[Epos Perjalanan Cinta]
Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi.
(@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)
Hidup layaknya mengembara di
tengah hutan belantara. Kadang ada pertanda alam yang tersaji lengkap di
sekitar kita, namun karena terlena maka semua itu seolah sirna. Kita tersesat
dalam hidup yang melelahkan, kehilangan arah dan tujuan. Tak ada habisnya jarak
yang kita tempuhi, maka jurang yang curam atau binatang yang buas lah yang kita
temui.
Hidup ibarat mengarungi samudera
luas tanpa batas. Yang menyisakan ratusan pilihan yang hadir bersamaan, seolah
setiap kejadian senantiasa ada untuk menguji pemahaman medan. Tidak pernah kita
sadari bisa jadi betapa jauh kita telah mengingkari rute awal yang kita
tentukan sebelum bahtera kita naiki. Maka cukuplah hempasan gelombang yang
datang dengan kejam, atau terjebak dalam jeratan palung yang teramat dalam, yang
membuat sekali lagi kita berpikir kemanakah kita akan menuju, dan dari mana
kita berawal.
Perjalanan hidup manusia adalah
sebuah epos yang senantiasa hadir penuh kebijaksanaan. Karena kita yakini bahwa
cintalah yang akan memandu kita menjalani kehidupan ini. Maka pemahaman kita
tentang cinta menjadi mutlak adanya. Bukan terjebak dalam hegemoni dan
romantisme diri. Karena cinta bukan dilihat dari indahnya gegap gempitanya,
tetapi bagaimana prosesnya mampu melahirkan seorang pejuang untuk bangkit
mengambil peran. Bahwa cinta tak sekedar menuntun seorang hamba asyik khusyuk
dalam mahligainya, tetapi bagaimana ia menghargai dirinya lewat persembahan
yang terbaik untuk TuhanNya. Bahwa cinta adalah kata kerja, begitu salah
seorang saudara kita berkata.
Maka pertama kali, cinta harus
meneguhkan kita pada tujuan perjalanan. Inilah pokok pertamanya. Bukanlah cinta
jika membuat kita justru terjebak dalam tempurung kesibukan tanpa makna.
Bukanlah cinta jika membuat kita justru nyaman dalam euforia amal namun miskin substansinya.
Karena cinta memperjelas asas perbuatan kita, capaian apa yang kita kejar dari
sebuah kerangka amal yang tercipta. Karena cinta adalah masalah orientasi, visi
yang menjadi tujuan segenap pikiran, perasaan, dan fisik ini. Bahwa setiap diri
ini tak cukup jika hanya ikut bersama dengan sekumpulan manusia tanpa paham
kemana arah pergerakan. Bahwa cintalah yang akan memandu langkah penuh
kesetiaan.
Maka untuk yang kedua, cintalah
yang akan memahamkan pada kita tentang tangga-tangga yang harus kita daki.
Bahwa setiap perjalanan adalah proses yang memiliki karakteristik khas dan
ciri. Setiap perjalanan yang telah ditentukan tujuannya senantiasa memiliki
tahapan guna mencapainya. Dan setiap ciri senantiasa membutuhkan pemahaman,
kapasitas, fungsi, dan kompetensi nya sendiri-sendiri. Cintalah yang
mengajarkan pada kita bahwa kesetiaan kita pada tujuan akan diuji dengan
ketelatenan kita melewati satu demi satu anak tangga. Di mana takkan ada anak
tangga yang bisa kita loncati, kecuali jika nanti kita terkilir atau terjatuh
hingga terpaksa harus langkah diulangi. Cintalah yang mengajarkan pada kita,
bahwa kesetiaan pada tujuan takkan cukup jika tidak dibarengi dengan kepekaan
diri membaca situasi. Bahwa cinta yang membuat kita tidak terdistorsi oleh
keadaan, namun juga tak pula menjadi serba kaku dan terasing oleh zaman. Bahwa
dengan cinta kita akan menjadi selalu kompatibel mengikuti setiap arah
perputaran roda zaman, namun tak membuat kita kehilangan tujuan.
Maka untuk yang ketiga, cintalah
yang akan memaksa kita mengambil peran, tak banyak mengeluh, dan terus berjuang
mengoptimalkan setiap potensi dan kesempatan. Bahwa cinta membuat kita
senantiasa bergairah dengan kerangka amal, mendayagunakan setiap kemampuan
untuk menggerakkan diri mencapai tujuan, serta senantiasa sibuk dengan
produktivitas dan kebijaksanaan. Bukanlah cinta jika membuat kita berpangku
tangan, meratapi nasib diri dan dirundung kesedihan. Sepahit apapun keadaan,
selalu ada cinta yang senantiasa membuat kita mencari celah untuk beramal. Namun
cinta juga tak membuat kita buta dan berkeras hati. Cintalah yang mengajarkan
kita untuk senantiasa mengevaluasi diri, seberapa efektif dan efisienkah
strategi yang kita jalani. Cinta juga yang membuat kita senantiasa memastikan
bahwa setiap amal ini akan memenuhi kebutuhan zaman, dan mengarahkan kita pada
tujuan. Cinta pula yang membimbing kita mampu secara bijak membedakan mana
tujuan, mana tahapan, dan mana sarana yang kita gunakan.
Inilah cinta, sesuatu yang
mengajarkan pada kita tentang al Ghoyyah, tujuan asasi atas sebuah keadaan
ideal yang sama-sama kita rindukan. Sebuah tujuan yang menjadi parameter
keberhasilan, suatu tujuan akhir yang dinantikan.
Inilah cinta, sesuatu yang
mengajarkan kita al ahdaf, sebuah tahapan yang harus kita lalui guna melangkah
ke tujuan. Sebuah capaian operasional dan langkah-langkah sistematik sebagai
sebuah keniscayaan proses dan lambang sunnatullah akan adanya perkembangan
alamiah dari sebuah perjalanan.
Inilah cinta, sesuatu yang
mengajarkan kita al wasilah, cara / sarana prasarana yang menjadi kendaraan
paling optimal untuk menempuh perjalanan. Sebuah bentuk pertanggungjawaban kita
melalui kemampuan kita memetakan kebutuhan, menentukan alat paling efektif dan
efisien, serta kefokusan mengambil peran.
Maka jadilah cinta sebagai
penuntun dalam perjalanan panjang. Tak akan relakan diri ini kehilangan
orientasi, tak jua ingkari adanya proses yang mesti kita jalani, hingga
pastikan kita menggunakan kendaraan paling sesuai untuk menempuh pengembaraan
panjang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi