Oleh: Adnan Rifai
Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepda beliau memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan, Umar berkata, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!”
Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepda beliau memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan, Umar berkata, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!”
Lelaki itu
pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu umar bertanya kepada orang itu, “
Apakah kau kenal orang ini?”
“Ya”
“Apakah
engkau tetangganya, dan tahu keadaan sebenarnya?”, Umar bertanya.
“Tidak,”
kata orang itu.
“Apakah
engkau pernah menemaninya dalam perjalan, sehingga tahu pasti perangai dan
akhlaknya...?”
“Tidak.”
“Apakah
engkau hanya mengenalnya ketika dia berdiri dan duduk di Masjid?”
“Ya.”
“Enyahlah
Engkau dari sini. Engkau tak mengenalnya....”
Lalu Umar
menoleh kepada laki-laki itu dan berkata, “Bawa lagi orang yang benar-benar
mengenalmu ke sini.”
Dalam
riwayat lain dikatakan, ada seseorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar Bin
Khattab bahwa si fulan itu seseorang yang jujur. Maka beliau bertanya, “Apakah
engkau pernah menempuh perjalanan yang jauh bersamanya?”
“Tidak”
“Apakah
pernah terjadi permusuhan antara kau dan dia?”, tanya Umar Bin Khattab.
“Tidak”.
“APakah
engkau pernah memberinya amanat?”
“Tidak.”
“Kalau
begitu”, kata Umar, “Kau tidak mengenalnya selain melihatnya mengangkat dan menundukan
kepalanya di Masjid.”
***
Apakah
mungkin, selama ini kita tak mengenal seorang pun. Juga tak dikenal oleh
seseorang pun? –bahkan kepada kedua orang tua? Na’udzubillah. Kita mengaku,
telah menjadi sahabat dari beberapa orang yang kita cintai, namun seberapa lama
dan seberapa dekat kita mengiringinya dalam menempuh perjalanan ini? Perjalanan
nun jauh maupun perjalanan kehidupan?
***
“Andai
dakwah bisa tegak dengan seorang diri, maka tak perlu Musa mengajak Harun. Tak
perlu pula Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menemani Hijrah. Meskipun
pengemban dakwah adalah seorang yang ‘alim, faqih, dan memiliki azzam yang
kuat, tetap saja ia manusia lemah yang akan selalu membutuhkan saudaranya.
Peliharalah saudaramu, jangan abaikan keberadaannya di sisimu, sebab mungkin
ialah bagian dari lingkaran doa yang melingkupi langkahmu.”
***
Kenalilah mereka,
tak hanya sebatas nama dan alamat. Sebab jika engkau tahu latar belakangnya,
dimana dan bagaimana mereka dibesarkan,
engkau akan lebih bijaksana. Karibmu penuh cacat, cela,dan serba kekurangan. Begitu
juga denganmu. Setiap insan punya kekurangan. Dengan bersamalah, setiap cela,
cacat, dan kekurangan akan saling tertutupi.
***
Meski, kita
tak akan bisa mengenali orang lain lebih dari kita mengenali diri kita. Sebab
bagaimana mungkin kita membaca isi hati orang lain? Tetapi, kadang kala kita
juga menemui saat-saat di mana tak mengenal siapa sebenarnya diri ini. “Dalam
dekapan ukhuwah,” Ustadz Salim menjelaskan, “Allah akan menganugerahkan kepada
kita sahabat – sahabat yang kadang lebih mampu menilai kita dari pada diri
sendiri.”. Sadarkah bahwa kita tak pernah melihat diri kita. Melihat saat
bercanda, berbicara, diam. Maka bercerminlah kepada siapa saja yang dekat
dengan kita. Karena sikap mereka adalah cerminan tingkah laku kita.
“Secara
pribadi, kadang kita memang bias dan menjadi tak jujur dalam mengenai diri.", lanjut beliau, "Kita
menilai diri sendiri berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilai
sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.”
***
"Aku
merasa sendiri, diantara lautan manusia yang entah sibuk dalam dunianya".
Drama kesendirian acapkali menyiksa mereka yang mulai putus asa, atau kecewa.
Sebuah fragmen dari cerita besar yang paling menyayat.
Sayangnya,
drama kesendirian sering dibuat sendiri oleh para pemeran. Seakan ia
benar-benar sendiri, mengabaikan segalanya yang ada, dan berharap kepada yang
selalu memberi kekecewaan. Manusia.
Apakah kita
lupa, bahwa Nabi Musa berdo'a meminta teman dalam mengemban misi? Maka Musa dan
Harun berangkat bersama dalam suka dan cita.
Maka
berharaplah, berdo'alah kepada Alloh, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun
yang mengharapkan keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang
memanjatkan do’a kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala
taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti
dapat dilaksanakan dengan sempurna. Segala puji hanya bagi Alloh yang telah menciptakan
segala sesuatu, lalu menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah menetapkan
takdir lalu menurunkan petunjuk bagi para hamba-Nya.
Wallohu
a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi