[Menemukan Bagian Dari Dakwah yang Hilang]
15 Juli 2011
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB:
hidayatisnan@yahoo.com)
“Apakah yang lebih besar daripada
iman?” Kata sosok itu dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana
aku tahu sesungguhnya ia agak sedang bersedih.
“Aku tak tahu,” kataku.
Tenggorokanku terasa sangat kering. Terik matahari menyengat, aku berada di
sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat
yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya.
Tiba-tiba, aku ingin melihat
sosok itu… dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan
wajah yang agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya aneh yang justru tak
membuatku merasa silau – tapi teduh. Kulitnya bersih, badannya tidak kurus juga
tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik,
alis matanya panjang bertautan.
Sekali lagi ia tersenyum. Senyum
yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku.
“Apakah yang lebih utama dan
lebih penting daripada iman?” katanya seperti mengulang pertanyaan pertamanya.
“Aku tak tahu,” aku menjawabnya
dengan kata-kata yang sama.
Lalu ia memberiku minuman. Ia
seolah tahu bahwa tenggorokanku terasa menyempit, haus yang hampir membakar
rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih…
“Minumlah,“ katanya, “kau sangat membutuhkannya.” Lagi-lagi, ia tersenyum.
Aku pun segera meminumnya. Ada
dingin yang mengalir di tenggorokanku, mengalir menjadi damai di hatiku,
membebaskan sel-sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai
menghidupkan lagi sel-sel yang mulai mati di tubuhku. Aku merasakan kesegaran
yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka.
Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan-pelan, angin menerbangkan
helai-helai daun yang kering, rumput-rumput bersemi, bunga-bunga mekar-
wewangian membebaskan segala bentuk penderitaan.
Lalu kutatap lagi sosok lelaki
yang tampak agung itu: Muhammad. “Kebaikan,” katanya tiba-tiba, “melebihi
apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.”
Seketika, langit hening, bumi
hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan
tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan-pelan, ia melangkah
pergi, menjauh meninggalkanku.
“Apakah yang lebih besar daripada
iman?” bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?
Aku
menatap punggung Muhammad yang
menjauh… terus menjauh.
“Kebaikan? Barangkali inilah
kebaikan” kataku dalam hati, “budi pekerti yang dimiliki seseorang yang
membuatmu merasakan kebahagiaan yang membebaskan dank au takkan pernah rela
ditinggal pergi olehnya.”
Entah mengapa ada perasaan sedih
yang teramat dalam saat ia meninggalkanku di tempat itu sendirian. Aku
benar-benar tak rela melepasnya pergi… aku menatap punggungnyadan memanggilnya
kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh… menjelma sunyi,
meninggalkanku.
Dikutip dari novel Menatap
Punggung Muhammad karya Fahd Djibran, Penerbit Litera Pustaka (2010).
***
Dimensi waktu berputar kembali,
menuju di abad ke 6 Masehi. Di sebuah bukit gersang di sebelah kota Makkah.
Nampak kerumunan yang mulai saling berbisik, entah apa yang membuat mereka
tampak keheranan – tampak heboh, seakan baru saja ada keadaan yang menuntut
mereka melakukan sebuah perubahan besar.
Ada seseorang yang belum beranjak
dari berdirinya di atas batu, seseorang yang bersahaja, dengan cahaya teduh di
raut wajahnya. Ia nampak begitu tenang, begitu bijaksana. Semua bisikan dan
sudut mata mengarah padanya.
Tiba-tiba, menyeruak dari
belakang, ada suara lantang yang dari salah seorang yang hadir di siang itu,
“Sungguh, Muhammad, kami tidak mendustkan apa yang engkau, akan tetapi kami
mengingkari apa yang engkau bawa!”
Tampaknya, teriakkan itu
mengagetkan semua orang, termasuk si Pusat Perhatian. Siapa menyangka, teriakan
itu merupakan sebuah deklarasi yang kelak akan membawa dampak yang luar biasa
bagi kota lembah di Saudi Arabia itu. Siapa akan mengira, teriakkan itu kelak
akan dirindukan. Bagaimana tidak, teriakkan itu adalah sebuah perlambang
keengganan manusia untuk berubah, tetap cenderung pada kebiasaan dan budaya
yang menipunya sekaligus juga sebagai perlambang adanya pengakuan pada
kepribadian agung sosok manusia yang menyerunya. Terpujinya akhlak takkan
pernah tertolak.
***
Imam An-Nawawi, salah seorang
ulama terkemuka yang menjadi rujukan ummat di berbagai tempat, mengumpulkan
hadits-hadits pilihan yang menjadi pilar-pilar penting dalam agama Islam.
Tentu, kita semua tahu, ialah Hadist Arbain, hadits yang empat puluh (meski
jumlahnya tidak tepat empat puluh) sebagai sebuah pengingat bagi ummat dalam
memperdalam pokok-pokok agama ini. Dalam hadits yang kedua, dalam sebuah hadits
yang cukup panjang diceritakan tentang kehadiran orang asing (yang kelak
diketahui bahwa ia adalah Malaikat Jibril) yang mengajarkan kepada para
shahabat mengenai 3 unsur pokok dalam beragama. Pertama, sebagai landasan
pengakuan ialah Rukun Islam yang lima. Kedua, sebagai sebuah landasan
kepercayaan, ialah Rukun Iman. Sayangnya, yang ketiga ini tak terlalu
‘terkenal’ dibandingkan rukun yang sebelumnya, seolah kita kini terlupa: Ihsan.
Dalam hadits tersebut, Ihsan
didefinisikan sebagai “beribadahlah padaNya seolah-olah engkau melihat Allah,
jika tidak, maka yakinilah bahwa Allah melihatmu.” Iniliah puncak dari
kehidupan beragama, sebuah bentuk kematangan kualitas dalam berbuat sesuatu:
kebaikan. Tentunya, prinsip ‘puncak’ ini tidak bermaksud meninggalkan fondasi
yang ada di bawahnya. Islam merupakan bentuk deklarasi, penegakkan identitas,
lalu diikuti dengan iman yang melingkupi keyakinan. Ihsan, merupakan sebuah
pembuktian, parameter kualitas, dan bentuk kesempurnaan seseorang dalam
menjalani agama ini. Ber-ihsan, menebarkan kebaikan sebagai sebuah keniscayaan
ber-Islam dan ber-Iman.
Sayangnya, kebaikan ini seakan
menjadi ‘barang yang hilang’ dari ummat ini. Jika diibaratkan dalam cuplikan
novel di atas tadi, kondisi ummat ini tak jauh berbeda dari si Aku. Bumi ini
gersang, bumi ini panas dan gerah, kering kerontang. Panas mentari yang
membakar, hawa kering yang menembus tulang, tenggorokan yang menyempit
memperparah kesendirian dan kesedihan yang dialami seseorang. Pertanyaan-nya:
apa yang kemudian kita lakukan? Dakwah tercipta, tentunya dengan membawa Islam
sebagai solusi bagi semua. Sayangnya pada tataran kenyataannya, apa yang
berlaku tak selalu begitu. Begitu banyak godaan, begitu banyak alas an yang
membuat semua itu terhambat: kita melupakan akhlak, melupakan kebaikan.
Satu hal yang menjadi ironi
adalah tentang jumlah ummat Islam dan kekuatan membangun peradaban di atas muka
bumi. Dulu, rasulullah mengawali syiar Islam dari seorang diri. Ia adalah
satu-satunya orang yang memeluk agama Islam di atas muka bumi. Sedangkan jumlah
ummat Islam yang melimpah telah ada kini. Sayangnya dari begitu besarnya jumlah
yang dimiliki, belum mampu untuk menjadi pelopor peradaban di bumi ini.
Pertanyaan-nya adalah bagaimana sebenarnya kualitas kita sebenarnya? Kita harus
mengaca diri, baik kita sebagai ummat maupun kita sebagai du’at, sebagai da’i.
Syahadat yang terucap, hingga iman di dalam hati, harus kita pahami sebagai
sesuatu yang selalu menuntut bukti. Ya bukti, kebermanfaatan kita sebagai
khalifah yang memakmurkan bumi.
Kebermanfaatan inilah sebuah
bentuk nyata dari ihsan yang didasari oleh iman dan islam. Salah satu contoh
yang patut kita pelajari adalah mengenai salah satu pembuktian iman. Rasulullah
pernah menyatakan bahwa iman diproyeksikan dalam spektrum amal yang sangat
luas, meskipun hanya berupa kontribusi di jalan dengan menyingkirkan duri.
Walaupun hanya sebuah tindakan sederhana, menyingkirkan duri adalah sebuah
I’tikad kebaikan yang mengandung nilai universalitas amal yang luar biasa.
Buktinya, ketika menyingkirkan duri atau batu di jalan, apakah kita pernah
memikirkan siapa yang akan terselamatkan nantinya? Apakah kita menyingkirkannya
dengan harapan yang selamat adalah orang yang kaya atau miskin, yang tua atau
yang muda, atau bahkan agamanya apa pun tidak perlu kita pikirkan, yang
terpenting bagi kita adalah saat kita berpeluang, maka kebermanfaatan itu harus
kita wujudkan. Ini layaknya bentuk dari dakwah kita, kewajiban kita adalah
menebarkan kebaikan, akan tetapi kepada hati siapa benih kebaikan itu tertaut
dan tumbuh menjadi hidayah maka biarlah Allah yang mengaturnya, itu bukan
wewenang kita.
Kebermanfaatan adalah prinsip
utama dalam berdakwah. Implementasi nyata dari kebermanfaatan ini menuntut kita
merangkai kembali pemahaman kita tentang dakwah: bahwa dakwah tidak hanya
mengajak, tetapi juga memberi. Prinsip ini hendaknya kita pahami sebagai
sesuatu yang tak terpisah dari kebutuhan ummat. Kali ini, kita juga harus
introspeksi. Berapa banyak alasan yang kita buat untuk menghindarkan diri dari
memberi. Kadang terlalu banyak logika dan pembenaran yang menghambat kita untuk
beramal. Betapa ada, orang-orang diantara kita yang justru mencari jalan lain,
sesaat ketika akan bertemu mad’u-nya hanya karena takut dianggap asing, karena
baju koko yang kita pakai, atau kopiah yang terlanjur kita kenakan. Betapa
banyak saudari-saudari kita yang memilih untuk untuk memalingkan muka, bukan
karena semata-mata ingin menjaga pandangan, tetapi karena perasaan enggan melihat
realita yang sebenarnya: bahwa ummat membutuhkan kita, menanti karya-karya
kita. Atau bahkan, dengan pembenaran iman, justru kita korbankan kesempatan
kita untuk memberi, menebar kebaikan.
Semangat memberi ini, yang
semakin lama semakin luntur dari perjuangan dakwah kita, berganti dengan
semangat mencaci, berprasangka, tanpa tahu yang sebenarnya apa yang dinantikan
ummat, objek dakwah kita, sekuntum kebaikan. Ketika mereka hanya butuh
peringatan dan pemahaman, kita kutuk keras mereka dengan teriakkan dan
slogan-slogan penuh kebencian, dengan alasan mereka sudah tak terselamatkan,
mereka sudah jauh dalam keingkaran. Hal ini hanya akan menyisakan luka dalam
hati, takkan benar-benar dapat berarti dan mengubah perilaku yang terjadi.
Ketika mereka butuh persaudaraan, kita beri mereka dengan salam. Sayangnya,
sering kita gagalkan salam kita hanya dengan alasan takut dakwah kita tertolak
di awal masa. Ketika mereka menengadahkan tangan, kita beri mereka dengan
potensi harta, yang sayangnya sering kita gagalkan dengan prasangka:
jangan-jangan akan ia gunakan untuk mabuk-mabukan? Bahkan, ketika ia hanya
membutuhkan ajakan, ajakan sebagai sebuah pertanda dianggap sejajar sebagai
manusia, seringkali kita nafikkan dengan alasan “maaf, sepertinya dia belum
fasenya, takutnya ia belum paham”.
Kita, semua, harus berubah.
Pemahaman Islam yang kamil (sempurna), harus diikuti dengan pemahaman Islam
yang juga sebagai agama yang syamil (menyeluruh). Menyeluruh tidak hanya dari
segi bidangnya, tetapi juga dari segi lingkup penerapannya, yakni identitas
(Islam), keyakinan (iman), serta peran kebermanfaatan menebarkan kebaikan
(Ihsan).
Jika parsialnya pemahaman kita
dalam berdakwah dan mensyiarkan agama kita tetap dibiarkan, maka bukan tidak
mungkin pandangan-pandangan terhadap Islam (yang jelas telah dijamin
kesempurnaanya oleh Allah ini) semakin jauh dari potensinya untuk menjadi pelopor
peradaban, bukan karena persoalan ajaran, tetapi karena perilaku ummatnya yang
justru menjauhi kebaikan. Kebaikan, dalam lingkup kebermanfaatan, adalah bagian
yang hilang dari dakwah kita yang menunggu untuk kita temukan. Tentu, kita bisa
beralasan semua ini butuh waktu, tapi jangan pernah salahkan ummat yang tak
sabar lagi menunggu. Menunggu terpujinya akhlak, yang takkan pernah mampu
tertolak. Mari, kita belajar dari nabi kita, yang telah menjadi orang
terpercaya jauh sebelum menyampaikan risalahnya. Pada akhirnya (semoga hal ini
tak benar-benar terjadi nanti) jangan sampai terlontar kata-kata dari
orang-orang di sekitar kita:
“Wahai para da’i, kami
mendustakanmu karena akhlakmu. Tapi Sungguh kami tak mengingkari yang kau bawa,
yaitu Islam ini, sebagai sebaik-baik agama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi