Rabu, 27 Agustus 2014

Para Perantara

13 November 2011 at 20:12
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

"Teman, kita semua tahu begitu banyak persimpangan yang harus kita lalui. Sebelum akhirnya nanti, kita kan temukan apa yang kita cari. Kita semua tahu, ketika kita telah mengazzamkan diri di jalan ini, setiap pilihan adalah rangkaian Sandiwara Langit yang hanya akan kita raba-raba, dan akan terkuak bagian akhirnya di ujung laga."

Ini adalah tahun keenam, terhitung dari tetesan air mata yang mengawali masa pencarian. Aku benar-benar sadar, kisah ini tidak hanya berkaitan dengan diriku semata. Semua ini tentang teman-teman, malaikat tak bersayap yang meneguhkan diri untuk tetap berjuang diantara gemulai ketidaksempurnaan.

Semakin jauh kita berjalan, sering kita merasa terjebak dalam setiap 'kebetulan yang menyenangkan'. Bertemu secara tiba-tiba, berjumpa di waktu yang tidak disangka-sangka. Merasa tak mengenal, walau akhirnya kita bersama mengayuh ini perahu, ini kapal. Kita semua tahu, kita berangkat dari dermaga yang berbeda, lalu berlabuh, dengan sedikit keluh, lalu terdampar di ujung pulau yang jauh -sangat jauh- yang kita sendiri tak mengenal sungguh.Ada kalanya kita tergoda untuk mengumpat, mengutuk keadaan yang teramat berat. Tapi kita sadar, kita bukan orang pertama yang harus menanggung beban ini tanpa arahan. Kita bukan pula orang terakhir yang tidak tahu lagi kemana perjuangan ini harus diwariskan. Kita semua benar-benar paham, kita hanya-lah makhluk perantara yang akan terus berkarya. Meski kita semua tahu, perjalan ini layaknya yang di kata "ujungnya jauh, pangkalnya belum tiba."

Satu waktu, saat bersama tentu, kita kadang ingin mengakhiri langkah ini, dan memilih berjalan sendiri-sendiri. Saat bersama, terlalu banyak kesalahan terakumulasi, dan terlalu banyak pemakluman yang sering mengorbankan idealisme pribadi. Tapi kita tersadar, kita hanya-lah makhluk perantara, yang mencoba mempertemukan potensi yang kita miliki dalam bingkai amal jama'i. Tentu, kita tahu, gelegar kebermanfaatan agama ini takkan pernah tersiar jika kita teriakkan seorang diri. Kita sadar, kita makhluk perantara, yang terus mencoba saling melengkapi diantara ketidak sempurnaan dan kealpaan kita yang terus saja masih terjadi.

Teman, tak jarang "riak yang kecil menggoyang perahu kita", mencoba seberapa kuat kita bertahan. Kita sadar, perahu yang kita naiki begitu rapuh, dan beberapa kali serpih-serpih bagian kapal telah terkikis terjatuh. Kadang kita berpikir, mungkin bukan karena deburan ombak, atau hempasan riak, yang akan membuat kita tenggelam. Tetapi rapuhnya kapal, terlalu penuhnya muatan yang akan mengancam perjalanan kita ke depan. Tapi kita semua tahu, kita hanyalah makhluk perantara, yang hanya terus diminta untuk menjadi penopang bendera perjuangan yang telah lama dikibarkan. Kita sadar, kita hanya makhluk perantara, yang kadang dituntut menjadi bagian kapal yang hilang, atau menjadi bara yang merah menyala, yang memastikan bahtera ini tetap bergerak ke tujuan akhirnya.


 Di tengah perjalanan, ada kalanya kita kecewa pada nahkoda. Kita tahu, ia yang sering memaksa kita untuk bergerak taat, yang meminta kita berbagi tempat. Kita tahu, ia pun merasa berat, ketika harus pastikan setiap penumpang dapat tempat. Ada kalanya ia, memaksa kita untuk berbuat yang tidak kita tahu apa yang kelak nantinya kita dapat. Kadang kita berpikir ia hanya memerintah, dan tak peduli akibat. Ia buat kita semakin tertekan, dan kadang tak peduli dengan semua yang kita rasakan. Namun kita sadar, kita hanya makhluk perantara. Kita memilih bersama, karena Allah semata. Tentu kita takkan biarkan diri untuk tak lagi bersama, hanya karena manusia. Kita hanya makhluk perantara, yang memilih berjuang bersama bukan karena manusia, tentu jika akhirnya nanti kita harus pergi, itu semua kembali karena Allah ta'ala.

Kini, saat kita hampir putus asa dengan semua yang menerpa, kita bersusah-sungguh untuk tetap jujur dengan iman kita. Menguji keyakinan kita, pada janji Tuhan yang kadang lewatkan begitu saja. Kadang kita mengeluhkan manusia, pada manusia yang sama, dan melupakan Dzat Penciptanya. Tak jarang kita meratapi kenyataan, yang hanya menunggu untuk kita ikhtiarkan semata. Di ujung gelap ini kadang kita tergoda untuk berhenti, dan mengakhiri perjalanan menanjak yang kita daki. Namun kita teringat, bahwa kita hanya makhluk perantara. Kita tahu bahwa kejayaan Islam akan tetap tercipta, dengan atau tanpa kita. Kita mengingat lagi, bukanlah agama ini yang butuh kita, tapi kitalah yang membutuhkannya.  Kita benar-benar sadar, bahwa kita hanya makhluk perantara, yang hanya bertugas untuk tetap berjuang dan memperbaiki keadaan, dan kelak menjadi pandu peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi