Sabtu, 01 November 2014

Bukan Tanpa Alasan


oleh: Setiani, Nur



“Mbak, mbak…” teriak seseorang menghampiri dari sudut sana. “Ya, mbak,” si pembawa kantong sunduq (kantong donasi) berhenti memenuhi panggilan itu. “Ini temen saya mau ngasih sesuatu…” Dan tiba-tiba, ‘plung’… Satu unit hand phone kinclong berlogo apel kroak lengkap dengan chargernya masuk ke dalam kantong oranye itu. Si pembawa kantong sunduq justru terdiam. Masih heran dengan sedetik kejadian yang baru saja ia alami. Si pemberi hand phone itu pun berlalu begitu saja, menghampiri segerombolan temannya yang tertawa-tawa bahagia. Mungkin satu di antara merekalah pemilik hand phone canggih itu.

Hand phone itu kini menjadi barang termewah di antara gumpalan-gumpalan uang kertas yang didominasi warna abu-abu. Entah apa yang terjadi sebenarnya.  Bisa jadi si pemberi itu hanya iseng njothaki temannya saja. Bisa pula hand phone itu sudah rusak dan tak bisa dipakai lagi hingga si pemiliknya rela menyumbangkannya. Bisa jadi si pemilik sudah putus asa untuk menjual hand phone itu. Atau apalah… Terlalu banyak ‘bisa jadi’ yang bermunculan dari setiap orang yang mendengar cerita ini. Yang pasti adalah, barang itu kini sudah resmi menjadi hak rakyat Palestina. Barang itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Palestina, apapun tujuan si pemilik menyedekahkannya. Dan tentunya, si pemilik merelakan hand phone itu bukan tanpa alasan…

***


Bukan tanpa alasan, begitulah Walid bin Al Mughirah ‘menyedekahkan’ banyak hartanya. Ia lah orang yang mengaku jika ada seseorang yang diangkat menjadi Nabi, maka dialah yang paling layak. Ia dikenal sebagai orang yang paling cendekia di kalangan kaum Quraisy. Dan Ia pulalah orang yang menentang Al Qur’an dengan alasan yang paling logis. Yang menjadi orientasi utamanya adalah menundukkan kaum Quraisy di bawah kekuasaannya. Maka ‘disedekahkan’ lah hartanya itu untuk mengadakan pesta-pesta, gala dinner, dan beragam acara menarik untuk merenggut simpati kaum Quraisy. Politik citra, itulah yang dibangun oleh Walid bin Al Mughirah dalam ‘menyedekahkan’ hartanya. Agar citranya terangkat di hadapan kaum Quraisy, agar ia dihargai dan disegani.

Meski rela ‘menyedekahkan’ banyak harta yang dicintainya, tidak serta merta Walid bin Al Mughirah semulia Muhammad bin Abdullah. Karena lagi-lagi, penyedekahan itu dilakukan bukan tanpa alasan. Dan alasan itulah yang membedakan Walid bin Al Mughirah dengan Muhammad bin Abdullah.

Jikalau Walid begitu perhatian dengan citranya, maka tidak demikian dengan Muhammad. Muhammad bin Abdullah menyedekahkan hartanya di ‘jalan-jalan yang berat’, untuk membebaskan budak, memberi makan saat musim paceklik, untuk anak yatim yang berkerabat, dan untuk orang miskin yang amat fakir. Sangat berbeda dengan ‘penyedekahan’ harta Walid yang hanya menyentuh kaum-kaum elit saja.

Itulah penyedekahan harta Muhammad yang langsung menyentuh kepentingan dasar kaumnya, tanpa peduli dengan pencitraannya. Justru citra itu pun tumbuh dengan sendirinya. Kaumnya tak pernah menolak Muhammad dikarenakan tindak tanduknya. Ia begitu dipercaya hingga gelar Al-Amin disandangkan kaumnya padanya.

Jauh sebelum memulai misi seruannya, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah lebih dulu dikenal dengan sikap inisiatif tanggap daruratnya, murni dari sekedar pencitraan. Itulah da’wah bil hikmah, seruan dengan hikmah, dengan sesuatu yang kemanfaatannya dirasakan langsung oleh mad’u-nya (orang yang dida’wahi).

Maka, sampai di sini kita sama-sama memahami. Bahwa dalam berbuat tak hanya cukup sampai teknis perbuatan itu saja. Harus ada alasan perbuatan yang membedakan dengan mereka yang juga punya alasan lain. Sebagai seorang muslim sejati, alasan tiap perbuatan itu tidak layak ditujukan pada selainNya. Dialah yang selalu menjadi orientasi dari setiap tahap perbuatan. Hingga nantinya, setiap perbuatan seorang muslim kan menjadi perantara seseorang untuk menyambut seruan Islam. 

Sebagai pungkasannya, kita juga disadarkan bahwa pemberian yang mulia itu justru berupa pemberian di ‘jalan-jalan yang berat’. Di jalan-jalan yang justru belum dipedulikan banyak orang namun vital bagi kepentingan umat. “Karena yang indah itu tak harus terlihat,” begitulah ungkap Sean O'Connell dalam film The Secret Life of Walter Mitty.

 


Referensi:


Rekaman Kajian Majelis Jejak Nabi “Kota Makkah dan Bangsa Quraisy 2” tanggal 16 Juni 2011 
Buku “Komitmen Muslim Sejati” oleh Fathi Yakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi