13 November 2011 at 20:12
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)
"Teman, kita semua tahu
begitu banyak persimpangan yang harus kita lalui. Sebelum akhirnya nanti, kita
kan temukan apa yang kita cari. Kita semua tahu, ketika kita telah mengazzamkan
diri di jalan ini, setiap pilihan adalah rangkaian Sandiwara Langit yang hanya
akan kita raba-raba, dan akan terkuak bagian akhirnya di ujung laga."
Ini adalah tahun keenam,
terhitung dari tetesan air mata yang mengawali masa pencarian. Aku benar-benar
sadar, kisah ini tidak hanya berkaitan dengan diriku semata. Semua ini tentang
teman-teman, malaikat tak bersayap yang meneguhkan diri untuk tetap berjuang
diantara gemulai ketidaksempurnaan.
Semakin jauh kita berjalan,
sering kita merasa terjebak dalam setiap 'kebetulan yang menyenangkan'. Bertemu
secara tiba-tiba, berjumpa di waktu yang tidak disangka-sangka. Merasa tak
mengenal, walau akhirnya kita bersama mengayuh ini perahu, ini kapal. Kita
semua tahu, kita berangkat dari dermaga yang berbeda, lalu berlabuh, dengan
sedikit keluh, lalu terdampar di ujung pulau yang jauh -sangat jauh- yang kita
sendiri tak mengenal sungguh.Ada kalanya kita tergoda untuk mengumpat, mengutuk
keadaan yang teramat berat. Tapi kita sadar, kita bukan orang pertama yang
harus menanggung beban ini tanpa arahan. Kita bukan pula orang terakhir yang tidak
tahu lagi kemana perjuangan ini harus diwariskan. Kita semua benar-benar paham,
kita hanya-lah makhluk perantara yang akan terus berkarya. Meski kita semua
tahu, perjalan ini layaknya yang di kata "ujungnya jauh, pangkalnya belum
tiba."
Satu waktu, saat bersama tentu,
kita kadang ingin mengakhiri langkah ini, dan memilih berjalan sendiri-sendiri.
Saat bersama, terlalu banyak kesalahan terakumulasi, dan terlalu banyak
pemakluman yang sering mengorbankan idealisme pribadi. Tapi kita tersadar, kita
hanya-lah makhluk perantara, yang mencoba mempertemukan potensi yang kita
miliki dalam bingkai amal jama'i. Tentu, kita tahu, gelegar kebermanfaatan
agama ini takkan pernah tersiar jika kita teriakkan seorang diri. Kita sadar,
kita makhluk perantara, yang terus mencoba saling melengkapi diantara ketidak
sempurnaan dan kealpaan kita yang terus saja masih terjadi.
Teman, tak jarang "riak yang
kecil menggoyang perahu kita", mencoba seberapa kuat kita bertahan. Kita
sadar, perahu yang kita naiki begitu rapuh, dan beberapa kali serpih-serpih
bagian kapal telah terkikis terjatuh. Kadang kita berpikir, mungkin bukan
karena deburan ombak, atau hempasan riak, yang akan membuat kita tenggelam.
Tetapi rapuhnya kapal, terlalu penuhnya muatan yang akan mengancam perjalanan kita
ke depan. Tapi kita semua tahu, kita hanyalah makhluk perantara, yang hanya
terus diminta untuk menjadi penopang bendera perjuangan yang telah lama
dikibarkan. Kita sadar, kita hanya makhluk perantara, yang kadang dituntut
menjadi bagian kapal yang hilang, atau menjadi bara yang merah menyala, yang
memastikan bahtera ini tetap bergerak ke tujuan akhirnya.
Di tengah perjalanan, ada kalanya kita kecewa
pada nahkoda. Kita tahu, ia yang sering memaksa kita untuk bergerak taat, yang
meminta kita berbagi tempat. Kita tahu, ia pun merasa berat, ketika harus
pastikan setiap penumpang dapat tempat. Ada kalanya ia, memaksa kita untuk
berbuat yang tidak kita tahu apa yang kelak nantinya kita dapat. Kadang kita
berpikir ia hanya memerintah, dan tak peduli akibat. Ia buat kita semakin
tertekan, dan kadang tak peduli dengan semua yang kita rasakan. Namun kita
sadar, kita hanya makhluk perantara. Kita memilih bersama, karena Allah semata.
Tentu kita takkan biarkan diri untuk tak lagi bersama, hanya karena manusia. Kita
hanya makhluk perantara, yang memilih berjuang bersama bukan karena manusia,
tentu jika akhirnya nanti kita harus pergi, itu semua kembali karena Allah
ta'ala.
Kini, saat kita hampir putus asa
dengan semua yang menerpa, kita bersusah-sungguh untuk tetap jujur dengan iman
kita. Menguji keyakinan kita, pada janji Tuhan yang kadang lewatkan begitu
saja. Kadang kita mengeluhkan manusia, pada manusia yang sama, dan melupakan
Dzat Penciptanya. Tak jarang kita meratapi kenyataan, yang hanya menunggu untuk
kita ikhtiarkan semata. Di ujung gelap ini kadang kita tergoda untuk berhenti,
dan mengakhiri perjalanan menanjak yang kita daki. Namun kita teringat, bahwa
kita hanya makhluk perantara. Kita tahu bahwa kejayaan Islam akan tetap
tercipta, dengan atau tanpa kita. Kita mengingat lagi, bukanlah agama ini yang
butuh kita, tapi kitalah yang membutuhkannya.
Kita benar-benar sadar, bahwa kita hanya makhluk perantara, yang hanya
bertugas untuk tetap berjuang dan memperbaiki keadaan, dan kelak menjadi pandu
peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi