang dengan begitu mereka 'naikkelas'.. bahwa begitu cara mereka zuhud dari dunia. Sehingga kita pun insyaf bahwa mungkin memang satu-satunya cara adalah tak sedikit pun berdiam dari aktivitas dakwah.

Ya, bersyukurlah kita jika memiliki qiyadah yang dengan izin-Nya bisa menunjukkan pada kita yang lebih sering 'mengering' ini bagaimana mencintai jalan dakwah ini dengan benar.

Ah, kalau berbicara tentang cinta, yang total di bumi ini hanya 1% dari seluruh Cinta milik Allah, teringat pula kita pada saudara-saudara Muslim di penjuru dunia.

Cinta ini yang menggerakkan tiap barisan masyarakyat Mesir untuk mengusung singgasana keadilan yang amat berat itu meski kemarin ditawan musuh dan kini --untuk sementara!- direbut. 

Cinta ini cinta yang gerakkan tiap lontaran batu mujahid-mujahid kecil di Palestina pada tank Israel, sebab satu demi satu, hampir tiap harinya, ada saudara tercinta mereka yang terbunuh syahid. Cinta mereka itu ada diantara gemuruh perang membela Masjidil Aqsha dan kerinduan membuncah untuk menyusul saudara mereka di surga, juga sebagai syuhada'.

Apa tak cukup untuk membesarkan hati, mendengar bahwa di tanah mereka, derita kalah gemuruhnya dengan Al-Qur'an dan luka-luka telah disembuhkan oleh iman..?

Well, pada akhirnya, walau sudah tahu pun, kadang ya tetap mengulang sok sibuk ya. Namanya manusia, kita hanya sering lupa..

Jadi mungkin ada perlunya kita tebalkan di buku catatan, atau tempel sekalian di deretan pesan di meja belajar atau dinding kamar; kalau rasanya mulai 'terperangkap' masalah sendiri lagi, mari bertanya tentang kepekaan diri; sudah berapa lama tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan obyek dakwah, adik kader, atau teman seperjuangan dan pimpinan, wahai pelayan umat? 


"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karuniaNya kamu menjadi bersaudara, sedangkan ketika itu kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk." QS Ali-Imran : 103

“..Dan mereka mendahulukan orang-orang lain di atas diri mereka sendiri sekalipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”QS Al-Hasyr : 9

Subhanallahi walhamdulillah.. Mahasuci, Mahamulia, dan Maha Pemurah Dia yang telah memberi banyak pelajaran berharga lewat jalan dakwah nan agung ini. Karenanya sekali lagi, sudah selayaknya kepekaan yang pada akhirnya akan membebaskan diri dari kelemahan ini diasah agar kaum Muslimin dapat memimpin umat manusia..dan semoga kita senantiasa diberi taufik untuk menjaga karunia ini, serta untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Aamiin.
Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 25 Muharram 1436 H

aizahrin

Senin, 10 November 2014

SERIAL GENERASI CINTA #9


[Menjangkau Lubuk Hati & Mengelola Rasa]
Oleh : Isnan Hidayat, S.Psi
@isnanhi / hidayatisnan@yahoo.com


Bayangkan sebuah kondisi ketika kita masuk ke dalam sebuah rumah yang baru pertama kali kita kunjungi. Mata kita tak henti memandang kian kemari, berbinar dan bersinar mengikuti segenap hal baru yang kita temui: ruangan demi ruangan yang nampak asri, berbagai perabotan yang mengisi, hingga ke detail artistik interior yang menyejukkan hati. Kita terpukau dengan segala hal yang ada, mengagumi segenap penjuru dengan segala keindahannya. Mungkin beberapa rumah sudah pernah kita tinggali, puluhan rumah telah kita inapi, ratusan rumah telah kita kunjungi, dan ribuan rumah yang sebelumnya pernah kita pandangi. Namun seolah semua memori tentang rumah-rumah yang telah ada tak lagi jelas kita ingat. Semua sirna oleh gemerlap cahaya dari rumah baru yang sedang kita masuki kali ini. Inilah sebuah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang pertama: segala hal menjadi lebih indah bukan semata karena nilai objektifnya, namun karena terlanjur muncul satu penilaian tentang rumah ini, hingga setiap hal yang baru siap menjadi pengganti bagi pengalaman yang telah kemarin kita lalui. “Aku cukup terluka jika mengingat pengalaman yang lalu, saatnya memulai dengan sesuatu hal yang baru.”

Cinta ini begitu menggugah, memantik daya jelajah. Seolah menantang diri kita untuk semakin dalam memasuki berbagai ruangan yang awalnya hanya dari jauh kita pandangi. Tak puas kita dengarkan cerita dari pemilik rumah, bahkan semakin lama dia bercerita semakin tumbuh rasa penasaran, yang semakin lama menjelma menjadi satu kekuatan, satu keberanian untuk melangkah ke ruangan yang selanjutnya. Adrenalin kita terlanjur membanjiri pembuluh darah, segenap rasa resah tercipta ketika setiap detail informasi yang ada tak jua menemukan bukti nyata dari mata kita. Satu demi satu bilik kita singkap, satu demi satu ruangan kita datangi dan tak jua kepuasan hinggap. Inilah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang kedua: keberanian terlanjur memimpin diri kita di depan, jauh meninggalkan sikap kehati-hatian, ketelitian, dan kewaspadaan. “Aku ingin masuk lebih jauh lagi, begitu banyak hal yang ternyata belum kuketahui.”

Dorongan yang begitu kuat untuk menjelajahi segenap ruangan membawa kita hingga di detail-detail paling dalam. Tentang ukuran kamar mandi, tentang saluran air dan sanitasi, hingga kebun belakang rumah yang disana terdapat beberapa tanaman bonsai dan pot-pot kecil yang belum terisi. Kita masih terus mencari berbagai informasi dan kenyataan, hingga ketika kita telah menemukan berbagai hal paling berharga dan pribadi sekalipun, itu semua tetap kita nilai sebagai satu dari sekian banyak potongan semata. Tak ada bedanya perhiasan di brankas dengan satu gagang sapu yang ada di teras. Tak benar ada bedanya lukisan citra diri yang indah di kamar utama, dengan gantungan baju berwarna kuning pucat di loteng lantai dua. Inilah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang berikutnya: ketika hasrat untuk menjelajah telah berkuasa, semua hal jadi kehilangan nilai karena dinilai dengan satu label semata. “Ini hal baru bagiku, berbeda dengan yang telah kulihat pada pengalamanku di masa lalu.”

Entah sampai kapan hasrat kita akan terpuaskan, mungkin jika setiap jengkal debu yang menempel di tembok telah mampu kita sentuh dan kita petakan. Rasa penasaran yang menggelora, keberanian yang kehilangan sikap waspada, hingga hasrat menggebu untuk berkuasa, membuat kita kehilangan banyak makna utama dari kehadiran kita. Bahwa setiap informasi yang kita terima juga diikuti dengan tanggung jawab untuk menjaganya. Bahwa setiap keberanian juga diikuti dengan pertanggungjawaban jika kelak timbulkan luka. Bahwa setiap serpih keinginan kita untuk menjelajahi ruangan-ruangan yang ada akan menuntut kita untuk mampu mengelola berbagai hal yang ada di dalamnya. Kita tak bisa pergi begitu saja sesaat setelah kita mengetahui berbagai informasi yang ada di dalam rumah ini. Kita tak boleh tinggal diam setelah kita berani memasuki segenap bilik yang tersembunyi. Kita tak pantas untuk membiarkan rumah ini tanpa pengelolaan yang rapi setelah hasrat menjelajah kita  telah dituruti.

Bahwa memasuki rumah ini layaknya kita masuk ke dalam relung hati. Jika telah begitu dalam kita berkeliling dan menjelajahi, maka sudah sepatutnya pula kita akhirnya menguatkan diri untuk menerima apa adanya segala hal yang ada di dalamnya dan memahaminya dengan lapang dada. Jika telah begitu luas daya jelajah kita kita turuti, maka semakin besar pula tanggung jawab kita untuk mengelolanya dengan rapi, mendokumentasikan setiap permasalahan yang kita temui, lalu kita ciptakan solusi. Bahwa memasuki sebuah rumah, layaknya memasuki bilik-bilik hati. Semakin banyak hal yang kita ketahui, semakin besar pula tanggung jawab kita untuk peduli.

Bahwa layaknya seorang pandu peradaban ketika memilih untuk membimbing sebuah generasi, maka pahit getir keadaan yang ia temui adalah teman akrab yang menguji kesetiaan kita dan teguh terhadap janji. Bahwa ketika kita memilih untuk meningkatkan daya jangkau pada segenap lubuk hati maka di situ pula kita punya tanggung jawab untuk mengelola rasa beserta berbagai dinamika yang ada di dalamnya. Karena jika benar ini semua tentang cinta, maka ia akan merenggut semua yang kita punya, mengkonversi pengetahuan, pengalaman, sikap, dan keberanian menjadi sebuah karya nyata untuk mengerti, memahami, mengelola, dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya.


KAU, AKU, DAN ISLAM KITA

Book Resume (Part I) : KOMITMEN MUSLIM SEJATI, FATHI YAKAN, Era Intermedia 2013 (11th)

oleh: Zahrin Afina NF

Kau dan aku, kawan, kita adalah produk yang telah tercelup oleh zaman.
Alhamdulillah, bahwa suatu hari ada sorotan cahaya terang yang menunjukkan dan memperjelas bahwa jalan kita keliru dan kita harus mengambil jalan lain, sekalipun untuk itu harus memutar.Cahaya itu adalah dakwah Islam, sampainya pengetahuan tentang Islam pada kita. Jalan yang harus kita ambil kemudian adalah satu-satunya jalan lurus menuju tempat asal kita, jannah-Nya insyaAllah, yakni menjadi seorang muslim kaffah (secara menyeluruh). Dan harus memutar itu, yang rasa-rasanya akan merugikan, adalah meninggalkan kecintaan pada nikmat duniawi.
                
Tapi nyatanya tidak,
Karena cahaya itu adalah cahaya yang sudah lama kita rindukan, setelah lama berjalan dalam gelap. Karena cahaya itu seperti mentari, yang bukan hanya karena kita bisa melihatnya, tapi karena dengannya kita dapat melihat seluruh dunia. Barulah semua menjadi jelas, semua menjadi indah pada tempatnya, dan semua menjadi bermakna.
               
Maka bukankah seseorang yang mengaku Muslim tapi tetap belum bisa melihat dengan cemerlang dan tetap terpuruk berarti belum memutar dan menempuh jalan menjadi seorang Muslim kaffah? Sudahkah kita?

***

Segala puji Allah Ta'ala atas segala karunia dan hidayah-Nya. Aku bersaksi tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah 'Azza wa Jalla dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, yakni Al-Qur'anul Karim. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad  Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Semoga kita selalu ingat untuk mengucapkan shalawat atas beliau. Amma ba'du.

Ketika seseorang mengaku sebagai seorang Muslim, apakah artinya?

Sebuah buku berjudul "Komitmen Muslim Sejati" karya ust. Fathi Yakan layak menjadi salah satu referensi penguat iman dan orientasi kita sebagai Muslim, kawan. Disana diterangkan, pengakuan sebagai Muslim seharusnya bukanlah klaim terhadap seuatu identitas atau pewarisan, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahiriyah seperti yang ada di banyak masyarakat Indonesia sekarang, melainkan pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen kepada Islam, dan tentu beradaptasi dengan Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Ketika seseorang mengaku Muslim dengan syahadatnya, sepatutnya ia memahami bahwa ia harus mengislamkan akidah (keyakinan sampai pola pikir), ibadah, dan akhlaknya. Ia juga harus mengislamkan keluarga dan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, serta menjadi yakin sepenuhnya bahwa masa depan ada dalam genggaman Islam.Sudahkah kita?

Alhamdulillah, jika sebagian dari kita sudah mengerti bagaimana menjadi pribadi sesuai tuntunanIslam itu. Meskipun sekarang agama ini sering coba dijatuhkan oleh fitnah musuh Islam maupun justifikasi sebagian pengikutnya atas sebagian yang lain, sama sekali kita tetap mencintai dan menerapkan Islam sebagaimana pesan aslinya yang ada di dalam Al-Qur'an dan Sunah Rasulullah SAW, mengimani apa yang diimani umat Muslim yang pertama, para salafus shalih, juga para imam yang telah diakui kebaikan, kesalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka yang lurus tentang Islam.

Alhamdulillah, jika sebagian dari kita sudah dalam usaha mengajak atau membentuk keluarga sebagai orang-orang terdekat untuk menjadikan Islam sebagai 'rumah' kita. Sudah mencoba mengajak masyarakat sekitar untuk bersama-sama memutar mengambil jalan yang terang itu.

Juga jika sebagian dari kita sudah pernah mendengar dan percaya akan janji-janji Allah lewat Al-Qur'an atau hadits Rasulullah bahwa kelak Islam akan jaya lagi di pentas dunia, menjadi pemandu peradaban karena benar hanya dengan Islam-lah peradaban kita ini akan sembuh dan bangkit. Ketika kini kita sama-sama merasakan kerusakan di berbagai aspek kehidupan, di negara kita saja, akibat sistem buatan manusia yang tentu tak sempurna, bahkan tak tahu apa-apa bila dibandingkan dengan ilmu-Nya. Maka celupan Islam yang datangnya dari Allah (bercorak Rabaniyah) memiliki berbagai detail unik untuk tetap bertahan dan memberi manfaat di tiap zaman atau tempat. Ia juga universal karena diciptakan untuk tiap manusia; ia terbuka, luas, berperi-kemanusiaan namun tetap mampu bertanggung jawab pada keterbukaannya itu (karena jelas batas-batasnya). Syari'at Islam yang elastis punya warna yang membuatnya mampu menampung segala masalah kehidupan yang berubah-ubah, warna yang melapangkan tempat untuk ber-ijtihad pada masalah yang tidak ada nash-nya, dengan berdasar qiyas (logika), pertimbangan mashalahat, dll yang diakui olehnya. Jika sistem-sistem buatan manusia (kapitalisme, liberalisme, sosialisme, demokratisme, maupun komunisme) tujuannya terbatas dan lemah, Islam bertujuan memberi manfaat yang menyeluruh bagi manusia; baik individu maupun kolektif, aturan maupun nasihat, untuk internal maupun eksternal. Allahuakbar.
       
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” QS Al-Baqarah : 138

Dan karena semua itu kita tahu bahwa sesuatu yang begitu agung ini perlu diperjuangkan, ditegakkan, dibela, dan dijaga meski dengan pengorbanan yang tidak sedikit.

Jika (sebagaimana kita yakin 100%) Islam adalah satu-satunya kebenaran, bukankah dunia harus tahu? Jika ini tentang umat manusia, apa harganya sebuah nyawa (bagi bukan pemilik aslinya)? Jika ini tentang harga surga, apa artinya nikmat dunia? Jika benar ia adalah yang terindah dalam hidupmu, tidakkah pasti kau kan hidup untuknya?
             
 “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” QS Al-An'am : 32

Yang hidup itu, pasti akan menjadi hidup yang berbeda dengan manusia lainnya. Seorang Muslim sejati akan menjadi yang paling teguh dalam mencari ilmu dan melaksanakan ajaran Islam, memiliki kepedulian terhadap kemashlahatan umat Islam, selalu bangga pada kebenaran dan yakin pada Allah, senantiasa memperjuangkan Islam dan saling tolong-menolong karena kita pun tak sangsi, bahwa perjuangan itu tak mungkin dilakukan seorang diri.
               
  “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS Al-Ma'idah : 2
               
Bahwa kita bukanlah barisan malaikat-Nya, kita hanya anak Adam yang selalu berbuat kesalahan, yang jadi target operasi utama (bahkan satu-satunya) syaithan, dan butuh selalu diingatkan.Dan, hei, kita pun tahu bagaimana sulitnya melepas karat-karat jahiliyah dalam diri, hasil tercelup zaman ini. Makanya tak jarang ada yang paham tapi masih hidup untuk dunia atau mengambang antara dunia dan akhirat.
                
Karena itu, kita mutlak butuh hidup berjama'ah. Berjuang bersama-sama muslim (aktivis) lainnya dalam sebuah gerakan Islam yang berpemahaman, berkeyakinan, bertujuan sama dengan kita.
Dengan segala prinsipnya; dengan karakteristik, spesifikasi, perlengkapan yang jelas. Dalam bingkai ukhuwah, beramal jama'i, memenuhi hak qiyadhah, dan menjadi jundi yang baik; yang dibahas lebih lanjut dan dalam di bagian akhir buku ini. (Resume Part II inysaAllah)
                
"Tangan Allah bersama tangan jama'ah, sesungguhnya serigala itu tidak memakan selain domba yang menyendiri." (HR. Bukhari)

***

Memperjuangkan Islam bukanlah pilihan, bukan hanya dengan sukarela, apalagi hanya dengan waktu sisa kita.

Adalah perintah Allah untuk beramar ma'ruf nahi mungkar, yang menjadikannya sebagai kewajiban dan prinsip kita.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”  QS Al-Ashr : 1-3

“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lidahnya. Tetapi jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman. Dan di belakang itu tidak ada sebiji sawi pun keimanan.” (HR Tirmidzi)

Adalah perintah Allah untuk hanya menegakkan hukum-Nya di bumi, yang menjadikkan menegakkan masyarakat Islami, merintis kehidupan Islami, menundukkan manusia kepada Allah dalam akidah, ibadah, akhlak, maupun tata kehidupannya sebagai hukum perjuangan itu sendiri. Sebab kaidah syar'iyah mengatakan, "apa yang tanpanya suatu kewajiban tak bisa terlaksana, maka ia merupakan kewajiban."

Adalah perintah Allah untuk bersiap menghadapi tantangan zaman dan konspirasi musuh-musuh Islam dengan materialisme dan atheisme-nya yang mengancam eksistensi Islam. Selain itu, betapa banyak saudara-saudara kita di tanah air Islam lain yang sedang terjajah dan terzhalimi, sehingga secara kesuluruhan dunia Islam kini dalam keadaan terpuruk dan membuat perjuangan ini sebuah kedaruratan yang nyata.

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” QS Al-Baqarah : 193

Adalah perintah Allah, sekali lagi, bahwa dakwah ini adalah kewajiban individu sekaligus kolektif. Agar semua Muslim berpartisipasi dalam perjuangan dan melaksanakannya secara berjama'ah.

“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” QS Al-Ankabut : 6

Memang selalu ada banyak godaan. Selalu banyak ujian; baik berupa fitnah eksternal, atau gesekan-gesekan internal yang dapat menimbulkan luka berbahaya jika tak cepat-cepat disembuhkan, sampai ketidak-percayaan diri atau kelemahan diri yang lain.

Tapi mengapa tak terus beramal saja? Bukankah kita yang membutuhkan dakwah ini karena apa harga diri kita jika tanpanya? Bukankah ketika kita berjuang dan berjihad, sejatinya kita sedang terus membersihkan diri, menyucikan jiwa, melaksanakan sebagian hak Allah yang wajib ditunaikan, dan agar kita bisa mengharapkan pahala Allah pada hari ketika penglihatan tak bisa tetap dan hati sampai menyesak ke tenggorokan? Kita sendirilah yang akan beruntung jika maju ke medan perjuangan dan sebaliknya kita sendirilah yang akan rugi jika mundur. Barangsiapa yang terlibat dalam perjuangan berarti telah memiliki nasab yang paling mulia dan memiliki jaringan dengan kafilah para pemberi petunjuk; termasuk golongan orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah yaitu para nabi, shidiqin, syuhada, dan orang-orang saleh yang mereka itu adalah sebaik-baik teman.

Bertahanlah, sebab dengan bertahan itulah engkau akan mendapat keteguhan.

Karena dalam arus dunia yang seperti ini, tak mungkin seseorang yang jauh dari mengingat Allah dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran bisa hidup tanpa ternodai oleh kotoran-kotoran dunia itu.

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” QS Adz-Dzariyat : 55
           
Tidak ada pilihan lain untuk hidup selain dalam naungan keluarga beriman, tidak ada pilihan untuk tidak bergabung dengan 'masirah Ar-rahman' (rombongan Allah Yang Maha Pengasih) selama-lamanya.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” QS Al-Kahfi : 28

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” QS Muhammad : 38

Karenanya, kita harus selalu meluruskan niat; tiap hari, di awal, tengah, sampai akhir melakukan suatu aktivitas.Sebab, tulis ust. Fathi Yakan,

"Jalan ini tidak mungkin ditempuh oleh manusia yang cengeng yang hanya dengan hembusan angin sepoi pipinya terluka dan hanya karena sentuhan sutera jemarinya berdarah.

Jalan ini tidak mungkin mampu ditempuh oleh orang yang cemas akan masa depan rezeki dan kehidupannya.

Jalan ini tidak mungkin mampu ditempuh oleh orang yang hobinya main-main dan bersenang-senang, hatinya sempit, dan kekuatannya keropos. Juga siapa saja yang tidak mampu bersabar terhadap suatu perkataan, apalagi terhadap celaan. Juga orang yang bangga dengan pendapatnya sendiri, yaitu orang bodoh, namun ia tidak tahu bahwa dirinya bodoh. Juga orang yang tidak mau menerima keputusan bersama dan memegang pendapat jamaah.

Ia merupakan jalan untuk membersihkan dan menyucikan diri, jalan kasih sayang dan kemuliaan, jalan kesabaran yang panjang, jalan ketulusan dan kemuliaan, serta jalan kejujuran dan keikhlasan.

Jalan dengan karakteristik semcam ini tidak mungkin ada yang bisa bertahan di dalamnya selain orang-orang beriman yang hati mereka terikat dengan Allah; orang-orang yang jiwa mereka memandang kepada Allah Yang Esa, Tempat memohon."

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” QS Ath-Thalaq : 3

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.“ QS Al-Fath : 10


Engkau dan diriku, semoga kita senantiasa diberi hidayah dan pertolongan Allah, senantiasa dikuatkanNya, dikaruniai kehidupan yang mulia hingga maut menjemput kita dalam syahid ya. Allahumma aamiin. Mohon maaf jika banyak kekurangan (yang datangnya dariku), semoga bisa diambil manfaatnya (yang semata dari Allah). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 25 Dzulhijjah 1435 H
Ai Zahrin