Oleh:
RLA
“Aku
tak mati wae.”
Kalimat itu yang
terucap dari mulut seorang pria tua yang sedang terbaring di ranjang sebuah
rumah sakit. Sambil meronta karena menahan sakit akibat meminum cairan kimia,
ia berteriak untuk minta diakhiri hidupnya saat itu juga. Dahulu orang
mengenalnya sebagai pelipur lara melalui layar kaca diberbagai acara. Kini,
badannya kurus kering, wajahnya tirus.
Seolah hilang segala riwayat kelucuan dan canda yang pernah ia lakonkan.
Pernahkah merasa ada
buncahan dalam dada yang membuat hati sesak dan tidur pun tak nyenyak? Jikalau
boleh menerjemahkan, mungkin itulah yang dirasakan oleh pria tua
tersebut.Buncahan yang menyesakkan sehingga hidup menjadi tiada makna, “Aku tak mati wae”. Pernahkan sahabat
merasakan hal yang sama? Itu sangat menyiksa, bukan?
“Saya
nggak berguna”
Pernahkah ada masa
ketika merasa hidup ini hanya bisa menjadi benalu bagi orang lain? Tidak
produktif dan merepotkan. Bukan orang lain yang sembarangan pula, melainkan
orang yang kita sayangi: orang tua kita, teman, guru, dsb. Merasa tidak cukup
bermakna bagi orang lain.Itu sangat menyiksa, bukan?
“aktivitasku
banyak tapi kok..”
Atau pernahkah ada
masa ketika hidup ini begitu sibuk? Seperti kutu loncat yang hinggap dari satu
aktivitas ke aktivitas lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu
tempat ke tempat yang lain pula. Mungkin pernah ada masa ketika pergantian hari
menjadi seakan pergantian jam, pergantian jam seakan pergantian menit, begitu
pula seterusnya. Semua terasa sangat cepat.Seakan kita telah melakukan banyak
hal dalam kondisi tersebut, namun kita merasa h a m p a. Tanpa makna. Itu juga sangat menyiksa.
Semua peraksaan
menyiksa tanpa makna tersebut terkadang menghasilkan suatu hal yang sama: putus
asa. Putus asalah yang membuat pria tua itu ingin mengakhiri hidupnya. Putus
asa lah hasil penilaian terhadap diri yang merasa menjadi benalu. Putus asa
pula lah yang bisa jadi menghentikan total aktivitas-aktivitas kita.
Lantas apa yang
dicari? Apa yang hilang?
Rasanya lama sekali untuk bisa
menemukan jawabannya. Padahal jawaban tersebut sudah dekat dan ada sejak dulu.
“Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.” QS.
Ali ‘Imran:139)
Iman
pada Allah-lah pelipur lara saat dunia terasa sempit bagi kita. Seperti kata
‘Aidh Al-Qarnee dalam bukunya “Menjadi Wanita Paling Bahagia”
Wahai manusia yang
paling berbahagia, dengan agama dan akhlaknya
Tanpa mutiara,
perhiasan, dan emas engkau bahagia
Karena tasbihmu
bagai kabar gembira, rintik hujan, sinar fajar,
cahaya mentari, dan
awan yang tiada berhenti mengalir,
dalam sujud, doa,
dan perenunganmu terhadap cahaya kitab-Nya,
yang menyeruak dari
celah-celah sebuah gua,
lalu oleh rasul
Rabb-mu dipancarkan kepada segenap bangsa Arab dan Romawi,
Engkau adalah yang
paling bahagia di dunia dan akhirat
Dengan kesucian
hatimu yang dibangun dengan taqarrub
Allah melalui
hamba-Nya mengingatkan kepada saya bahwa berbagai peristiwa dalam kehidupan
kita itu sudah by design. Tidak ada
yang kebetulan. Hamba-Nya yang lain juga mengingatkan bahwa sesungguhnya
peristiwa yang kita lalui itu bukanlah kejadian yang biasa. Ada banyak makna
yang Allah selipkan didalamnya. Tugas kita adalah mencari makna
sebanyak-banyaknya sehingga itu membuat kita mengerti. Membuat kita lebih
berarti.
“bila
engkau putus asa hanya karena belum mendapatkan jalan keluar, kau kemanakan
Allah dan Kemahakuasaan-Nya?”(Dr. ‘Aidh Al-Qarnee)
Untuk kalian yang putus asa dan
merasa tak berarti. Jangan sedih. Kalian bukannya tak istimewa. Kalian mungkin
hanya lupa mencari makna.Oleh karena itu, mari mencari makna.. J
Referensi:
Al-Qur’an nul Kariim
Menjadi Wanita Paling Bahagia.
Karya Dr. ‘Aidh Al-Qarnee
041114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi