[Menjangkau
Lubuk Hati & Mengelola Rasa]
Oleh
: Isnan Hidayat, S.Psi
@isnanhi
/ hidayatisnan@yahoo.com
Bayangkan sebuah kondisi ketika kita masuk ke dalam sebuah rumah yang
baru pertama kali kita kunjungi. Mata kita tak henti memandang kian kemari,
berbinar dan bersinar mengikuti segenap hal baru yang kita temui: ruangan demi
ruangan yang nampak asri, berbagai perabotan yang mengisi, hingga ke detail
artistik interior yang menyejukkan hati. Kita terpukau dengan segala hal yang ada,
mengagumi segenap penjuru dengan segala keindahannya. Mungkin beberapa rumah
sudah pernah kita tinggali, puluhan rumah telah kita inapi, ratusan rumah telah
kita kunjungi, dan ribuan rumah yang sebelumnya pernah
kita pandangi. Namun seolah semua memori tentang rumah-rumah yang telah ada tak
lagi jelas kita ingat. Semua sirna oleh gemerlap cahaya dari rumah baru yang
sedang kita masuki kali ini. Inilah sebuah sebuah anugerah sekaligus kutukan
cinta yang pertama: segala hal menjadi lebih indah bukan semata karena nilai
objektifnya, namun karena terlanjur muncul satu penilaian tentang rumah ini,
hingga setiap hal yang baru siap menjadi pengganti bagi pengalaman yang telah
kemarin kita lalui. “Aku cukup terluka jika mengingat pengalaman yang lalu,
saatnya memulai dengan sesuatu hal yang baru.”
Cinta ini begitu menggugah, memantik daya jelajah. Seolah menantang diri
kita untuk semakin dalam memasuki berbagai ruangan yang awalnya hanya dari jauh
kita pandangi. Tak puas kita dengarkan cerita dari pemilik rumah, bahkan
semakin lama dia bercerita semakin tumbuh rasa penasaran, yang semakin lama
menjelma menjadi satu kekuatan, satu keberanian untuk melangkah ke ruangan yang
selanjutnya. Adrenalin kita terlanjur membanjiri pembuluh darah, segenap rasa
resah tercipta ketika setiap detail informasi yang ada tak jua menemukan bukti
nyata dari mata kita. Satu demi satu bilik kita singkap, satu demi satu ruangan
kita datangi dan tak jua kepuasan hinggap. Inilah sebuah anugerah sekaligus
kutukan cinta yang kedua: keberanian terlanjur memimpin diri kita di depan,
jauh meninggalkan sikap kehati-hatian, ketelitian, dan kewaspadaan. “Aku ingin
masuk lebih jauh lagi, begitu banyak hal yang ternyata belum kuketahui.”
Dorongan yang begitu kuat untuk menjelajahi segenap ruangan membawa kita
hingga di detail-detail paling dalam. Tentang ukuran kamar mandi, tentang
saluran air dan sanitasi, hingga kebun belakang rumah yang disana terdapat
beberapa tanaman bonsai dan pot-pot kecil yang belum terisi. Kita masih terus
mencari berbagai informasi dan kenyataan, hingga ketika kita telah menemukan
berbagai hal paling berharga dan pribadi sekalipun, itu semua tetap kita nilai
sebagai satu dari sekian banyak potongan semata. Tak ada bedanya perhiasan di
brankas dengan satu gagang sapu yang ada di teras. Tak benar ada bedanya
lukisan citra diri yang indah di kamar utama, dengan gantungan baju berwarna
kuning pucat di loteng lantai dua. Inilah sebuah anugerah sekaligus kutukan
cinta yang berikutnya: ketika hasrat untuk menjelajah telah berkuasa, semua hal
jadi kehilangan nilai karena dinilai dengan satu label semata. “Ini hal baru
bagiku, berbeda dengan yang telah kulihat pada pengalamanku di masa lalu.”
Entah sampai kapan hasrat kita akan terpuaskan, mungkin jika setiap
jengkal debu yang menempel di tembok telah mampu kita sentuh dan kita petakan.
Rasa penasaran yang menggelora, keberanian yang kehilangan sikap waspada,
hingga hasrat menggebu untuk berkuasa, membuat kita kehilangan banyak makna
utama dari kehadiran kita. Bahwa setiap informasi yang kita terima juga diikuti
dengan tanggung jawab untuk menjaganya. Bahwa setiap keberanian juga diikuti
dengan pertanggungjawaban jika kelak timbulkan luka. Bahwa setiap serpih
keinginan kita untuk menjelajahi ruangan-ruangan yang ada akan menuntut kita untuk
mampu mengelola berbagai hal yang ada di dalamnya. Kita tak bisa pergi begitu
saja sesaat setelah kita mengetahui berbagai informasi yang ada di dalam rumah
ini. Kita tak boleh tinggal diam setelah kita berani memasuki segenap bilik
yang tersembunyi. Kita tak pantas untuk membiarkan rumah ini tanpa pengelolaan
yang rapi setelah hasrat menjelajah kita
telah dituruti.
Bahwa memasuki rumah ini layaknya kita masuk ke dalam relung hati. Jika
telah begitu dalam kita berkeliling dan menjelajahi, maka sudah sepatutnya pula
kita akhirnya menguatkan diri untuk menerima apa adanya segala hal yang ada di
dalamnya dan memahaminya dengan lapang dada. Jika telah begitu luas daya
jelajah kita kita turuti, maka semakin besar pula tanggung jawab kita untuk
mengelolanya dengan rapi, mendokumentasikan setiap permasalahan yang kita
temui, lalu kita ciptakan solusi. Bahwa memasuki sebuah rumah, layaknya
memasuki bilik-bilik hati. Semakin banyak hal yang kita ketahui, semakin besar
pula tanggung jawab kita untuk peduli.
Bahwa layaknya seorang pandu peradaban ketika memilih untuk membimbing
sebuah generasi, maka pahit getir keadaan yang ia temui adalah teman akrab yang
menguji kesetiaan kita dan teguh terhadap janji. Bahwa ketika kita memilih
untuk meningkatkan daya jangkau pada segenap lubuk hati maka di situ pula kita
punya tanggung jawab untuk mengelola rasa beserta berbagai dinamika yang ada di
dalamnya. Karena jika benar ini semua tentang cinta, maka ia akan merenggut
semua yang kita punya, mengkonversi pengetahuan, pengalaman, sikap, dan
keberanian menjadi sebuah karya nyata untuk mengerti, memahami, mengelola, dan
memperbaiki kekurangan-kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi