Jumat, 31 Oktober 2014

Hidup Senang


Dunia akhir-akhir ini dilanda oleh kepanikan global berkenaan dengan lenyapnya berbagai bentuk materi sebagai akibat dari wacana kapitalisme mutakhir: lapisan ozon, hutan tropis, harimau Sumatra; namun dunia seolah-olah tak peduli dengan terkikis dan lenyapnya lapisan-lapisan moral, spiritual, dan kemanusiaan di tengah-tengah deru ekonomi kapitalisme global yang menuju titik ekstremnya dewasa ini.

Menyusutnya jumlah habitat orang hutan Sumatra telah menimbulkan kepanikan masyarakat Eropa berkenaan dengan masa depan kehidupan umat manusia, tetapi lenyapnya dimensi moral, kehangatan spiritual dan makna kemanusiaan di dalam industri media massa, komoditi, dan tontonan global yang bersifat hiperealis dewasa ini tak sedikitpun mengusik kesadaran nurani kemanusiaan.

Ketidakpedulian masyarakat dunia terhadap dimensi dan nilai inilah sebagai akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuran dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, makna-makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna spiritual, moralitas dan kemanusiaan; di tengah-tengah dibangunnya hidup di atas landasan gemerlapnya citraan-citraan ketimbang kedalaman substansi dan transendensi.

Ketika pembunuhan kini tidak lagi merupakan sesuatu yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, membangkitkan perasaan sedih atau sadis, tetapi justru menimbulkan kebanggaan; ketika  jiwa manusia tak lebih berharga dari sebatang rokok atau selembar seribu rupiahan; ketika membunuh orang sama gampangnya dengan membunuh seorang tokoh Nintendo. Atau, ketika perkosaan tak lagi menimbulkan perasaan bersalah, dosa, atau hina, tetapi justru sebaliknya persaan kemenangan kejantanan dan kebanggaan maka ketika itu tenggelamlah masyarakat ke dalam kondisi ekstasi, menuju suatu dimensi moralitas yang serba terbalik dan ekstrem.[1]

(diambil dari buku, “Sebuah Dunia yang Dilipat”)

Kita telah memasuki melenium yang ketiga di mana di awal melenium ini kita dihadapkan pada situasi yang mengerikan. Kehidupan sering diisi dengan aktivitas hampa akan makna, hingga mungkin orang-orang sekarang tidak sadar bahwa dirinya sedang hidup.

Hal itu jadi mengingatkan pada diskusi-diskusi intelektual dengan kawan-kawan, tentang asas hidup “Work Hard, Party Harder”.  Secara sekilas ia nampak indah, nampak keren, nampak memukau. Seseorang yang telah bekerja keras (work hard) sudah selayaknya untuk berpesta lebih keras lagi untuk menghilangkan kepenatan sesuai bekerja. Namun, coba kita hayati seseorang bekerja keras hinggal keletihan, lalu mendapat keuntungan. Ia mendapatkan keuntungan sekaligus kepenatan, dan keletihan. Lalu dengan keuntungannya ia berpesta lebih keras untuk menge-nol-kan, me-refresh-kan dari kepenatan dan keletihan tadi. Sehingga ia dapat bekerja lagi, mendapat keuntungan lagi, tak tertinggal juga kepenatan dan keletihannya. Pergi pagi, pulang sore, malam nonton TV, liburan rekreasi. Apakah begini seharusnya hidup itu?

Lalu, di tengah-tengah kehidupan rutinitas yang miskin makna, beberapa tahun ini kita juga dihadapkan dengan fenomena yang aneh. Pak Yasraf Amir Pialang, menyebutnya dengan Esktasi Guiness Book of Record. Pernahkah kita terpukau dengan keberhasilan orang menarik mobil dengan rambut, membuat kue terpanjang di dunia, melaksanakan tarian dengan peserta terbanyak? Hebat bukan? Akan tetapi pernahkah kita merenungkan, “Terus apa?”.

Suatu keberhasilan seseorang mengendarai mobil meloncati tumpukan mobil yang tengah terbakar setinggi-tingginya dan sejauh-jauhnya tanpa alat pengaman, maka pecahlah rekor dunia. Tetapi apakah nilai guna dari rekor ini, selain hasrat, gelora, dan akhirnya ekstasi, agar tercatat di dalam buku rekor itu sendiri. Yang diperoleh dari rekor ini tak lain dari nilai tukar semata berwujud tontonan dan citraan. “Kamu orang hebat, telah sukses meraih rekor baru? Itu saja.”

Sebab, kegairahan dan pemujaan terhadap prestasi semu yang ekstrem, akan menenggelamkan manusia ke dalam esktasi pengalaman puncak. Saya berhasil berjalan mundur dari Jakarta ke Jawa Timur, saya mencapai rekor dunia! Namun rekor untuk apa? “Saya berhasil menarik truk dengan rambut saya”. “Saya sukses melakukannya di Monas”. Namun sukses untuk apa? Saya berhasil membuat kue terpanjang dan terbesar di dunia! Saya berhasil...![2]

Apakah dengan mencari rekor baru, bekerja untuk berpesta, berpesta untuk bekerja, seseorang sedang mencari kebahagiaan? Bekerja untuk berpesta lalu bergembira dalam pesta, lalu bekerja lagi hingga Health Bar atau panjang nyawa kebahagiaan itu habis, lalu berpesta lagi mengisi nyawa kebahagiaan. Juga mendapat rekor baru, sehingga dirinya senang. Ya!

“Bahagia adalah kata yang paling menyihir dalam hidup manusia. Jiwa merinduinya. Raga mengejarnya. Tetapi kebahagiaan adalah goda yang tega. Ia bayangan yang melipir jika dipikir, lari jika dicari, tak tentu untuk diburu, melesat jika ditangkap, menghilang jika dihadang. Di nanar mata yang tak menjumpa bahagia; insan lain tampak cerah. Di denging telinga yang tak menyimak bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Di gemerisik hati yang tak merasa bahagia; insan lain berkilau bercahaya.”[3]

Kebahagiaan. Dalam bahasa Arab kita sering menemui kata As-Sa’adah, akan tetapi tidak bermakna hanya “Kebahagiaan”. Tetapi, dalam kamus Lisaanul ‘Arab  diterangkan, jika ada yang mengatakan ”as’adallahul ‘abda wa sa’adah”,  maka maknanya adalah “Allah telah memberikan taufiq-Nya kepada sang hamba untuk melaksanakan amal yang diridhai-Nya, karena itulah ia beroleh kebahagiaan.”. Sebab Allah yang menciptakan, menguasai, mengatur alam raya ini,  dari Allah pula lah kebahagian itu bersumber.[4]


Seperti dahulu, 4 Agustus 2012, di Sego Wiwit, dalam acara buka bersama KSAI, ketika kajian, Mas Rohmat, alumni 2004, berkata, "Faktanya, kita itu tidak akan pernah bisa menyenangkan (menggembirakan) hati kedua orang tua kita. Prestasi, perilaku baik, dan sebagainya hanya dapat menghibur mereka. Sedang siapa yang bisa menyenangkan hati kedua orang tua kita itu, tidak lain hanyalah Allah azza wa jal. Maka mintalah pada Allah dalam doa-doa kita, agar Allah ta'ala menyenangkan hati keduanya".[5]

Maka, di millennium ketiga ini, marilah kita sadar, bahwa kita ini hidup, dan dalam hidup ini bukanlah “kebahagian” yang menjadi tujuannya, akan tetapi ridha-Nya. Di dunia, terlebih di akhirat.

Ditulis oleh: Adnan Rifa'i

***

Glosarium
Citra: Sesuatu yang tampak oleh indra, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Ekstasi: Analogi Baudrillard untuk menggambarkan semacam “kemabukan” yang melanda masyarakat kontemporer dalam komunikasi, komoditi, konsumsi, hiburan, seksual, politik

***

Catatan Kaki:
[1] Yasraf Amir Pialang. 1998. “Sebuah Dunia Yang Dilipat”. Mizan, hlm. 41-42
[2] Ibid, hlm. 49
[3] Salim A. Fillah. 2014. “Lapis-Lapis Keberkahan”. Pro-U Media, hlm. 9
[4] Ibid, hlm. 25
[5] Pengajian Buber KSAI, 4 Agustus 2014, bersama Mas Rohmat sebagai pembicara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi