Minggu, 23 November 2014

Mari Mencari Makna

Oleh: RLA
“Aku tak mati wae.”

Kalimat itu yang terucap dari mulut seorang pria tua yang sedang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Sambil meronta karena menahan sakit akibat meminum cairan kimia, ia berteriak untuk minta diakhiri hidupnya saat itu juga. Dahulu orang mengenalnya sebagai pelipur lara melalui layar kaca diberbagai acara. Kini, badannya kurus kering, wajahnya tirus.  Seolah hilang segala riwayat kelucuan dan canda yang pernah ia lakonkan.

Pernahkah merasa ada buncahan dalam dada yang membuat hati sesak dan tidur pun tak nyenyak? Jikalau boleh menerjemahkan, mungkin itulah yang dirasakan oleh pria tua tersebut.Buncahan yang menyesakkan sehingga hidup menjadi tiada makna, “Aku tak mati wae”. Pernahkan sahabat merasakan hal yang sama? Itu sangat menyiksa, bukan?
“Saya nggak berguna”

Pernahkah ada masa ketika merasa hidup ini hanya bisa menjadi benalu bagi orang lain? Tidak produktif dan merepotkan. Bukan orang lain yang sembarangan pula, melainkan orang yang kita sayangi: orang tua kita, teman, guru, dsb. Merasa tidak cukup bermakna bagi orang lain.Itu sangat menyiksa, bukan?
“aktivitasku banyak tapi kok..”

Atau pernahkah ada masa ketika hidup ini begitu sibuk? Seperti kutu loncat yang hinggap dari satu aktivitas ke aktivitas lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu tempat ke tempat yang lain pula. Mungkin pernah ada masa ketika pergantian hari menjadi seakan pergantian jam, pergantian jam seakan pergantian menit, begitu pula seterusnya. Semua terasa sangat cepat.Seakan kita telah melakukan banyak hal dalam kondisi tersebut, namun kita merasa h a m p a. Tanpa makna. Itu juga sangat menyiksa.

Semua peraksaan menyiksa tanpa makna tersebut terkadang menghasilkan suatu hal yang sama: putus asa. Putus asalah yang membuat pria tua itu ingin mengakhiri hidupnya. Putus asa lah hasil penilaian terhadap diri yang merasa menjadi benalu. Putus asa pula lah yang bisa jadi menghentikan total aktivitas-aktivitas kita.

Lantas apa yang dicari? Apa yang hilang?
Rasanya lama sekali untuk bisa menemukan jawabannya. Padahal jawaban tersebut sudah dekat dan ada sejak dulu.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” QS. Ali ‘Imran:139)


Iman pada Allah-lah pelipur lara saat dunia terasa sempit bagi kita. Seperti kata ‘Aidh Al-Qarnee dalam bukunya “Menjadi Wanita Paling Bahagia”
Wahai manusia yang paling berbahagia, dengan agama dan akhlaknya
Tanpa mutiara, perhiasan, dan emas engkau bahagia
Karena tasbihmu bagai kabar gembira, rintik hujan, sinar fajar,
cahaya mentari, dan awan yang tiada berhenti mengalir,
dalam sujud, doa, dan perenunganmu terhadap cahaya kitab-Nya,
yang menyeruak dari celah-celah sebuah gua,
lalu oleh rasul Rabb-mu dipancarkan kepada segenap bangsa Arab dan Romawi,
Engkau adalah yang paling bahagia di dunia dan akhirat
Dengan kesucian hatimu yang dibangun dengan taqarrub



Allah melalui hamba-Nya mengingatkan kepada saya bahwa berbagai peristiwa dalam kehidupan kita itu sudah by design. Tidak ada yang kebetulan. Hamba-Nya yang lain juga mengingatkan bahwa sesungguhnya peristiwa yang kita lalui itu bukanlah kejadian yang biasa. Ada banyak makna yang Allah selipkan didalamnya. Tugas kita adalah mencari makna sebanyak-banyaknya sehingga itu membuat kita mengerti. Membuat kita lebih berarti.

“bila engkau putus asa hanya karena belum mendapatkan jalan keluar, kau kemanakan Allah dan Kemahakuasaan-Nya?”(Dr. ‘Aidh Al-Qarnee)

Untuk kalian yang putus asa dan merasa tak berarti. Jangan sedih. Kalian bukannya tak istimewa. Kalian mungkin hanya lupa mencari makna.Oleh karena itu, mari mencari makna.. J


Referensi:
Al-Qur’an nul Kariim
Menjadi Wanita Paling Bahagia. Karya Dr. ‘Aidh Al-Qarnee
041114



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi