Oleh: Haidar Muhammad
Alangkah berat bagi Ibrahim alaihissalam, tugas kali ini. Ya, bahkan
bagi Ibrahim, Seorang lelaki terpuji yang Allah jadikan teladan bagi manusia.
Setiap ujian yang diembankan padanya, selalulah berakhir sama: “Fa Atammahunna,”
Selalu ia sempurnakan.
Anak yang ia nanti-nantikan berpuluh-puluh tahun lamanya, Isma’il
alaihissalam, harus ia sembelih dengan tangannya sendiri. Seorang anak yang
begitu ia sayangi, yang tengah tumbuh menjadi anak shalih yang cerdas dan penuh
bakti. Seorang anak yang membuat orangtuanya bersemangat melihat tiap
perkembangan dalam dirinya di setiap waktu. Seorang anak yang amat diharapkan
kehadirannya di tengah-tengah keluarga sang Khalilullah.
Beberapa malam, lewat mimpi Ibrahim menerima perintah itu. Hingga
akhirnya, setelah ia yakin bahwa ini betul-betul perintah Allah, ia
mendiskusikan hal ini bersama sang anak. Sang anak dengan penuh taqwa
mengiyakan, apabila itu memang perintah Allah. “Insya Allah,” katanya, “engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Alkisah, Nabi Ibrahim lantas
membaringkan putra kesayangannya atas pelipisnya. Dengan Niat dan kepatuhan
yang bulat, Ibrahim menggerakkan pisaunya, Sambil memejam mata.
***
“Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban”
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban”
Begitu Ustadz Salim membuka tulisannya yang berjudul “Yakinlah, dan
pejamkan mata.”
Banyak pengalaman hidup yang
telah kita lalui. Kita berkali-kali diingatkan, bahwa hakikat hidup adalah
penghambaan kepada Allah semata. Secara kognitif kita sesungguhnya paham, bahwa
banyak hal yang menghambat kita dari peribadahan, sesungguhnya adalah ujian.
Bahkan hal-hal yang kita pandang sebagai keindahan, sebab syaitan begitu pandai
menggoda kita dengan yang indah-indah. “Zukhrufal Qouli ghuruuro,” Perkataan
yang indah namun sejatinya menyesatkan adalah salah satu senjata ampuh syaitan.
Semakin lama saya melalui
perjalanan hidup ini, tentu semakin banyak alasan yang saya ketahui dapat menjadi
apologi pelarian. Ada kalanya, pikiran ini lebih sibuk mencari-cari alasan
untuk menghilang dari pekerjaan daripada memikirkan bagaimana mensukseskan
amanah yang diemban. Kadang kita terjebak oleh hal seperti ini, sehingga banyak
meninggalkan pekerjaan dengan alasan-alasan yang diramu canggih dengan kata
menawan.
Mungkin kita tidak akan
kehilangan harga diri, atau penerimaan dari teman-teman. Namun hakikatnya kita
tengah melukai diri sendiri; Mengungkung jiwa lebih dalam di ruang gelap
stagnansi, atau bahkan regresi. Sebab saat kita melarikan diri, berharap
masalah hilang menguap jadi awan, Yang terjadi tidak demikian, sungguh masalah
itu makin lama tumbuh menjadi “monster” yang
ganas, buas, dan besar. Karena itulah kita mesti menyadari; satu-satunya
cara lari dari masalah adalah dengan menghadapinya. Sesegera mungkin.
"Tarsok* adalah duri dalam daging."
*Tarsok,
(atau lebih tepatnya ntar besok aja) adalah suatu istilah yang dipopulerkan
oleh J.A. Merujuk pada perilaku menunda-nunda pekerjaan (sila lihat pada kamus,
kata 'procrastination') dan menjanjikan untuk mengerjakan sesuatu pada waktu
yang tak tentu. Besar kemungkinan pekerjaan itu terlupa dan tidak jadi
dikerjakan, hanya jadi kata-kata yang menguap di udara.
Atau setidaknya ia adalah musuh dalam selimut.
Di awal berlagak layaknya kawan lama, menjanjikan kenikmatan dan ketenangan.
Padahal sesungguhnya yang dijanjikan oleh penundaan tanpa alasan, hanyalah
penyesalan. Pengkhianatan sempurna, sebab yang dikhianati tak curiga meski
berkali-kali ditikam punggungnya.
Maka satu-satunya pilihan yang tersedia,
sejatinya hanyalah untuk bersegera. Biarlah yang sudah berlalu jadi pelajaran,
biarlah yang esok kita hadapi saat ia benar-benar tiba, namun saat ini kerjakan
yang bisa dikerjakan sebaik-baiknya. Hadapi meski beratnya membuatmu harus
memejamkan mata! Begitulah selayaknya cara kita hidup, menceburkan diri dalam
kebaikan segera setelah selesai dari kebaikan lainnya. Fa idzaa Faraghta
Fanshob!
Dan takkan mungkin seseorang rela mengorbankan
waktu-waktunya untuk terus beristiqomah dalam kebaikan islam, jika ia tidak
mengharap hanya pada yang Maha Kaya, Maha Pencipta. Mereka yang telah
moncontohkan kita untuk terus hidup dalam kerja-kerja keimanan yang menerus,
takkan tahan apabila tak memiliki Allah untuk berpasrah dan berharap. Sebab
segala yang lain tak mampu menjamin. Tak mampu sedikitpun menjamin, karena
meski seluruh makhluk bekerja sama untuk memberi manfaat bagi seseorang, takkan
mungkin manfaat itu tiba tanpa izin-Nya. begitupun kasusnya ketika yang diharap
manusia bagi seseorang adalah kehancuran. takkan terjadi tanpa izin-Nya.
Salah satu hal yang menguatkan seseorang dalam
perjalanan kehidupan adalah adanya kawan. Sahabat setia perjalanan. Bukan
mereka yang mengiyakan pada setiap langkah dan keputusan. Namun mereka yang
kehadirannya membawa kita pada hal yang memang semestinya kita lakukan. Kadang
pahit memang, ketika nasihat datang mengajarkan. Kadang bahkan kita merasa
tersiksa ketika sadar: bahwa banyak orang yang lebih baik dari kita. Namun,
apakah kita rela, merasa mulia saat nyatanya hina? Ah, setidaknya orang yang
bodoh dan menyadari kebodohannya masih mending daripada mereka yang angkuh
dalam kejahilan yang tak kunjung sembuh.
Untuk
Manusia semulia Muhammad SAW, amat banyak nama-nama yang setia. Para Shahabat
yang mulia. Bukankah kita yang penuh cela ini, jauh lebih menghajatkannya:
Sahabat setia dalam perjalanan. "Justru bersebab banyak cela pada diri
pribadi kaum musliminlah," Kata Ust. Anton dalam suatu tausyiah,
"Kita perlu untuk saling membantu. Ya, justru karena kita semua punya
kelemahan, lubang, cacat masing-masing."
Maka kawan, untukmu yang setia dalam
perjalanan. Terima kasih atas nasihat dan saran yang kadang kuterima dengan
pahitnya kekalahan. Sebab senyatanya, manis lebih terasa setelah pahit datang
lebih dulu. Maaf atas setiap senyum kecut saat menanggapi ucapanmu. Bukan
dirimu yang salah, hanya hati ini yang kadang tak siap menerima saran dan
masukan.
Alangkah indah jika kita -meski tentu sama
sekali tak semulia Ibrahim 'alaihissalam- menapaki langkah yang melelahkan,
walau kadang mata harus terpejam. Ya, semoga kita termasuk mereka yang bersama
memejam mata, dalam pahitnya perjalanan.
***
“Lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”
(Ali Imron : 103)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi