Oleh
: Isnan Hidayat, S.Psi
@isnanhi
/ hidayatisnan@yahoo.com
Ada kalanya kegelisahan itu tak mau menunggu, tak mau pedulikan waktu.
Kadang ia datang saat kita benar-benar tak siap, kita terkesiap oleh jutaan pertanyaan
yang muncul sekaligus. Membuat kita tergagap dan kehilangan argumen yang
biasanya selalu terhunus. Namun kadang ia pun tak segera tiba, ketika kita
telah mengokohkan diri dengan berbagai macam bekal yang telah kita pelajari
sebelumnya. Seolah tahu bahwa di punggung kita telah kita siapkan senjata
rahasia, dan ia tak mau takluk begitu saja. Ia selalu menemukan cara untuk
menggoda segenap hal yang telah bersemayam pada tempatnya. Kegelisahan adalah
teman setia bagi keyakinan, yang senantiasa hadir memenuhi rongga-rongga jiwa.
Ia menuntut, ia berteriak, ia berbisik, ia bercerita. Kegelisahan adalah sumber
ilmu pengetahuan yang paling jujur, sebagai sebuah alarm, sebagai sebuah pertanda. Bahwa manusia berhak untuk
bahagia, namun tak pernah sekalipun pantas untuk merasa selesai dan sempurna
dengan apa yang dimilikinya. Bahwa kegelisahan itu adalah bukti paling konkret
dari pernyataan cinta, saat kita merasa takut kehilangan, dan kita khawatir
akan pupusnya harapan.
Kegelisahan dapat bersumber dari beberapa hal. Ada kalanya ia muncul
sebagai respon atas tidak tercapainya standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Ia menjadi respon pertama yang muncul ketika kita merasa malu, tidak sesuai
norma, dan pengakuan kekalahan atas superego yang selama ini telah kita
percaya. Kegelisahan macam ini begitu menyakitkan ketika kita merasa tak mampu
menghormati diri sendiri, merasa menyesal atas segala hal yang terjadi, atau
bersumber dari jauhnya kenyataan dari ekspektasi. Ada kalanya kegelisahan juga
muncul atas ketidakberdayaan, ketika segenap potensi telah kita berikan
berujung dengan nestapa dan kekecewaan. Kegelisahan ini bersumber dari rasa
bersalah, yang bisa jadi terakumulasi menjadi perasaan gundah yang tak berujung
sudah. Perasaan ini bertumpu pada keyakinan diri yang awalnya terbangun dari
inventarisasi segenap kompetensi yang kita miliki, lalu melewati berbagai
proses yang secara logis telah kita atur secara runtut dan sistematis, dan
dengan percaya dirinya kita yakini bahwa hasil akan muncul sebagai bentuk kepantasan
diri. Kegelisahan begitu mendalam, ketika pada akhirnya kita temui hasil yang
jauh panggang dari api. Kegelisahan yang menyakitkan, ketika kita merasa
terjerembab dalam palung yang begitu dalam. Sebuah lubang gelap pengharapan,
yang sebenarnya menjadi konsekuensi logis saat kita membangun gunung keinginan:
kekecewaan.
Lalu mengapa kegelisahan menjadi penting saat kita bicara tentang cinta?
Adakah ia dapat menjadi satu tema yang relevan untuk membahas cinta?
Menurut saya, bahkan kegelisahan adalah tolok ukur paling nyata ketika
kita ingin melihat seberapa berkualitasnya cinta yang bersemayam di dalam dada.
Kegelisahan, dalam pandangan saya, adalah sebuah indikator penting dari
kualitas diri dan kualitas cinta yang kita miliki. Atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa seberapakah berkualitasnya cinta kita, dapat diukur dari
seberapa berkualitasnya kegelisahan kita. Hal ini perlu saya tekankan untuk
memperjelas zona abu-abu kegelisahan yang selama ini menjadi apologi, menjadi
kambing hitam bagi banyak orang yang menjustifikasi kegelisahannya sebagai satu
hal yang wajar jika tak pernah selesai, atau bahkan membuatnya jadi menghentika
produktivitas diri. Hal ini menjadi krusial, ketika banyak orang mulai
menjadikan kegelisahan sebagai sebuah tameng dirinya untuk terus ada dalam
labirin cinta yang tak ada ujungnya. Hal ini menjadi begitu penting untuk
dijelaskan, ketika satu demi satu korban berjatuhan: berawal dari jatuh cinta,
munculnya kegelisahan yang teramat dalam, dan berakhir dengan terombang-ambingnya
hidup dalam biduk kecil yang rapuh di tengah lautan mahadalam.
Dalam hal ini, kita patut untuk menyadari dengan benar apa yang
sebenarnya kita gelisahkan. Karena salah persepsi dalam melihat dan menilai apa
yang menjadi sumber dari kegelisahan akan berakibat fatal dalam hal seberapa
banyak energi yang kita berikan untuk menjawab kegelisahan. Kita patut mencari
tahu, bertanya pada diri, dan jujur mengakui, apa sumber utama dari kegelisahan
yang kita alami. Apakah kita gelisah karena tujuan kita terancam? Ataukah kita
gelisah karena tahapan yang telah kita tentukan tidak berlangsung seperti yang
kita harapkan? Ataukah jangan-jangan kegelisahan kita hanya bersumber dari
ketakutan kita akan hilangnya sarana dan prasarana yang selama ini menjadi
kendaraan kita menuju ke tujuan yang kita tentukan? Cinta memiliki tujuannya
yang mulia, yakni menciptakan kebahagiaan bagi mereka yang memperjuangkannya.
Cinta memiliki tahapan, yang bisa jadi akan terus kita sempurnakan dan
sesuaikan seiring perjalanan. Cinta juga memiliki sarana dan prasarananya, yang
memang wajib kita optimalkan, namun juga kadang kala harus kita lepas saat
dikhawatirkan akan datangnya malapetaka justru ketika kita pertahankan.
Kesetiaan dalam cinta itu bertingkat, dari kesetiaan terhadap tujuan, lalu
kepada tahapan, dan terakhir kepada sarana dan prasarana yang kita gunakan. Tak
patut tentunya, kegelisahan justru bersumber dari sesuatu yang tidak prioritas.
Kita patut menjaga diri, menjaga hati, dari menghabiskan energi untuk hal-hal
yang tidak pantas.
Oleh karena itu semua, tampaknya kita perlu membuat SOP bagi manajemen
kegelisahan. Saya termasuk seseorang yang tidak bersepakat dengan subjektivitas
mutlak dari perasaan. Ada kalanya saya merasa, anggapan sebagian orang yang
menyatakan bahwa perasaan itu sangat subjektif, adalah bentuk apologi dan
justifikasi atas keinginannya untuk dimengerti. Atau jika tidak karena itu,
pembenaran atas subjektifitas kegelisahan perasaannya muncul sebagai tameng
keengganannya untuk memahami kondisi orang lain. Hal ini didasarkan pada satu
fakta sederhana bahwa disaat kegelisahan sedang mendera kita cenderung untuk
menjadi selfish, egois, ingin menang
sendiri, sebagai bentuk manifes dari insecurity.
Akan tetapi jika masa kegelisahan telah berlalu, kita memilih bermain aman
dengan menuntut orang lain untuk menjadi tangguh, dan kita lupa bahwa ada
masa-masa dimana kita juga banyak mengeluh. Atau dengan kata lain, saya melihat
kegelisahan saat ini kehilangan makna utamanya sebagai pemicu perbaikan dan
pengembangan diri. Kegelisahan di masa-masa ini kehilangan energi utamanya
untuk menjadi alarm bagi adanya gap antara idealisme dan kenyataan yang
terjadi. Kegelisahan lebih banyak dimaknai sebagai sebuah pembenaran, atau
bentuk pemakluman, bagi ketidakmampuan kita untuk memenuhi standar perkembangan
diri.
Manajemen kegelisahan ini dapat dilakukan dengan beberapa tahap
sederhana. Pertama, manajemen ini berawal dari kemampuan kita mengecek dan
menkonfirmasi sumber utama dari kegelisahan. Kedua, kita atur diri kita untuk
melibatkan secara seimbang fungsi pemikiran, perasaan, perilaku, dan faktor
lingkungan sebagai sarana check and
balance bagi kegelisahan diri. Ketiga, kita mesti memastikan bahwa setiap
kegelisahan harus berakhir dengan sebuah action
plan yang konkret, nyata, dan tidak bergerak di ranah pikiran dan perasaan
semata. Keempat manajemen kegelisahan juga memastikan kita untuk
mendokumentasikan setiap bentuk kegelisahan dalam sebuah formula sukses tentang
bagaimana menghadapinya, hal ini berusaha untuk memastikan bahwa perkembangan
kegelisahan akan tercipta seiring dengan perkembangan kualitas diri kita.
Bagian kelima, yang terakhir, kita perlu melakukan benchmarking dengan cara
berbagi kiat sukses dan metode-metode jitu dalam menghadapi kegelisahan bersama
dengan orang lain. Hal ini penting dilakukan agar kita tidak mengulangi
kesalahan yang telah dilakukan orang lain dan orang lain pun dapat belajar dari
berbagai hal yang kita lakukan untuk menghadapi kegelisahan.
Hingga akhirnya jika kegelisahan itu hadir, kita telah mempersiapkan
diri. Ketika ia datang secara mendadak, kita mampu menyadari dengan benar bahwa
ada pelajaran yang nantinya akan kita dapati. Ketika ia menghilang saat kita
telah berjaga-jaga, kita justru akan mengundangnya sebagai sebuah bentuk
pertanggungjawaban atas sebuah proses optimalisasi potensi. Bahkan ketika
kegelisahan itu datang dalam serangan yang bertubi-tubi, saat kita jatuh cinta
dan benar-benar tak berdaya setelah kita kerahkan segenap jurus yang kita
miliki, kita pun masih bisa tetap sadar dan mampu membedakan mana yang disebut
cinta dan mana yang disebut rasa ingin memiliki. Karena kegelisahan tak perlu
diberikan pada hal-hal yang tidak pantas, atau pada hal-hal yang tidak
prioritas.
sumber: https://www.facebook.com/ksai.aluswah
sumber: https://www.facebook.com/ksai.aluswah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi