Senin, 10 November 2014

SERIAL GENERASI CINTA #9


[Menjangkau Lubuk Hati & Mengelola Rasa]
Oleh : Isnan Hidayat, S.Psi
@isnanhi / hidayatisnan@yahoo.com


Bayangkan sebuah kondisi ketika kita masuk ke dalam sebuah rumah yang baru pertama kali kita kunjungi. Mata kita tak henti memandang kian kemari, berbinar dan bersinar mengikuti segenap hal baru yang kita temui: ruangan demi ruangan yang nampak asri, berbagai perabotan yang mengisi, hingga ke detail artistik interior yang menyejukkan hati. Kita terpukau dengan segala hal yang ada, mengagumi segenap penjuru dengan segala keindahannya. Mungkin beberapa rumah sudah pernah kita tinggali, puluhan rumah telah kita inapi, ratusan rumah telah kita kunjungi, dan ribuan rumah yang sebelumnya pernah kita pandangi. Namun seolah semua memori tentang rumah-rumah yang telah ada tak lagi jelas kita ingat. Semua sirna oleh gemerlap cahaya dari rumah baru yang sedang kita masuki kali ini. Inilah sebuah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang pertama: segala hal menjadi lebih indah bukan semata karena nilai objektifnya, namun karena terlanjur muncul satu penilaian tentang rumah ini, hingga setiap hal yang baru siap menjadi pengganti bagi pengalaman yang telah kemarin kita lalui. “Aku cukup terluka jika mengingat pengalaman yang lalu, saatnya memulai dengan sesuatu hal yang baru.”

Cinta ini begitu menggugah, memantik daya jelajah. Seolah menantang diri kita untuk semakin dalam memasuki berbagai ruangan yang awalnya hanya dari jauh kita pandangi. Tak puas kita dengarkan cerita dari pemilik rumah, bahkan semakin lama dia bercerita semakin tumbuh rasa penasaran, yang semakin lama menjelma menjadi satu kekuatan, satu keberanian untuk melangkah ke ruangan yang selanjutnya. Adrenalin kita terlanjur membanjiri pembuluh darah, segenap rasa resah tercipta ketika setiap detail informasi yang ada tak jua menemukan bukti nyata dari mata kita. Satu demi satu bilik kita singkap, satu demi satu ruangan kita datangi dan tak jua kepuasan hinggap. Inilah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang kedua: keberanian terlanjur memimpin diri kita di depan, jauh meninggalkan sikap kehati-hatian, ketelitian, dan kewaspadaan. “Aku ingin masuk lebih jauh lagi, begitu banyak hal yang ternyata belum kuketahui.”

Dorongan yang begitu kuat untuk menjelajahi segenap ruangan membawa kita hingga di detail-detail paling dalam. Tentang ukuran kamar mandi, tentang saluran air dan sanitasi, hingga kebun belakang rumah yang disana terdapat beberapa tanaman bonsai dan pot-pot kecil yang belum terisi. Kita masih terus mencari berbagai informasi dan kenyataan, hingga ketika kita telah menemukan berbagai hal paling berharga dan pribadi sekalipun, itu semua tetap kita nilai sebagai satu dari sekian banyak potongan semata. Tak ada bedanya perhiasan di brankas dengan satu gagang sapu yang ada di teras. Tak benar ada bedanya lukisan citra diri yang indah di kamar utama, dengan gantungan baju berwarna kuning pucat di loteng lantai dua. Inilah sebuah anugerah sekaligus kutukan cinta yang berikutnya: ketika hasrat untuk menjelajah telah berkuasa, semua hal jadi kehilangan nilai karena dinilai dengan satu label semata. “Ini hal baru bagiku, berbeda dengan yang telah kulihat pada pengalamanku di masa lalu.”

Entah sampai kapan hasrat kita akan terpuaskan, mungkin jika setiap jengkal debu yang menempel di tembok telah mampu kita sentuh dan kita petakan. Rasa penasaran yang menggelora, keberanian yang kehilangan sikap waspada, hingga hasrat menggebu untuk berkuasa, membuat kita kehilangan banyak makna utama dari kehadiran kita. Bahwa setiap informasi yang kita terima juga diikuti dengan tanggung jawab untuk menjaganya. Bahwa setiap keberanian juga diikuti dengan pertanggungjawaban jika kelak timbulkan luka. Bahwa setiap serpih keinginan kita untuk menjelajahi ruangan-ruangan yang ada akan menuntut kita untuk mampu mengelola berbagai hal yang ada di dalamnya. Kita tak bisa pergi begitu saja sesaat setelah kita mengetahui berbagai informasi yang ada di dalam rumah ini. Kita tak boleh tinggal diam setelah kita berani memasuki segenap bilik yang tersembunyi. Kita tak pantas untuk membiarkan rumah ini tanpa pengelolaan yang rapi setelah hasrat menjelajah kita  telah dituruti.

Bahwa memasuki rumah ini layaknya kita masuk ke dalam relung hati. Jika telah begitu dalam kita berkeliling dan menjelajahi, maka sudah sepatutnya pula kita akhirnya menguatkan diri untuk menerima apa adanya segala hal yang ada di dalamnya dan memahaminya dengan lapang dada. Jika telah begitu luas daya jelajah kita kita turuti, maka semakin besar pula tanggung jawab kita untuk mengelolanya dengan rapi, mendokumentasikan setiap permasalahan yang kita temui, lalu kita ciptakan solusi. Bahwa memasuki sebuah rumah, layaknya memasuki bilik-bilik hati. Semakin banyak hal yang kita ketahui, semakin besar pula tanggung jawab kita untuk peduli.

Bahwa layaknya seorang pandu peradaban ketika memilih untuk membimbing sebuah generasi, maka pahit getir keadaan yang ia temui adalah teman akrab yang menguji kesetiaan kita dan teguh terhadap janji. Bahwa ketika kita memilih untuk meningkatkan daya jangkau pada segenap lubuk hati maka di situ pula kita punya tanggung jawab untuk mengelola rasa beserta berbagai dinamika yang ada di dalamnya. Karena jika benar ini semua tentang cinta, maka ia akan merenggut semua yang kita punya, mengkonversi pengetahuan, pengalaman, sikap, dan keberanian menjadi sebuah karya nyata untuk mengerti, memahami, mengelola, dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi