Minggu, 02 November 2014

Cahaya Illahi


Oleh: Salma Karimah


Langit biru sore lambat laun bermetamorfosis menjadi jingga yang begitu indah, membuat semua mata memandang terpesona. Sekali, dua kali, tiga kali orang-orang berpose bersama langit senja. Berusaha sebaik mungkin memperoleh fokus yang terbaik, agar kualitas fotonya menjadi nomor wahid.

Semilir angin yang bertiup membawa resah keluar dari peraduan. Ada sesuatu yang hilang di tengah fenomena alam yang menakjubkan ini. Ada kebiasaan baik yang meredup di tengah pusaran zaman yang bergerak begitu cepat. Kebiasaan untuk sejenak terdiam, merenungi ayat-ayat kauniyah di alam raya ini. Bahwa seindah apa pun pemandangan yang ada di hadapan kita, Allah-lah penciptanya. Allah yang Maha Indah dan menyukai keindahan. Kita mulai terbiasa dengan haus akan pujian manusia (memuji hasil jepretan kita), bukan haus akan hikmah yang tersirat di setiap pojok-pojok ruang alam semesta. Kita semakin disibukkan dengan urusan-urusan panjang yang menyibukkan. Sehingga semakin jarang untuk sejenak melihat sekitar, bertafakkur dengan tanda-tanda kebesaran Allah.

Padahal, semuanya telah jelas sejelas sinar matahari di siang hari. Ayat-ayat kauniyah dari Allah itu adalah pelajaran yang sangat dalam bagi orang-orang yang berpikir. Ayat-ayat kauniyah dari Allah itu adalah pengingat dan nasihat agar manusia semakin tunduk dan taat dengan Penguasa Alam Raya, Allah SWT.

“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” 
(QS. Fatir (35): 28) 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka’.” 
(QS. Ali ‘Imran (3): 190-191)

Namun ternyata, menjadi ‘orang-orang yang berakal’ itu tidak sesederhana itu. Tetapi percayalah, hati itu mengetahui setiap ia bersih dan bertolak ke ufuk cahaya. 1 

Cahaya apakah yang menjadi tambatan hati yang bersih?

Sesungguhnya itu merupakan cahaya Allah yang menyinari segala kegelapan di langit-langit dan bumi. Cahaya yang tidak seorang pun dari kita mengetahui hakikat dan jangkauannya. Paparan itu hanya sebagai upaya untuk menggaet hati-hati kita untuk menjangkaunya dan berusaha mendapat sinarnya. 2

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang, yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 
(QS. An-Nuur (24): 35)

Lantas, bagaimana cara kita memiliki hati yang bersih, yang senantiasa bertolak pada cahaya Allah? 

Tidak ada yang bisa kita lakukan selain memperbaiki akidah dan keimanan kita pada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada makna amal sama sekali tanpa landasan akidah; dan tidak ada kebaikan sama sekali tanpa iman. 3 

Bila kita telah memperbaiki akidah dan keimanan kita pada Allah, hati yang bersih dapat kita rasakan ketika hati-hati kita selalu mencari-Nya, mengingat-Nya, mengagungkan-Nya, memurnikan dirinya hanya untuk-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya dibandingkan seluruh godaan kehidupan. 4 

Buah dari hati yang senantiasa diterangi cahaya Allah adalah terbukanya kecerdasan mata hati (bashirah), jalinan fitrah yang menghubungkan dengan hukum-hukum Allah yang ada di langit dan bumi dan dengannya seharusnya orang bertemu dengan Allah yang merupakan Cahaya langit dan bumi.5 Selain itu, hati yang bersih akan mengantarkan kepada rasa khauf (takut) dan raja’ (mengharap rahmat Allah), lalu membawa kepada doa yang merupakan bentuk ibadah yang paling mulia; selanjutnya semua itu pasti akan memberikan pengaruh dengan membaiknya perilaku seorang hamba, akhlaknya dan hubungannya dengan sesama manusia. 6 

Wallahu ‘alam 
 
Sumber:
1-5: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al-Qur’an. Sayyid Quthb
6: Prioritas dalam Ilmu, Amal dan Dakwah. Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah

[diambil dari: https://www.facebook.com/ksai.aluswah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi