Kamis, 23 Oktober 2014

SERIAL GENERASI CINTA #8

[Kegelisahan Cinta]

Oleh : Isnan Hidayat, S.Psi
@isnanhi / hidayatisnan@yahoo.com

Ada kalanya kegelisahan itu tak mau menunggu, tak mau pedulikan waktu. Kadang ia datang saat kita benar-benar tak siap, kita terkesiap oleh jutaan pertanyaan yang muncul sekaligus. Membuat kita tergagap dan kehilangan argumen yang biasanya selalu terhunus. Namun kadang ia pun tak segera tiba, ketika kita telah mengokohkan diri dengan berbagai macam bekal yang telah kita pelajari sebelumnya. Seolah tahu bahwa di punggung kita telah kita siapkan senjata rahasia, dan ia tak mau takluk begitu saja. Ia selalu menemukan cara untuk menggoda segenap hal yang telah bersemayam pada tempatnya. Kegelisahan adalah teman setia bagi keyakinan, yang senantiasa hadir memenuhi rongga-rongga jiwa. Ia menuntut, ia berteriak, ia berbisik, ia bercerita. Kegelisahan adalah sumber ilmu pengetahuan yang paling jujur, sebagai sebuah alarm, sebagai sebuah pertanda. Bahwa manusia berhak untuk bahagia, namun tak pernah sekalipun pantas untuk merasa selesai dan sempurna dengan apa yang dimilikinya. Bahwa kegelisahan itu adalah bukti paling konkret dari pernyataan cinta, saat kita merasa takut kehilangan, dan kita khawatir akan pupusnya harapan.

Kegelisahan dapat bersumber dari beberapa hal. Ada kalanya ia muncul sebagai respon atas tidak tercapainya standar yang telah ditentukan sebelumnya. Ia menjadi respon pertama yang muncul ketika kita merasa malu, tidak sesuai norma, dan pengakuan kekalahan atas superego yang selama ini telah kita percaya. Kegelisahan macam ini begitu menyakitkan ketika kita merasa tak mampu menghormati diri sendiri, merasa menyesal atas segala hal yang terjadi, atau bersumber dari jauhnya kenyataan dari ekspektasi. Ada kalanya kegelisahan juga muncul atas ketidakberdayaan, ketika segenap potensi telah kita berikan berujung dengan nestapa dan kekecewaan. Kegelisahan ini bersumber dari rasa bersalah, yang bisa jadi terakumulasi menjadi perasaan gundah yang tak berujung sudah. Perasaan ini bertumpu pada keyakinan diri yang awalnya terbangun dari inventarisasi segenap kompetensi yang kita miliki, lalu melewati berbagai proses yang secara logis telah kita atur secara runtut dan sistematis, dan dengan percaya dirinya kita yakini bahwa hasil akan muncul sebagai bentuk kepantasan diri. Kegelisahan begitu mendalam, ketika pada akhirnya kita temui hasil yang jauh panggang dari api. Kegelisahan yang menyakitkan, ketika kita merasa terjerembab dalam palung yang begitu dalam. Sebuah lubang gelap pengharapan, yang sebenarnya menjadi konsekuensi logis saat kita membangun gunung keinginan: kekecewaan.

Lalu mengapa kegelisahan menjadi penting saat kita bicara tentang cinta? Adakah ia dapat menjadi satu tema yang relevan untuk membahas cinta?

Menurut saya, bahkan kegelisahan adalah tolok ukur paling nyata ketika kita ingin melihat seberapa berkualitasnya cinta yang bersemayam di dalam dada. Kegelisahan, dalam pandangan saya, adalah sebuah indikator penting dari kualitas diri dan kualitas cinta yang kita miliki. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seberapakah berkualitasnya cinta kita, dapat diukur dari seberapa berkualitasnya kegelisahan kita. Hal ini perlu saya tekankan untuk memperjelas zona abu-abu kegelisahan yang selama ini menjadi apologi, menjadi kambing hitam bagi banyak orang yang menjustifikasi kegelisahannya sebagai satu hal yang wajar jika tak pernah selesai, atau bahkan membuatnya jadi menghentika produktivitas diri. Hal ini menjadi krusial, ketika banyak orang mulai menjadikan kegelisahan sebagai sebuah tameng dirinya untuk terus ada dalam labirin cinta yang tak ada ujungnya. Hal ini menjadi begitu penting untuk dijelaskan, ketika satu demi satu korban berjatuhan: berawal dari jatuh cinta, munculnya kegelisahan yang teramat dalam, dan berakhir dengan terombang-ambingnya hidup dalam biduk kecil yang rapuh di tengah lautan mahadalam.

Dalam hal ini, kita patut untuk menyadari dengan benar apa yang sebenarnya kita gelisahkan. Karena salah persepsi dalam melihat dan menilai apa yang menjadi sumber dari kegelisahan akan berakibat fatal dalam hal seberapa banyak energi yang kita berikan untuk menjawab kegelisahan. Kita patut mencari tahu, bertanya pada diri, dan jujur mengakui, apa sumber utama dari kegelisahan yang kita alami. Apakah kita gelisah karena tujuan kita terancam? Ataukah kita gelisah karena tahapan yang telah kita tentukan tidak berlangsung seperti yang kita harapkan? Ataukah jangan-jangan kegelisahan kita hanya bersumber dari ketakutan kita akan hilangnya sarana dan prasarana yang selama ini menjadi kendaraan kita menuju ke tujuan yang kita tentukan? Cinta memiliki tujuannya yang mulia, yakni menciptakan kebahagiaan bagi mereka yang memperjuangkannya. Cinta memiliki tahapan, yang bisa jadi akan terus kita sempurnakan dan sesuaikan seiring perjalanan. Cinta juga memiliki sarana dan prasarananya, yang memang wajib kita optimalkan, namun juga kadang kala harus kita lepas saat dikhawatirkan akan datangnya malapetaka justru ketika kita pertahankan. Kesetiaan dalam cinta itu bertingkat, dari kesetiaan terhadap tujuan, lalu kepada tahapan, dan terakhir kepada sarana dan prasarana yang kita gunakan. Tak patut tentunya, kegelisahan justru bersumber dari sesuatu yang tidak prioritas. Kita patut menjaga diri, menjaga hati, dari menghabiskan energi untuk hal-hal yang tidak pantas.

Oleh karena itu semua, tampaknya kita perlu membuat SOP bagi manajemen kegelisahan. Saya termasuk seseorang yang tidak bersepakat dengan subjektivitas mutlak dari perasaan. Ada kalanya saya merasa, anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa perasaan itu sangat subjektif, adalah bentuk apologi dan justifikasi atas keinginannya untuk dimengerti. Atau jika tidak karena itu, pembenaran atas subjektifitas kegelisahan perasaannya muncul sebagai tameng keengganannya untuk memahami kondisi orang lain. Hal ini didasarkan pada satu fakta sederhana bahwa disaat kegelisahan sedang mendera kita cenderung untuk menjadi selfish, egois, ingin menang sendiri, sebagai bentuk manifes dari insecurity. Akan tetapi jika masa kegelisahan telah berlalu, kita memilih bermain aman dengan menuntut orang lain untuk menjadi tangguh, dan kita lupa bahwa ada masa-masa dimana kita juga banyak mengeluh. Atau dengan kata lain, saya melihat kegelisahan saat ini kehilangan makna utamanya sebagai pemicu perbaikan dan pengembangan diri. Kegelisahan di masa-masa ini kehilangan energi utamanya untuk menjadi alarm bagi adanya gap antara idealisme dan kenyataan yang terjadi. Kegelisahan lebih banyak dimaknai sebagai sebuah pembenaran, atau bentuk pemakluman, bagi ketidakmampuan kita untuk memenuhi standar perkembangan diri.


Manajemen kegelisahan ini dapat dilakukan dengan beberapa tahap sederhana. Pertama, manajemen ini berawal dari kemampuan kita mengecek dan menkonfirmasi sumber utama dari kegelisahan. Kedua, kita atur diri kita untuk melibatkan secara seimbang fungsi pemikiran, perasaan, perilaku, dan faktor lingkungan sebagai sarana check and balance bagi kegelisahan diri. Ketiga, kita mesti memastikan bahwa setiap kegelisahan harus berakhir dengan sebuah action plan yang konkret, nyata, dan tidak bergerak di ranah pikiran dan perasaan semata. Keempat manajemen kegelisahan juga memastikan kita untuk mendokumentasikan setiap bentuk kegelisahan dalam sebuah formula sukses tentang bagaimana menghadapinya, hal ini berusaha untuk memastikan bahwa perkembangan kegelisahan akan tercipta seiring dengan perkembangan kualitas diri kita. Bagian kelima, yang terakhir, kita perlu melakukan benchmarking  dengan cara berbagi kiat sukses dan metode-metode jitu dalam menghadapi kegelisahan bersama dengan orang lain. Hal ini penting dilakukan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan orang lain dan orang lain pun dapat belajar dari berbagai hal yang kita lakukan untuk menghadapi kegelisahan.


Hingga akhirnya jika kegelisahan itu hadir, kita telah mempersiapkan diri. Ketika ia datang secara mendadak, kita mampu menyadari dengan benar bahwa ada pelajaran yang nantinya akan kita dapati. Ketika ia menghilang saat kita telah berjaga-jaga, kita justru akan mengundangnya sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban atas sebuah proses optimalisasi potensi. Bahkan ketika kegelisahan itu datang dalam serangan yang bertubi-tubi, saat kita jatuh cinta dan benar-benar tak berdaya setelah kita kerahkan segenap jurus yang kita miliki, kita pun masih bisa tetap sadar dan mampu membedakan mana yang disebut cinta dan mana yang disebut rasa ingin memiliki. Karena kegelisahan tak perlu diberikan pada hal-hal yang tidak pantas, atau pada hal-hal yang tidak prioritas.



sumber: https://www.facebook.com/ksai.aluswah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi