Jumat, 12 Desember 2014

"Tapi Bang.."

"Tapi Bang, bukankah masih banyak yang lebih baik dari pada aku? Tetapi, mengapa semua ini jatuh begitu saja kepadaku, seolah..."

"Dik, jangan engkau teruskan lagi. Dengarkan aku.

Berprasangka baiklah kepada Allah, bahwa mungkin saja Allah sedang memberikan ini semua, semata untuk menyiapkanmu, mendidikmu agar nantinya engkau akan menjadi pendekar yang tangguh. Pemimpin yang akan menebarkan keadilan di muka bumi.

Sampai saatnya tiba, hal terbaik yang harus dilakukan adalah melakukan sesuatu yang mestinya dikerjakan, apapun, semampunya."

"Semampunya ya... lalu seperti apa bang?"

"Dik, jika engkau mau, engkau bisa mencontoh Abdullah Azam dalam memberi gambaran tentang semampunya. "Aku berlari hingga aku pingsan, dan itulah batas kemampuanku berlari semampunya.", kini terserah engkau dik, sebab, kita hanya beroleh sesuai apa yang telah kita kerjakan . Bukan apa yang kita mampu akan kerjakan"

Sore itu sedang cerah, cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan pohon, angin bertiup sepoi-sepoi membuat bayangan daun seperti menari anggun, indah dipandang. Di tempat biasanya, kedua orang itu kembali bertemu, jarak mereka tak terpaut jauh. Yang lebih muda bernama Yudha sedang dibangku SMA kelas XI, lalu yang lebih tua bernama Dayat, tahun kedua jenjang perkuliahan.

Memang telah menjadi hal yang biasa (padahal itu adalah hal luar biasa), seorang yang telah lulus kerap kembali menengok sekolah yang ditinggalkannya. Bukan tidak ada pekerjaan lain, bukan tak ada teman bermain, dan bukan karena hanya mengisi waktu luang. Tetapi, mereka ingin bersyukur, bahwa dahulu ada sosok-sosok yang seperti dia perankan sekarang ini. Betapa akhirnya tahu, bagaimana dulu kepayahan perjuangan beliau-beliau.

“Tapi bang, aku masih tak yakin kepada diriku sendiri apakah mampu untuk memikul beban yang tak terbayang ini. Aku takut, sungguh aku takut, berada dalam kecemasan yang tak lagi kumengerti dari mana ia datang. Juga aku sedih, sebab diri ini masih banyak cela, Abang tahu sendiri aku ini mantan....... mantan........”

Bang Dayat lagi-lagi memotong pembicaraan dengan menepuk bahu. “Dik.....”, sambil juga menghela nafas, sepertinya juga berat mengatakan sesuatu. Belum Bang Dayat melanjutkan tiba-tiba Bang Somad, teman sebangku Bang Dayat semasih SMA datang.

“Boleh aku ikut bergabung? Sepertinya menarik pembicaraan.”

“Ya boleh, monggo,”, Bang Dayat mempersilahkan, dan Yudha hanya bergeser tak bicara.

“Dik, saya  tahu, engkau dahulu adalah orang yang seperti itu. Meski aku masih lebih lugu, polos, pemalu, dan pendiam, tetapi.....”

“Lah... apanya yang lugu, polos, pemalu, dan pendiam,” Bang Somad seperti tidak terima,” Kamu tidak ingat dulu kamu membuat rencana untuk menginap di sekolah, katanya hanya mau menulis kalimat-kalimat nasihat, tetapi berakhir penghancuran barang-barang milik sekolah. Beruntung pihak sekolah tidak tahu. Kamu juga tidak ingat, pernah membuat acara menginap malam, yang mungkin bisa dibilang pencucian otak, sebab hampir saja merusak sistem yang ada, dan memporak-prandakan situasi menjadi lebih kacau? Sesungguhnya aku yang lebih pantas dibilang lebih lugu, plos, pemalu, dan pendiam.”

“Polos apanya, kamu juga nggak ingat? Dulu sewaktu kita masih satu kelas, kita selalu memilih bangku paling belakang? Engkau membuat pembicaraan-pembicaraan yang mengerikan. Membahas strategi-strategi yang tidak lazim. Juga dulu ketika kita memilih duduk dipaling depan berhadapan dengan meja guru, engkau bertanya dengan ekspresi datar.”

                “Pak, kapan Pancasila akan diganti?”, Pak Guru pun terlihat mulai gelisah.

                “Kenapa harus diganti nak?”.

      “Pancasila sudah tidak bisa memberikan kebaikan bagi kita. Sesuatu yang sudah usang,              kenapa tidak diganti?”

“Lah kamu juga, kau tidak ingat ketika ujian harian Kewarganegaraan, bukannya menjawab dengan panjang lebar, malah membuat sesuatu. #BonusPertanyaan buat pak Guru#. Dan akhirnya malah menjadi pertanyaan esai untuk Mid Semester.”

Akhirnya mereka bertiga tertawa, mengenang masa-masa yang telah lalu. Sejurus kemudian Bang Dayat melanjutkan pembicaraan dengan serius.

“Dik... engkau lihat sendiri kan, bahwa kami pun juga mirip-mirip denganmu. Tetapi janganlah terlalu larut dalam kesedihan. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda,

Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi yang terbaik di masa Islam, jika mereka berilmu. (diriwayatkan oleh Bukhari 1238)

Di antara logam, engkau menyerupai emas dik. Setiap kemuning emas di masa jahiliyyah, akan menjadi kilauan emas di dalam Islam. Syaratnya: harus ditempah secara matang. Digodok di kawah candradimuka. Dilebur di tungku api. Di buang segala lapisan buruk yang menodai kemilaunya. Dan di dalam islam, caranya adalah dengan belajar dan menuntut ilmu. Serta mengamalkannya dengan segenap jiwa dan raga.”

Yudha mendengarkan dengan seksama. Ada secercah harapan dalam sorot matanya. Ada setitik semangat yang mulai tumbuh. Meski hari esok, masih banyak misteri, tetapi percakapan hari ini seolah menghapus kecemasan akan masa depan, dan menghilangkan kesedihan akan masa yang telah lalu. Masa lalu telah berlalu.


Jika memang dirinya adalah orang terbaik dalam masa jahiliyyah, misalnya panglima dalam pertawuran antar geng, maka ia pun dengan usaha keras akan menjadi panglima dalam Islam. Sebab menjadi panglima, meski memimpin geng, juga membutuhkan banyak skill dan kemampuan. Misalnya pengaturan strategi, ia harus memperhitungkan dengan matang kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Begitu pun dalam halnya berda’wah perlu sebuah strategi yang baik. Misalnya agar mudharat yang ada hilang, atau berkurang, bukan malah menghilangkan sebuah mudharat tetapi memunculkan mudharat yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi