Oleh: Salma Karimah
Langit biru sore lambat laun
bermetamorfosis menjadi jingga yang begitu indah, membuat semua mata memandang
terpesona. Sekali, dua kali, tiga kali orang-orang berpose bersama langit
senja. Berusaha sebaik mungkin memperoleh fokus yang terbaik, agar kualitas
fotonya menjadi nomor wahid.
Semilir angin yang bertiup membawa resah keluar dari peraduan. Ada
sesuatu yang hilang di tengah fenomena alam yang menakjubkan ini. Ada kebiasaan
baik yang meredup di tengah pusaran zaman yang bergerak begitu cepat. Kebiasaan
untuk sejenak terdiam, merenungi ayat-ayat kauniyah di alam raya ini. Bahwa
seindah apa pun pemandangan yang ada di hadapan kita, Allah-lah penciptanya.
Allah yang Maha Indah dan menyukai keindahan. Kita mulai terbiasa dengan haus
akan pujian manusia (memuji hasil jepretan
kita), bukan haus akan hikmah yang tersirat di setiap pojok-pojok ruang alam
semesta. Kita semakin disibukkan dengan urusan-urusan panjang yang menyibukkan.
Sehingga semakin jarang untuk sejenak melihat sekitar, bertafakkur dengan tanda-tanda
kebesaran Allah.
Padahal, semuanya telah jelas sejelas sinar matahari di siang hari.
Ayat-ayat kauniyah dari Allah itu adalah pelajaran yang sangat dalam bagi
orang-orang yang berpikir. Ayat-ayat kauniyah dari Allah itu adalah pengingat
dan nasihat agar manusia semakin tunduk dan taat dengan Penguasa Alam Raya,
Allah SWT.
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu
dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di
antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam
warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia
makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya,
hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”
(QS. Fatir
(35): 28)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata) ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka’.”
(QS. Ali ‘Imran (3):
190-191)
Namun ternyata, menjadi ‘orang-orang yang berakal’ itu tidak
sesederhana itu. Tetapi percayalah, hati itu mengetahui setiap ia bersih dan
bertolak ke ufuk cahaya. 1
Cahaya apakah yang menjadi tambatan hati yang bersih?
Sesungguhnya itu merupakan cahaya Allah yang menyinari segala kegelapan
di langit-langit dan bumi. Cahaya yang tidak seorang pun dari kita mengetahui
hakikat dan jangkauannya. Paparan itu hanya sebagai upaya untuk menggaet hati-hati
kita untuk menjangkaunya dan berusaha mendapat sinarnya. 2
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah adalah seperti sebuah lubang, yang tak tembus, yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. An-Nuur (24): 35)
Lantas, bagaimana cara kita memiliki hati yang bersih, yang senantiasa
bertolak pada cahaya Allah?
Tidak ada yang bisa kita lakukan selain memperbaiki akidah dan keimanan
kita pada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada makna amal sama sekali tanpa
landasan akidah; dan tidak ada kebaikan sama sekali tanpa iman. 3
Bila kita telah memperbaiki akidah dan keimanan kita pada Allah, hati
yang bersih dapat kita rasakan ketika hati-hati kita selalu mencari-Nya,
mengingat-Nya, mengagungkan-Nya, memurnikan dirinya hanya untuk-Nya, dan lebih
mengutamakan-Nya dibandingkan seluruh godaan kehidupan. 4
Buah dari hati yang senantiasa diterangi cahaya Allah adalah terbukanya
kecerdasan mata hati (bashirah),
jalinan fitrah yang menghubungkan dengan hukum-hukum Allah yang ada di langit
dan bumi dan dengannya seharusnya orang bertemu dengan Allah yang merupakan
Cahaya langit dan bumi.5 Selain itu, hati yang bersih akan
mengantarkan kepada rasa khauf
(takut) dan raja’ (mengharap rahmat
Allah), lalu membawa kepada doa yang merupakan bentuk ibadah yang paling mulia;
selanjutnya semua itu pasti akan memberikan pengaruh dengan membaiknya perilaku
seorang hamba, akhlaknya dan hubungannya dengan sesama manusia. 6
Wallahu ‘alam
Sumber:
1-5: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan
Al-Qur’an. Sayyid Quthb
6: Prioritas dalam Ilmu, Amal dan Dakwah.
Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah
[diambil dari: https://www.facebook.com/ksai.aluswah]
[diambil dari: https://www.facebook.com/ksai.aluswah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi