[Tentang
Bagaimana Mereka Menyentuh Hati Kami]
Banyak orang yang bisa menuntut seseorang untuk berbuat ini itu
Tapi tidak ada yang bisa menuntut hati untuk mencintai apa dan siapa
Saya akan memulai tulisan ini
dengan pengertian kader. Kader menurut KBBI adalah orang yang diharapkan akan
memegang peran yang penting dalam sebuah organisasi. Sedangkan pengaderan
adalah sebuah proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi
kader. Kaderisasi sering dipandang sebagai hal yang paling penting dalam sebuah
organisasi. Kaderisasi memegang peran untuk regenerasi, untuk menumbuhkan
tunas-tunas baru demi keberlanjutan sebuah organisasi.
Dan ilmu maupun praktek
kaderisasi yang bagi saya paling ‘terasa’ adalah masa-masa SMA, ketika saya
masih menyandang status sebagai siswi SMAN 1 Yogyakarta. Praktek kaderisasi
yang saya mengalaminya; mulai dari kami (saya dan teman-teman) di’kader’ hingga
masanya kami yang mengader. Seperti halnya di organisasi lain, kami pun disini
melalui banyak step atau fase dalam pengaderan.
Namun ada satu hal yang mungkin
dalam proses pengaderan, organisasi lain tidak memilikinya, atau memiliki namun
belum sebaik apa yang saya rasakan
ketika berada di SMA. Ada satu hal yang bagi saya sangat melekat tentang
bagaimana senior-senior terbaik saya dulu mengader. Ada satu rahasia yang mungkin mereka (senior-senior saya) tak
menyadarinya,tapi saya merasakannya. Senior-senior terhebat saya itu berhasil
mengader hati kami (mungkin bahasa mangader hati kurang tepat, tapi begitulah,
susah juga mendeskripsikan rasa yang memang tidak terdeskripsi hanya dengan
sebaris kalimat).
Bagaimana caranya hingga mereka
dapat mengader hati kami? Tentu bukan perkara mudah. Hal itu saya rasakan
ketika berada di kelas XI, dimana tongkat estafet berganti, dimana saya dan
teman-teman lah yang akhirnya mengambil peran dalam mengader itu.
Di SMA1, kami sering berhubungan,
berkomunikasi, ataupun bercanda dengan senior tanpa 'senioritas'. Pada masa
awal mengenakan seragam abu-abu, kami bertemu mas dan mbak pendamping, kemudian
di “Gravitasi” (meminjam kata adek kelas) bertemu dengan mas dan mbak pansus,
dan setelah itupun bertemu dengan mas dan mbak mentor (Di Teladan kami jarang
gunakan istilah kakak-kakak). Tidak hanya pertemuan dalam forum, pun ketika
dalam organisasi antara Pengurus Inti dan Staff pun terjalin rasa persaudaraan yang
erat. Sampai bahkan ketika di sienom saya (ekskul) kami sering berkata “Kita
mungkin jadi alumni Teladan, tapi nggak ada alumni Sigma. Sigma 33 ya Sigma 33,
bukan alumni Sigma 33”. Begitulah mungkin sedikit gambaran bagaimana rasa
persaudaraan mengikat kami.
Ya,tugas para senior bukan untuk
memarahi junior, mengatur dengan otoriter, ataupun memberi tugas-tugas sulit,
melainkan membimbing dengan hati, mengenalkan kami akan makna sebuah
keteladanandan kebersamaan (ukhuwah).
(Kali ini saya mengambil contoh
pansus dan pendamping). Para pansus dan pendamping itu tentu tidak langsung
datang tiba-tiba, ‘pedekate’ dengan junior, jadi senior yang manis-manis supaya
junior dekat dengannya, tidak. Ada prosedurnya, ada prosesnya. Dan tentu mereka
bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang pilihan. Orang-orang pilihan
karena mereka nantinya akan mendampingi generasi-generasi terbaik pilihan pula,
yaitu adik-adik kami.
Setelah melalui proses pelobian,
meyakinkan akan komitmen, mereka harus pula mengikuti berbagai rangkaian
training atau pelatihan yang berlangsung hingga kurang lebih tiga bulan
lamanya. Rela mengorbankan waktu sepulang sekolah, bahkan sedikit mengambil
waktu rapat untuk membekali diri dengan ilmu demi sang adik yang bahkan mereka
belum tahu siapa. Ya, semua itu mereka lakukan jauh sebelum adik-adik kami
datang, bahkan mungkin calon adik-adik kami masih duduk manis dibangku SMPnya.
Ilmu tentang bagaimana menyentuh
hati, bagaimana mengelola forum, ilmu tentang syahadatain,aqidah, akhlak,
ukhuwah, sejarah islam dan dakwah di
sekolah, hingga hubungan ikhwan akhwat. Untuk apa semua itu? Agarmereka ketika
bertemu dengan adik-adik nanti tidak ‘kosong’. Agar mereka ketika bertemu
adik-adik nanti siap menjadi ‘sumur’ yang siap diambil airnya oleh adik-adik.
Agar mereka ketika bertemu dengan adik-adik nanti menjadi sosok yang lembut,
tangguh, dan berwawasan luas, sehingga adik-adik kami tidak sungkan bila ingin
berceloteh tentang apa saja, bahkan mencurahkan isi hatinya. Dan tentu saja,
mereka dibekali dengan slogan sekolah kami, 6S (senyum, salam, sapa,sopan,
santun, dan sederhana). Sehingga ketika adik-adik menemui seniornya,selalu ada
senyum dan raut ramah menyapa, yang menghadirkan kerinduan untuk bertemu
kembali dalam forum maupun perjua\mpaan informal lainnya.
Dari kerinduan itulah maka muncul
cinta. Cinta yang tersebab oleh kuatnya hati mengikat. Meski tak jarang setelah
beberapa pekan berlalu, adik-adik dalam lingkaran mereka berkurang. Ada yang
harus izin karena mengikuti latihan rutin sienom ini, sienom itu, les ini, les
itu, dan sebagainya. Tapi tak mengapa, bagi mereka kuantitas bukan yang utama
meski termasuk dalam perhitungan parameter. Mereka tak pernah memaksa dengan
tuntutan, mereka menasehati dengan sepenuh hati, mereka mengingatkan dengan
senyuman.
Maka setelah beberapa pekan,
terlihatlah sesiapa yang sungguh-sungguh. Terlihatlah sesiapa yang begitu kuat
ikatan hatinya, yang begitu rindu untuk bertemu dengan lingkaran-lingkaran yang
terlingkup sayap malaikat. Setiap pekan bertemu, bercerita, dan mengambil
hikmah dari setiap kejadian. Setiap pekan mereka membimbing, mereka menasehati,
mereka membersamai. Tak jarang karena kemurahan hati mas dan mbaknya, adik-adik
pun mendapat traktiran, meski hanya semangkuk mie ayam sambil bercengkerama
hangat. Begitulah para pendamping, mendampingi,dan memberi arti…

Maka dari kedekatan yang berbuah
rindu, dari rindu yang menyebabkan cinta, ukhuwah itub ukan hanya sebagai
teori, tapi lebih pada praktek yang sedang dijalani. Begitulah mereka, tak
cukup ‘mengajak’ lewat lisan. Tapi mereka juga ‘mengajak’ dengan halus, dengan
keteladanan yang mereka ajarkan.
Maka meski telah tiga tahun
berlalu semenjak saya pertama kali mengenal Teladan, perjumpaan dengan
senior-senior terhebat saya itu tidak pernah terlupakan. Maka meski telah tiga
tahun berlalu, tak jarang kami berkirim sms sekedar mengatakan betapa rindunya
kami.
Barisan kalimat ini ditulis
ditengah kesibukan saya menyeka bulir bening yang jatuh dari pelupuk mata.
Tulisan ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, yang kini mungkin akan
dihadapkan dengan fase kaderisasi di kampus. Tulisan ini menjadi pengingat bagi
saya,bahwa banyak sekali hal-hal yang saya dapat di Teladan, dan itu tak pernah
tertelan waktu. Tulisan ini menjadi pengingat bagi saya, bahwa meski sudah
menjadi alumni Teladan, keteladanan itu harus tetap ada, harus tetap kita bawa
di bumi manapun kita berpijak.
Solo, 15 Agustus 2014.
Khoirunisa Amrullah
Tld-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi