Selasa, 25 November 2014

Mereka yang Bersama Memejam Mata.


Oleh: Haidar Muhammad

Alangkah berat bagi Ibrahim alaihissalam, tugas kali ini. Ya, bahkan bagi Ibrahim, Seorang lelaki terpuji yang Allah jadikan teladan bagi manusia. Setiap ujian yang diembankan padanya, selalulah berakhir sama: “Fa Atammahunna,” Selalu ia sempurnakan.

Anak yang ia nanti-nantikan berpuluh-puluh tahun lamanya, Isma’il alaihissalam, harus ia sembelih dengan tangannya sendiri. Seorang anak yang begitu ia sayangi, yang tengah tumbuh menjadi anak shalih yang cerdas dan penuh bakti. Seorang anak yang membuat orangtuanya bersemangat melihat tiap perkembangan dalam dirinya di setiap waktu. Seorang anak yang amat diharapkan kehadirannya di tengah-tengah keluarga sang Khalilullah.

Beberapa malam, lewat mimpi Ibrahim menerima perintah itu. Hingga akhirnya, setelah ia yakin bahwa ini betul-betul perintah Allah, ia mendiskusikan hal ini bersama sang anak. Sang anak dengan penuh taqwa mengiyakan, apabila itu memang perintah Allah. “Insya Allah,” katanya, “engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Alkisah, Nabi Ibrahim lantas membaringkan putra kesayangannya atas pelipisnya. Dengan Niat dan kepatuhan yang bulat, Ibrahim menggerakkan pisaunya, Sambil memejam mata.

***

“Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban”

Begitu Ustadz Salim membuka tulisannya yang berjudul “Yakinlah, dan pejamkan mata.”

Banyak pengalaman hidup yang telah kita lalui. Kita berkali-kali diingatkan, bahwa hakikat hidup adalah penghambaan kepada Allah semata. Secara kognitif kita sesungguhnya paham, bahwa banyak hal yang menghambat kita dari peribadahan, sesungguhnya adalah ujian. Bahkan hal-hal yang kita pandang sebagai keindahan, sebab syaitan begitu pandai menggoda kita dengan yang indah-indah. “Zukhrufal Qouli ghuruuro,” Perkataan yang indah namun sejatinya menyesatkan adalah salah satu senjata ampuh syaitan.

Semakin lama saya melalui perjalanan hidup ini, tentu semakin banyak alasan yang saya ketahui dapat menjadi apologi pelarian. Ada kalanya, pikiran ini lebih sibuk mencari-cari alasan untuk menghilang dari pekerjaan daripada memikirkan bagaimana mensukseskan amanah yang diemban. Kadang kita terjebak oleh hal seperti ini, sehingga banyak meninggalkan pekerjaan dengan alasan-alasan yang diramu canggih dengan kata menawan.

Mungkin kita tidak akan kehilangan harga diri, atau penerimaan dari teman-teman. Namun hakikatnya kita tengah melukai diri sendiri; Mengungkung jiwa lebih dalam di ruang gelap stagnansi, atau bahkan regresi. Sebab saat kita melarikan diri, berharap masalah hilang menguap jadi awan, Yang terjadi tidak demikian, sungguh masalah itu makin lama tumbuh menjadi “monster” yang  ganas, buas, dan besar. Karena itulah kita mesti menyadari; satu-satunya cara lari dari masalah adalah dengan menghadapinya. Sesegera mungkin.

"Tarsok* adalah duri dalam daging."
*Tarsok, (atau lebih tepatnya ntar besok aja) adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh J.A. Merujuk pada perilaku menunda-nunda pekerjaan (sila lihat pada kamus, kata 'procrastination') dan menjanjikan untuk mengerjakan sesuatu pada waktu yang tak tentu. Besar kemungkinan pekerjaan itu terlupa dan tidak jadi dikerjakan, hanya jadi kata-kata yang menguap di udara.

Atau setidaknya ia adalah musuh dalam selimut. Di awal berlagak layaknya kawan lama, menjanjikan kenikmatan dan ketenangan. Padahal sesungguhnya yang dijanjikan oleh penundaan tanpa alasan, hanyalah penyesalan. Pengkhianatan sempurna, sebab yang dikhianati tak curiga meski berkali-kali ditikam punggungnya.

Maka satu-satunya pilihan yang tersedia, sejatinya hanyalah untuk bersegera. Biarlah yang sudah berlalu jadi pelajaran, biarlah yang esok kita hadapi saat ia benar-benar tiba, namun saat ini kerjakan yang bisa dikerjakan sebaik-baiknya. Hadapi meski beratnya membuatmu harus memejamkan mata! Begitulah selayaknya cara kita hidup, menceburkan diri dalam kebaikan segera setelah selesai dari kebaikan lainnya. Fa idzaa Faraghta Fanshob!

Dan takkan mungkin seseorang rela mengorbankan waktu-waktunya untuk terus beristiqomah dalam kebaikan islam, jika ia tidak mengharap hanya pada yang Maha Kaya, Maha Pencipta. Mereka yang telah moncontohkan kita untuk terus hidup dalam kerja-kerja keimanan yang menerus, takkan tahan apabila tak memiliki Allah untuk berpasrah dan berharap. Sebab segala yang lain tak mampu menjamin. Tak mampu sedikitpun menjamin, karena meski seluruh makhluk bekerja sama untuk memberi manfaat bagi seseorang, takkan mungkin manfaat itu tiba tanpa izin-Nya. begitupun kasusnya ketika yang diharap manusia bagi seseorang adalah kehancuran. takkan terjadi tanpa izin-Nya.

Salah satu hal yang menguatkan seseorang dalam perjalanan kehidupan adalah adanya kawan. Sahabat setia perjalanan. Bukan mereka yang mengiyakan pada setiap langkah dan keputusan. Namun mereka yang kehadirannya membawa kita pada hal yang memang semestinya kita lakukan. Kadang pahit memang, ketika nasihat datang mengajarkan. Kadang bahkan kita merasa tersiksa ketika sadar: bahwa banyak orang yang lebih baik dari kita. Namun, apakah kita rela, merasa mulia saat nyatanya hina? Ah, setidaknya orang yang bodoh dan menyadari kebodohannya masih mending daripada mereka yang angkuh dalam kejahilan yang tak kunjung sembuh.

 Untuk Manusia semulia Muhammad SAW, amat banyak nama-nama yang setia. Para Shahabat yang mulia. Bukankah kita yang penuh cela ini, jauh lebih menghajatkannya: Sahabat setia dalam perjalanan. "Justru bersebab banyak cela pada diri pribadi kaum musliminlah," Kata Ust. Anton dalam suatu tausyiah, "Kita perlu untuk saling membantu. Ya, justru karena kita semua punya kelemahan, lubang, cacat masing-masing."

Maka kawan, untukmu yang setia dalam perjalanan. Terima kasih atas nasihat dan saran yang kadang kuterima dengan pahitnya kekalahan. Sebab senyatanya, manis lebih terasa setelah pahit datang lebih dulu. Maaf atas setiap senyum kecut saat menanggapi ucapanmu. Bukan dirimu yang salah, hanya hati ini yang kadang tak siap menerima saran dan masukan.

Alangkah indah jika kita -meski tentu sama sekali tak semulia Ibrahim 'alaihissalam- menapaki langkah yang melelahkan, walau kadang mata harus terpejam. Ya, semoga kita termasuk mereka yang bersama memejam mata, dalam pahitnya perjalanan.

***

Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara
(Ali Imron : 103)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi