"Allahumma Inni a'udzubika minal hammi wal hazan..."
***
Lelaki itu
lelah.
Sebakda berenang pagi itu, seluruh tubuhnya merasa lemas. Maklum, ia memang
belum lama belajar berenang; pagi itu saja ia masih belum bisa ambil napas.
Hari Sabtu memang hari yang penuh agenda buatnya dan teman-teman. Berenang,
lantas mengikuti sebuah diskusi intelektual -yang sepertinya menyita banyak
glukosa untuk membantu otak bekerja- membuat perut dan lidahnya kompak
mengajukan satu kandidat makan siang: Mie ayam yang ada pangsitnya.
Maka setelah shalat dzuhur ditunaikan, lelaki itu bersama kawan-kawannya
berangkat mencari mie ayam. Di tengah siang yang terik, yang panasnya
memerahkan kulit, mereka mengikuti salah seorang kawan yang paham daerah itu.
Sedikit demi sedikit mekanisme fisiologis itu semakin terasa: Haus.
Bak pengembara yang melihat oasis fatamorgana, lelaki itu harus menahan
kekecewaannya. warung Mie ayam dengan pangsit yang dari tadi diharap-harapkan
tutup. Rombongan kelaparan itupun meneruskan perjalanan. "Ada satu lagi
dekat sini," Kata sang kawan. Harapanpun kembali meninggi. Namun -seakan-akan
ada konspirasi penjual mie ayam untuk tutup pada hari itu- warung kedua pun
tutup pula.
Bagaimanapun mereka harus melanjutkan perburuan mie ayam ini, sebab perut,
mulut, dan kerongkongan mereka terus mengirimkan sinyal kebutuhan.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang penuh harap-cemas, mereka
menemukan satu warung di pinggir jalan besar. Warung ini tidak terlalu luas,
namun penataannya yang rapi dan bersih membuat mereka nyaman. Sejurus kemudian,
mereka menyampaikan pesanan masing-masing. Perut memang masih bisa menunggu,
namun kerongkongan sudah meraung-raung kehausan.
"Es Teh sama mie ayam pedas ya mbak," Lelaki itu menyampaikan
pesanannya dan memastikan, "Sudah ada pangsitnya kan?" Dan gayung pun
bersambut, kini rombongan itu tinggal menunggu.
Sang tamu istimewa pun tiba: Es teh yang datang di saat kehausan, saat
terik matahari amat terasa, memang bukan sekedar es teh. Dibandingkan es teh
yang datang di saat kerongkongan telah banyak terbasahi, tentu nikmatnya
berkali-kali lipatannya. "Srupuut," seruputan pertama lelaki itu, tak
terungkapkan kata-kata nikmatnya. Hingga, ketika gelas itu tinggal terisi
separuhnya, dengan hati yang amat senang lelaki itu mengatakan: " Teh ini
takhemat ah, biar nanti habis makan mie ayam masih bisa nge es."
Beberapa menit setelahnya, mie ayam dengan pangsit pesanan mereka disajikan. Mie ayam yang ini agak berbeda dengan biasanya, di atasnya sudah di toppingi dengan sambal yang melimpah. Makin kuatlah hujjah lelaki itu untuk menghemat es tehnya yang nikmat itu. Namun, ketika akan mengambil mie ayamnya, tragedi itu pun terjadi: sikunya tanpa sengaja menyampluk gelas es teh yang segar itu. Waktu tak bisa dihentikan, detik tak bisa dikembalikan. Kini es teh yang nikmat itu ter reduksi menjadi genangan yang tak lebih hanya meminta untuk dilap dan dibersihkan.
Harapan dan angan-angan kecil lelaki itu "lenyap" seketika,
sekejapan mata, dengan nafas sehela.
***
Apa yang kita rasakan,
saat suatu ekspektasi tinggi terhunjam ke tanah seketika?
Apa yang sekilas terbit
di pikiran kita, saat harapan lenyap -meski sementara saja-?
Apa yang hati kita lalui,
di waktu-waktu ketika kita benci pada diri sendiri?
Jawabannya? Sedih. Sedih,
dan Sedih.
Kesedihan. Ialah yang
dapat membuat manusia yang tegar biasanya, bisa meratap-ratap tak semestinya.
Ia yang kadang jadi alasan seseorang memilih kematian paling menghinakan, bunuh
diri dalam keputusasaan. Ialah yang
mungkin secara tidak rasional membuat seseorang memutuskan untuk berhenti berkembang. Ialah kesedihan.
Memang seringkali
perasaan kita membuat persepsi penuh ilusi. Membuat logika tak berdaya, bahkan
membuat kita gelap mata. Ada -setidaknya- dua perasaan yang menghipnotis kita
agar lupa pada hari yang tengah dilalui. Membuat kita lalai akan masa kini:
Kecemasan dan kesedihan. Atau dengan gaya bahasa lainnya; galau dan sedih.
galau adalah rasa cemas dan takut
akan kemungkinan-kemungkinan di masa depan, sedangkan sedih adalah
penyesalan-penyesalan berlebihan atas yang terlampaukan.
Yang dialami oleh lelaki
dalam cerita di depan semestinya adalah kesedihan. Sebab ia menyesali sikunya
yang menjadi pelaku tersiakannya es teh yang dihematkan. Lantas apa yang
seharusnya dilakukan lelaki itu selanjutnya? Apakah sebaiknya ia ratapi
kepergian esteh itu, atau segera move on menatap masa depan?
Simpel: Relakan, Bersihkan, Pesan es teh lagi, dan maknai agar tak terulangi. Kadang, sesimpel itu pula seharusnya kita menghadapi kekecewaan yang sesekali bertamu dalam kehidupan. Saat kita mendapat IP di bawah target yang kita tuliskan, saat kita sadar bahwa sahabat kita bukan manusia sempurna bersebab kekhilafan, saat kita sadar bahwa terlalu banyak waktu yang telah kita anggarkan untuk kesia-siaan. Sesimpel itu, dengan modifikasi tertentu.
Bahwa skalanya berbeda dengan kehilangan sekedar es teh, itu keniscayaan. Namun, Pola flowchartnya memiliki kesamaan. Jangan sampai kita terjebak dengan skala dan ukuran kekecewaan, toh musibah yang Allah kirimkan selalu sesuai kadar kemampuan penerimanya. Sebab, saat itu -saat kita mengisi waktu dengan bernestapa ria- kita tengah mengorbankan banyak hal yang jauh lebih berharga. Dr. 'Aidh Al Qarni, dalam "Laa Tahzan" menasihatkan:
"Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu, sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad, dan mengubur masa depan yang belum terjadi."
Tindakan bodoh dan gila.
Sebab sulit dibayangkan akal kita memberi kesimpulan bahwa lebih baik mengisi
waktu dengan meratapi kegagalan, daripada memperbaikinya.
"Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam." tulis beliau di beberapa paragraf setelahnya, "Selamatkan diri anda dari bayangan masa lalu! Apakah dirimu ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, dan air mata ke dalam kelopak mata?"
Waktu memang -biidznillah-
tak bisa berputar ke masa lalu. Detik yang telah terlalui, sekejap menjadi hal
terjauh dari kehidupan insani, sebab ia jadi bagian dari masa lalu, masa yang
tak terjangkau manusia meski dengan segenap usaha. Maka alangkah baiknya jika
saat ini juga, atau di waktu kita tergoda tuk "menikmati" rasa
tersiksa, digunakan untuk memperbaiki diri dan hidup yang tersisa. Apakah kita
akan selamanya seperti ini? mengandalkan alasan dan rasionalisasi untuk
menutupi lalai dan lemahnya diri? Tidak boleh, sungguh tidak pantas bagi seorang
mukmin, jatuh di lubang yang sama berkali-kali.
***
Alhamdulillah, lelaki itu
-ya, lelaki penikmat es teh itu- tidak berlama-lama mengerutkan muka. Setelah
memakan mie ayam pangsit yang pedas itu, ia memesan es teh lagi sambil bergumam
dalam hati:
"Besok lagi, aku
harus lebih berhati-hati"
Kenangan, ada bukan untuk dilupakan.
Pun bukan pula tuk diratapi setengah mati.
ianya
mengisahkan jalan kehidupan
biarlah ia jadi pelajaran.
Untukku,
untukmu, untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi