Jumat, 15 Agustus 2014

Serial Generasi Cinta #7

[Epos Perjalanan Cinta]

Oleh: Isnan Hidayat, S.Psi. (@isnanhi /FB: hidayatisnan@yahoo.com)

Hidup layaknya mengembara di tengah hutan belantara. Kadang ada pertanda alam yang tersaji lengkap di sekitar kita, namun karena terlena maka semua itu seolah sirna. Kita tersesat dalam hidup yang melelahkan, kehilangan arah dan tujuan. Tak ada habisnya jarak yang kita tempuhi, maka jurang yang curam atau binatang yang buas lah yang kita temui.

Hidup ibarat mengarungi samudera luas tanpa batas. Yang menyisakan ratusan pilihan yang hadir bersamaan, seolah setiap kejadian senantiasa ada untuk menguji pemahaman medan. Tidak pernah kita sadari bisa jadi betapa jauh kita telah mengingkari rute awal yang kita tentukan sebelum bahtera kita naiki. Maka cukuplah hempasan gelombang yang datang dengan kejam, atau terjebak dalam jeratan palung yang teramat dalam, yang membuat sekali lagi kita berpikir kemanakah kita akan menuju, dan dari mana kita berawal.

Perjalanan hidup manusia adalah sebuah epos yang senantiasa hadir penuh kebijaksanaan. Karena kita yakini bahwa cintalah yang akan memandu kita menjalani kehidupan ini. Maka pemahaman kita tentang cinta menjadi mutlak adanya. Bukan terjebak dalam hegemoni dan romantisme diri. Karena cinta bukan dilihat dari indahnya gegap gempitanya, tetapi bagaimana prosesnya mampu melahirkan seorang pejuang untuk bangkit mengambil peran. Bahwa cinta tak sekedar menuntun seorang hamba asyik khusyuk dalam mahligainya, tetapi bagaimana ia menghargai dirinya lewat persembahan yang terbaik untuk TuhanNya. Bahwa cinta adalah kata kerja, begitu salah seorang saudara kita berkata.

Maka pertama kali, cinta harus meneguhkan kita pada tujuan perjalanan. Inilah pokok pertamanya. Bukanlah cinta jika membuat kita justru terjebak dalam tempurung kesibukan tanpa makna. Bukanlah cinta jika membuat kita justru nyaman dalam euforia amal namun miskin substansinya. Karena cinta memperjelas asas perbuatan kita, capaian apa yang kita kejar dari sebuah kerangka amal yang tercipta. Karena cinta adalah masalah orientasi, visi yang menjadi tujuan segenap pikiran, perasaan, dan fisik ini. Bahwa setiap diri ini tak cukup jika hanya ikut bersama dengan sekumpulan manusia tanpa paham kemana arah pergerakan. Bahwa cintalah yang akan memandu langkah penuh kesetiaan.

Maka untuk yang kedua, cintalah yang akan memahamkan pada kita tentang tangga-tangga yang harus kita daki. Bahwa setiap perjalanan adalah proses yang memiliki karakteristik khas dan ciri. Setiap perjalanan yang telah ditentukan tujuannya senantiasa memiliki tahapan guna mencapainya. Dan setiap ciri senantiasa membutuhkan pemahaman, kapasitas, fungsi, dan kompetensi nya sendiri-sendiri. Cintalah yang mengajarkan pada kita bahwa kesetiaan kita pada tujuan akan diuji dengan ketelatenan kita melewati satu demi satu anak tangga. Di mana takkan ada anak tangga yang bisa kita loncati, kecuali jika nanti kita terkilir atau terjatuh hingga terpaksa harus langkah diulangi. Cintalah yang mengajarkan pada kita, bahwa kesetiaan pada tujuan takkan cukup jika tidak dibarengi dengan kepekaan diri membaca situasi. Bahwa cinta yang membuat kita tidak terdistorsi oleh keadaan, namun juga tak pula menjadi serba kaku dan terasing oleh zaman. Bahwa dengan cinta kita akan menjadi selalu kompatibel mengikuti setiap arah perputaran roda zaman, namun tak membuat kita kehilangan tujuan.

Maka untuk yang ketiga, cintalah yang akan memaksa kita mengambil peran, tak banyak mengeluh, dan terus berjuang mengoptimalkan setiap potensi dan kesempatan. Bahwa cinta membuat kita senantiasa bergairah dengan kerangka amal, mendayagunakan setiap kemampuan untuk menggerakkan diri mencapai tujuan, serta senantiasa sibuk dengan produktivitas dan kebijaksanaan. Bukanlah cinta jika membuat kita berpangku tangan, meratapi nasib diri dan dirundung kesedihan. Sepahit apapun keadaan, selalu ada cinta yang senantiasa membuat kita mencari celah untuk beramal. Namun cinta juga tak membuat kita buta dan berkeras hati. Cintalah yang mengajarkan kita untuk senantiasa mengevaluasi diri, seberapa efektif dan efisienkah strategi yang kita jalani. Cinta juga yang membuat kita senantiasa memastikan bahwa setiap amal ini akan memenuhi kebutuhan zaman, dan mengarahkan kita pada tujuan. Cinta pula yang membimbing kita mampu secara bijak membedakan mana tujuan, mana tahapan, dan mana sarana yang kita gunakan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan pada kita tentang al Ghoyyah, tujuan asasi atas sebuah keadaan ideal yang sama-sama kita rindukan. Sebuah tujuan yang menjadi parameter keberhasilan, suatu tujuan akhir yang dinantikan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan kita al ahdaf, sebuah tahapan yang harus kita lalui guna melangkah ke tujuan. Sebuah capaian operasional dan langkah-langkah sistematik sebagai sebuah keniscayaan proses dan lambang sunnatullah akan adanya perkembangan alamiah dari sebuah perjalanan.

Inilah cinta, sesuatu yang mengajarkan kita al wasilah, cara / sarana prasarana yang menjadi kendaraan paling optimal untuk menempuh perjalanan. Sebuah bentuk pertanggungjawaban kita melalui kemampuan kita memetakan kebutuhan, menentukan alat paling efektif dan efisien, serta kefokusan mengambil peran.

Maka jadilah cinta sebagai penuntun dalam perjalanan panjang. Tak akan relakan diri ini kehilangan orientasi, tak jua ingkari adanya proses yang mesti kita jalani, hingga pastikan kita menggunakan kendaraan paling sesuai untuk menempuh pengembaraan panjang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi