Kamis, 30 Oktober 2014

Bukan Antonim


"Dek, yang akan kau temui setelah ini hanyalah kepahitan dan kepahitan. Namun ingat; Pahit dan Bahagia bukanlah lawan kata." 

***

Malam itu terasa sejuk seperti malam-malam Ramadhan lainnya. Barangkali berkat barokahnya yang menyeruak, hingga terasa di udara. Juga sebab kami ba'da berusaha mengisi ulang keimanan dengan bertarawih di masjid tercinta. wajah mereka berseri-seri, meski tetap tak cukup menutupi jejak-jejak rasa lelah. Melihatku berjalan ke arah mereka, senyum bermekaran di wajah dua lelaki itu. sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, aku pun membalas senyum itu.

Namun senyumku sedikit berbeda. Ianya memang sama-sama menaikkan dua sudut bibir serta melengkungkan alis. Namun berbeda citarasanya. Senyumku sedikit bercampur rasa tidak enak dan sesal. Mungkin seperti dark chocolate, lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Memang malam itu aku bertemu dengan dua orang yang mengingatkanku pada amanah yang belum sepenuhnya tuntas. Satunya Pengelola Mentoring sebelumku, satunya suksesorku.

Singkat cerita, pertemuan malam itu adalah sedikit dari banyak transfer materi yang wajib ditunaikan. Berbagi kesan, dari yang pokok hingga yang selintasan benak saja. Dan satu pernyataan itu, aku terus mengingatnya:

"Dek, yang akan kau temui setelah ini hanyalah kepahitan dan kepahitan. Namun ingat; Pahit dan Bahagia bukanlah lawan kata.
Kau bisa saja terus berkecimpung dengan kepahitan sambil berbahagia."

***


Bukan Antonim. Toh, makanan ultrapopuler bernama cokelat itu nikmat karena ada sejumput rasa pahit di dalamnya. Toh, hampir  tak ada yang lebih suka air gula hangat dibanding teh hangat. Ya, bukan antonim. Bukan lawan kata.

Tunggulah kebahagiaan itu muncul secara jujur, pada orang yang hatinya jujur. Bukan kebahagiaan semu, yang hadir sesaat sambil menipu, dihiasi keindahan duniawi yang cepat-cepat menguap layaknya, maaf, kentut yang bau; ditunggu dan diharap lama, saat tiba lega, 3 detik kemudian hilang dan terlupakan.

Biarkan kebahagiaan itu muncul dalam bentuknya yang paling nyata dan sempurna, saat kita terus berlelah-lelah dengan kebaikan, walau seringkali pahit. Sebab, keikhlasan tidak ditentukan dari berat atau ringannya rasa saat memberi. Kalau ikhlas hanya berarti menjalani ibadah dengan santai dan ringan, mengapa Allah SWT turunkan ayat itu?

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (al Baqarah : 216) 

Jangan pernah lupa, kita beribadah untuk mencari ridho-Nya. Dan Dia adalah yang mencipta dan menguasai segalanya; termasuk di dalamnya, kebahagiaan. Kebahagiaan yang nyata akan menyapa pada mereka yang mengejar ridho-Nya. Kebahagiaan tak akan setia pada mereka yang semata-mata mengejar kebahagiaan. Ah, sepertinya indah merenungi nasihat seorang Ulama: 
 
"Dunia ibarat bayangan. Kau kejar ia, dan takkan mampu engkau menggapainya. Berbaliklah, berpalinglah darinya, berjalanlah menjauhinya dan ia takkan punya pilihan, kecuali hanya satu: mengikutimu ke manapun engkau pergi."

***

Ditulis oleh: Haidar Muhammad T.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi