Jumat, 15 Agustus 2014

Cawan Air Di Tanah Gersang

[Menemukan Bagian Dari Dakwah yang Hilang]
15 Juli 2011

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

“Apakah yang lebih besar daripada iman?” Kata sosok itu dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana aku tahu sesungguhnya ia agak sedang bersedih.

“Aku tak tahu,” kataku. Tenggorokanku terasa sangat kering. Terik matahari menyengat, aku berada di sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya.
Tiba-tiba, aku ingin melihat sosok itu… dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan wajah yang agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya aneh yang justru tak membuatku merasa silau – tapi teduh. Kulitnya bersih, badannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan.

Sekali lagi ia tersenyum. Senyum yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku.

“Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?” katanya seperti mengulang pertanyaan pertamanya.

“Aku tak tahu,” aku menjawabnya dengan kata-kata yang sama.
Lalu ia memberiku minuman. Ia seolah tahu bahwa tenggorokanku terasa menyempit, haus yang hampir membakar rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih… “Minumlah,“ katanya, “kau sangat membutuhkannya.” Lagi-lagi, ia tersenyum.

Aku pun segera meminumnya. Ada dingin yang mengalir di tenggorokanku, mengalir menjadi damai di hatiku, membebaskan sel-sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai menghidupkan lagi sel-sel yang mulai mati di tubuhku. Aku merasakan kesegaran yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka. Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan-pelan, angin menerbangkan helai-helai daun yang kering, rumput-rumput bersemi, bunga-bunga mekar- wewangian membebaskan segala bentuk penderitaan.

Lalu kutatap lagi sosok lelaki yang tampak agung itu: Muhammad. “Kebaikan,” katanya tiba-tiba, “melebihi apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.”

Seketika, langit hening, bumi hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan-pelan, ia melangkah pergi, menjauh meninggalkanku.

“Apakah yang lebih besar daripada iman?” bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman? Aku
menatap punggung Muhammad yang menjauh… terus menjauh.

“Kebaikan? Barangkali inilah kebaikan” kataku dalam hati, “budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatmu merasakan kebahagiaan yang membebaskan dank au takkan pernah rela ditinggal pergi olehnya.”

Entah mengapa ada perasaan sedih yang teramat dalam saat ia meninggalkanku di tempat itu sendirian. Aku benar-benar tak rela melepasnya pergi… aku menatap punggungnyadan memanggilnya kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh… menjelma sunyi, meninggalkanku.

Dikutip dari novel Menatap Punggung Muhammad karya Fahd Djibran, Penerbit Litera Pustaka (2010).

***

Dimensi waktu berputar kembali, menuju di abad ke 6 Masehi. Di sebuah bukit gersang di sebelah kota Makkah. Nampak kerumunan yang mulai saling berbisik, entah apa yang membuat mereka tampak keheranan – tampak heboh, seakan baru saja ada keadaan yang menuntut mereka melakukan sebuah perubahan besar.

Ada seseorang yang belum beranjak dari berdirinya di atas batu, seseorang yang bersahaja, dengan cahaya teduh di raut wajahnya. Ia nampak begitu tenang, begitu bijaksana. Semua bisikan dan sudut mata mengarah padanya.

Tiba-tiba, menyeruak dari belakang, ada suara lantang yang dari salah seorang yang hadir di siang itu, “Sungguh, Muhammad, kami tidak mendustkan apa yang engkau, akan tetapi kami mengingkari apa yang engkau bawa!”

Tampaknya, teriakkan itu mengagetkan semua orang, termasuk si Pusat Perhatian. Siapa menyangka, teriakan itu merupakan sebuah deklarasi yang kelak akan membawa dampak yang luar biasa bagi kota lembah di Saudi Arabia itu. Siapa akan mengira, teriakkan itu kelak akan dirindukan. Bagaimana tidak, teriakkan itu adalah sebuah perlambang keengganan manusia untuk berubah, tetap cenderung pada kebiasaan dan budaya yang menipunya sekaligus juga sebagai perlambang adanya pengakuan pada kepribadian agung sosok manusia yang menyerunya. Terpujinya akhlak takkan pernah tertolak.

***

Imam An-Nawawi, salah seorang ulama terkemuka yang menjadi rujukan ummat di berbagai tempat, mengumpulkan hadits-hadits pilihan yang menjadi pilar-pilar penting dalam agama Islam. Tentu, kita semua tahu, ialah Hadist Arbain, hadits yang empat puluh (meski jumlahnya tidak tepat empat puluh) sebagai sebuah pengingat bagi ummat dalam memperdalam pokok-pokok agama ini. Dalam hadits yang kedua, dalam sebuah hadits yang cukup panjang diceritakan tentang kehadiran orang asing (yang kelak diketahui bahwa ia adalah Malaikat Jibril) yang mengajarkan kepada para shahabat mengenai 3 unsur pokok dalam beragama. Pertama, sebagai landasan pengakuan ialah Rukun Islam yang lima. Kedua, sebagai sebuah landasan kepercayaan, ialah Rukun Iman. Sayangnya, yang ketiga ini tak terlalu ‘terkenal’ dibandingkan rukun yang sebelumnya, seolah kita kini terlupa: Ihsan.

Dalam hadits tersebut, Ihsan didefinisikan sebagai “beribadahlah padaNya seolah-olah engkau melihat Allah, jika tidak, maka yakinilah bahwa Allah melihatmu.” Iniliah puncak dari kehidupan beragama, sebuah bentuk kematangan kualitas dalam berbuat sesuatu: kebaikan. Tentunya, prinsip ‘puncak’ ini tidak bermaksud meninggalkan fondasi yang ada di bawahnya. Islam merupakan bentuk deklarasi, penegakkan identitas, lalu diikuti dengan iman yang melingkupi keyakinan. Ihsan, merupakan sebuah pembuktian, parameter kualitas, dan bentuk kesempurnaan seseorang dalam menjalani agama ini. Ber-ihsan, menebarkan kebaikan sebagai sebuah keniscayaan ber-Islam dan ber-Iman.

Sayangnya, kebaikan ini seakan menjadi ‘barang yang hilang’ dari ummat ini. Jika diibaratkan dalam cuplikan novel di atas tadi, kondisi ummat ini tak jauh berbeda dari si Aku. Bumi ini gersang, bumi ini panas dan gerah, kering kerontang. Panas mentari yang membakar, hawa kering yang menembus tulang, tenggorokan yang menyempit memperparah kesendirian dan kesedihan yang dialami seseorang. Pertanyaan-nya: apa yang kemudian kita lakukan? Dakwah tercipta, tentunya dengan membawa Islam sebagai solusi bagi semua. Sayangnya pada tataran kenyataannya, apa yang berlaku tak selalu begitu. Begitu banyak godaan, begitu banyak alas an yang membuat semua itu terhambat: kita melupakan akhlak, melupakan kebaikan.
Satu hal yang menjadi ironi adalah tentang jumlah ummat Islam dan kekuatan membangun peradaban di atas muka bumi. Dulu, rasulullah mengawali syiar Islam dari seorang diri. Ia adalah satu-satunya orang yang memeluk agama Islam di atas muka bumi. Sedangkan jumlah ummat Islam yang melimpah telah ada kini. Sayangnya dari begitu besarnya jumlah yang dimiliki, belum mampu untuk menjadi pelopor peradaban di bumi ini. Pertanyaan-nya adalah bagaimana sebenarnya kualitas kita sebenarnya? Kita harus mengaca diri, baik kita sebagai ummat maupun kita sebagai du’at, sebagai da’i. Syahadat yang terucap, hingga iman di dalam hati, harus kita pahami sebagai sesuatu yang selalu menuntut bukti. Ya bukti, kebermanfaatan kita sebagai khalifah yang memakmurkan bumi.

Kebermanfaatan inilah sebuah bentuk nyata dari ihsan yang didasari oleh iman dan islam. Salah satu contoh yang patut kita pelajari adalah mengenai salah satu pembuktian iman. Rasulullah pernah menyatakan bahwa iman diproyeksikan dalam spektrum amal yang sangat luas, meskipun hanya berupa kontribusi di jalan dengan menyingkirkan duri. Walaupun hanya sebuah tindakan sederhana, menyingkirkan duri adalah sebuah I’tikad kebaikan yang mengandung nilai universalitas amal yang luar biasa. Buktinya, ketika menyingkirkan duri atau batu di jalan, apakah kita pernah memikirkan siapa yang akan terselamatkan nantinya? Apakah kita menyingkirkannya dengan harapan yang selamat adalah orang yang kaya atau miskin, yang tua atau yang muda, atau bahkan agamanya apa pun tidak perlu kita pikirkan, yang terpenting bagi kita adalah saat kita berpeluang, maka kebermanfaatan itu harus kita wujudkan. Ini layaknya bentuk dari dakwah kita, kewajiban kita adalah menebarkan kebaikan, akan tetapi kepada hati siapa benih kebaikan itu tertaut dan tumbuh menjadi hidayah maka biarlah Allah yang mengaturnya, itu bukan wewenang kita.

Kebermanfaatan adalah prinsip utama dalam berdakwah. Implementasi nyata dari kebermanfaatan ini menuntut kita merangkai kembali pemahaman kita tentang dakwah: bahwa dakwah tidak hanya mengajak, tetapi juga memberi. Prinsip ini hendaknya kita pahami sebagai sesuatu yang tak terpisah dari kebutuhan ummat. Kali ini, kita juga harus introspeksi. Berapa banyak alasan yang kita buat untuk menghindarkan diri dari memberi. Kadang terlalu banyak logika dan pembenaran yang menghambat kita untuk beramal. Betapa ada, orang-orang diantara kita yang justru mencari jalan lain, sesaat ketika akan bertemu mad’u-nya hanya karena takut dianggap asing, karena baju koko yang kita pakai, atau kopiah yang terlanjur kita kenakan. Betapa banyak saudari-saudari kita yang memilih untuk untuk memalingkan muka, bukan karena semata-mata ingin menjaga pandangan, tetapi karena perasaan enggan melihat realita yang sebenarnya: bahwa ummat membutuhkan kita, menanti karya-karya kita. Atau bahkan, dengan pembenaran iman, justru kita korbankan kesempatan kita untuk memberi, menebar kebaikan.

Semangat memberi ini, yang semakin lama semakin luntur dari perjuangan dakwah kita, berganti dengan semangat mencaci, berprasangka, tanpa tahu yang sebenarnya apa yang dinantikan ummat, objek dakwah kita, sekuntum kebaikan. Ketika mereka hanya butuh peringatan dan pemahaman, kita kutuk keras mereka dengan teriakkan dan slogan-slogan penuh kebencian, dengan alasan mereka sudah tak terselamatkan, mereka sudah jauh dalam keingkaran. Hal ini hanya akan menyisakan luka dalam hati, takkan benar-benar dapat berarti dan mengubah perilaku yang terjadi. Ketika mereka butuh persaudaraan, kita beri mereka dengan salam. Sayangnya, sering kita gagalkan salam kita hanya dengan alasan takut dakwah kita tertolak di awal masa. Ketika mereka menengadahkan tangan, kita beri mereka dengan potensi harta, yang sayangnya sering kita gagalkan dengan prasangka: jangan-jangan akan ia gunakan untuk mabuk-mabukan? Bahkan, ketika ia hanya membutuhkan ajakan, ajakan sebagai sebuah pertanda dianggap sejajar sebagai manusia, seringkali kita nafikkan dengan alasan “maaf, sepertinya dia belum fasenya, takutnya ia belum paham”.
Kita, semua, harus berubah. Pemahaman Islam yang kamil (sempurna), harus diikuti dengan pemahaman Islam yang juga sebagai agama yang syamil (menyeluruh). Menyeluruh tidak hanya dari segi bidangnya, tetapi juga dari segi lingkup penerapannya, yakni identitas (Islam), keyakinan (iman), serta peran kebermanfaatan menebarkan kebaikan (Ihsan).

Jika parsialnya pemahaman kita dalam berdakwah dan mensyiarkan agama kita tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pandangan-pandangan terhadap Islam (yang jelas telah dijamin kesempurnaanya oleh Allah ini) semakin jauh dari potensinya untuk menjadi pelopor peradaban, bukan karena persoalan ajaran, tetapi karena perilaku ummatnya yang justru menjauhi kebaikan. Kebaikan, dalam lingkup kebermanfaatan, adalah bagian yang hilang dari dakwah kita yang menunggu untuk kita temukan. Tentu, kita bisa beralasan semua ini butuh waktu, tapi jangan pernah salahkan ummat yang tak sabar lagi menunggu. Menunggu terpujinya akhlak, yang takkan pernah mampu tertolak. Mari, kita belajar dari nabi kita, yang telah menjadi orang terpercaya jauh sebelum menyampaikan risalahnya. Pada akhirnya (semoga hal ini tak benar-benar terjadi nanti) jangan sampai terlontar kata-kata dari orang-orang di sekitar kita:

“Wahai para da’i, kami mendustakanmu karena akhlakmu. Tapi Sungguh kami tak mengingkari yang kau bawa, yaitu Islam ini, sebagai sebaik-baik agama.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi