“Kalau sedang
butuh semangat, saya pasti kembali ke lantai hijau itu, sekolah yang teduh oleh
cemaranya itu.Di sana ada apa?
Di sana ada
realita.”
oleh:
Zahrin Afina,
KPPI-KSAI 1435
Sebagai seorang
akademisi dengan jadwal penuh, atau bahkan organisator yang sok sibuk, kita
sering terpusat pada urusan diri sendiri, iya apa iya? ^.^”
Hal itu mungkin
bisa membuat kita tampak apatis bagi sebagian orang, egoisbagi sebagian orang
lainnya, tapi menurut saya yang paling berbahaya; kadang, ketika kita sampai
terjatuh, kita akan merasa menjadi orang paling menyedihkan...dan akhirnya,
terjebak dalam ketidak-percayaan diri, terjebak oleh keterpurukan. Dan itu
adalah salah satu kelemahan umat Muslim saat ini. Sampai ust. Anis Matta pernah
berpesan, ”kalau datang ujian yang sangat besar, salah satu yang bisa kita
lakukan adalah melupakannya, Allah karuniakan kemampuan untuk itu. Dengan
begitu, kita bisa menghemat energi untuk melakukan banyak tugas yang lain.”
Benar bahwa tiap
orang punya masalah yang akan terus datang bak gelombang di hidupnya. Tiap
orang menghadapi "perang" dalam dirinya. Bahkan Ibnul Qayyim
menjelaskan bahwa salah satu jihad yang utama adalah melawan diri sendiri alias
hawa nafsu.
Tetapi sebelumnya,
pernahkah kita menyadari, bahwa ada suatu mekanisme alamiah yang mungkin sudah
berkali Allah tunjukkan pada kita: bahwa masalah dalam diri tidak harus selalu
diselesaikan sendiri kok, yang perlu kita bantu benar-benar itu justru masalah orang
lain, yang dengan begitu ia menjadi teringankan, ukhuwah otomatis menguat,
balasan besar ikut menanti, dan tiba-tiba saja masalah diri sendiri pun –secara
langsung/tidak langsung- ikut terselesaikan. Pernah kan, mengalaminya?
Sebab, bukankah
seringkali masalah kita hanya akibat sikap kurang bersyukur, kufur nikmat,
alias diada-adakan? Sebab, sebagai apa masalah itu hadir selalu tergantung pada
sudut pandang kita terhadapnya.Dan Allah, Allah akan selalu menolong seorang
hamba selama ia menolong saudaranya. Subhanallaah :')
Seperti itu juga
halnya ketika kita membina. Apakah menjadi seorang 'murabbi' cukup dengan
menghafal teori, ilmu fiqh, dan sebagainya (meskipun itu saja sudah berat --yah
walaupun kayaknya kita kurang niat saja kalau sampai tidak mengejarnya di
'kandang ilmu' di Jogja ini)? Kalau diibaratkan, murabbi adalah 'syaikh' yang
harus berinteraksi dengan tiap hati mad'u-nya, mengetahui latar belakang sampai
alam pikiran serta permasalahan mutarabbi-nya. Karenanya, membina itu nyeni. Dalam mengenali, memahami,
membantu mencarikan solusi bagi jiwa manusia yang beragam itu kreatifitas
niscaya dibutuhkan. Dan dasarnya, kata Sayyid Quthb rahimahullah, adalah
kepekaan. Kepekaan atau sensitifitas terhadap sesuatu baik itu perasaan maupun
realita, yang menjadi konsekuensi atas kebenaran yang kita yakini dan syahadat
kita, dan kesemua ini disebut mas'uliyah. M-A-S-U-L-I-Y-A-H. *Sounds familiar?
Jadi tak perlu dijelaskan panjang lebar lagi ya..^^
Kemudian, last but really not least, kedekatan kita dengan Allah (ma’rifatullah –mengenalNya dengan baik, taat beribadah, dan taqwa kepadaNya) adalah ruh sebenarnya dari semua seni itu. Memang dengan apalagi kita menggapai hati jika hanya Dia Sang Pemilik dan Pembolak-balik hati?
**Yang menulis ini,
sama sekali bukan berarti sudah bisa mempraktikkannya dengan sempurna. Seperti
yang tadi saya bilang kan, bagaimana mau peka kalau terlalu fokus pada diri
sendiri, kalau egoismenya masih selembar penuh begitu? :"
Hmm,"hidup untuk orang lain.." ya.
Semoga kita tak asing ya. Sungguh kita tetap patut berusaha, karena ia termasuk
ajaran Islam yang dasar, sunnah Rasulullah, yang sedari awal berkata,
"Orang yang paling dicintai Allah adalah orang
yang paling bermanfaat. Amal yang paling dicintai Allah adalah membuat seorang
muslim bahagia atau menghilangkan kesulitannya, membayarkan hutangnya, dan
mengusir rasa laparnya. Berjalan bersama seorang muslim untuk memenuhi
keperluannya lebih aku sukai daripada beri'tikaf di dalam masjid selama
sebulan. Barangsiapa menutup amarahnya, niscaya Allah akan menutup auratnya,
dan barangsiapa menyembunyikan kemarahan yang bisa ia tumpahkan jika ia
berkehendak, maka pada hari kiamat Allah akan memnuhi hatinya dengan keridhaan.
Barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk satu keperluan hingga
menetapkannya untuk saudaranya tersebut, niscaya Allah akan menetapkannya
ketika kaki-kaki terpeleset. Sesungguhnya akhlak yang buruk itu merusak amal,
sebagaimana cuka merusak madu." (HR. Thabrani)
Ditambah lagi
dengan mekanisme alamiah antar-manusia yang indah di atas, kurang baik apa
Allah yang dengan lembut menuntun kita untuk membantu orang lain, hidup untuk
orang lain?
Katanya dakwah juga
itu kan intinya; cinta, karena ingin saudara kita sama-sama masuk surga. Atau
kadang seperti membersihkan sampah yang bukan kita yang membuangnya. Maka yang
namanya cinta, akan meminta segalanya darimu. Dan mari bersabar terus dalam
memberi, karena kalau tidak nanti rasanya seperti diambil paksa.
Cara lain lagi
untuk bangkit, adalah bertemu dengan qiyadah (pimpinan dakwah) kita.
Qiyadah yang baik
adalah yang bisa membuat jundinya berkata, "Tidak ada waktu untukku
mengeluh sementara beliau-beliau (para qiyadah) sedang melakukan semua yang
terbaik yang mereka bisa!"
Qiyadah yang baik
itu yang kedatangannya saja membuatmu renyuh oleh cinta. Ketika beliau telah
terlebih dulu mengetahui kebutuhan jundi-jundinya, dapat memvisualisasikan dan
mengkomunikasikan segala impian dalam misi-misi, serta bersedia untuk selalu
melangkah di depan.
Karena.. beliau
telah begitu berani melawan dirinya lebih keras untuk amanah ini.
Kemudian dengan
atau tanpa kita sadari, cinta itu menyergap jadi rasa malu melihat diri kita
yang masih berkutat dengan masalah-masalah lemah azzam, buramnya himmah (biggest concern),
yang disebabkan dunia begitulah. Sedangkan mereka menjaga 'kekondusifan'
itu dengan terus bekerja dalam frame dakwah, yang dengan begitu mereka 'naikkelas'.. bahwa
begitu cara mereka zuhud dari dunia. Sehingga kita pun
insyaf bahwa mungkin memang satu-satunya cara adalah tak sedikit pun
berdiam dari aktivitas dakwah.
Ya,
bersyukurlah kita jika memiliki qiyadah yang dengan izin-Nya bisa menunjukkan pada kita
yang lebih sering 'mengering' ini bagaimana mencintai jalan dakwah ini dengan benar.
Ah, kalau berbicara tentang cinta, yang total di bumi ini hanya
1% dari
seluruh Cinta milik Allah, teringat pula
kita pada saudara-saudara Muslim di penjuru dunia.
Cinta ini yang
menggerakkan tiap barisan masyarakyat Mesir untuk mengusung singgasana keadilan yang
amat berat itu meski kemarin ditawan musuh dan kini --untuk sementara!- direbut.
Cinta ini cinta yang
gerakkan tiap lontaran batu mujahid-mujahid kecil di Palestina pada tank Israel,
sebab satu demi satu, hampir tiap harinya, ada saudara tercinta mereka yang
terbunuh syahid. Cinta mereka itu ada diantara gemuruh perang membela Masjidil Aqsha dan kerinduan membuncah untuk menyusul saudara mereka
di surga, juga sebagai syuhada'.
Apa tak cukup untuk membesarkan hati, mendengar bahwa di
tanah mereka, derita kalah gemuruhnya dengan Al-Qur'an
dan luka-luka telah disembuhkan oleh iman..?
Well, pada akhirnya, walau sudah tahu pun,
kadang ya tetap mengulang sok sibuk ya. Namanya manusia, kita hanya sering
lupa..
Jadi mungkin ada perlunya
kita tebalkan di buku catatan, atau tempel sekalian di deretan pesan di meja
belajar atau dinding kamar; kalau rasanya mulai 'terperangkap' masalah sendiri
lagi, mari bertanya tentang kepekaan diri; sudah
berapa lama tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan obyek dakwah, adik kader,
atau teman seperjuangan dan pimpinan, wahai pelayan umat?
"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali
agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu,
sehingga dengan karuniaNya kamu menjadi bersaudara, sedangkan ketika itu kamu
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana.
Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk."
QS Ali-Imran : 103
“..Dan mereka mendahulukan orang-orang lain di atas
diri mereka sendiri sekalipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”QS Al-Hasyr : 9
Subhanallahi
walhamdulillah.. Mahasuci, Mahamulia, dan Maha Pemurah Dia yang telah memberi banyak
pelajaran berharga lewat jalan dakwah nan agung ini. Karenanya sekali lagi,
sudah selayaknya kepekaan yang pada akhirnya akan membebaskan diri dari
kelemahan ini diasah agar kaum Muslimin dapat memimpin umat manusia..dan semoga
kita senantiasa diberi taufik untuk menjaga karunia ini, serta untuk saling
mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Aamiin.
Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 25 Muharram
1436 H
aizahrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi