"Tapi Bang, bukankah masih banyak yang lebih baik dari
pada aku? Tetapi, mengapa semua ini jatuh begitu saja kepadaku, seolah..."
"Dik, jangan engkau teruskan lagi. Dengarkan aku.
Berprasangka baiklah kepada Allah, bahwa mungkin saja Allah
sedang memberikan ini semua, semata untuk menyiapkanmu, mendidikmu agar
nantinya engkau akan menjadi pendekar yang tangguh. Pemimpin yang akan
menebarkan keadilan di muka bumi.
Sampai saatnya tiba, hal terbaik yang harus dilakukan adalah
melakukan sesuatu yang mestinya dikerjakan, apapun, semampunya."
"Semampunya ya... lalu seperti apa bang?"
"Dik, jika engkau mau, engkau bisa mencontoh Abdullah
Azam dalam memberi gambaran tentang semampunya. "Aku berlari hingga aku
pingsan, dan itulah batas kemampuanku berlari semampunya.", kini terserah
engkau dik, sebab, kita hanya beroleh sesuai apa yang telah kita kerjakan .
Bukan apa yang kita mampu akan
kerjakan"
Sore itu
sedang cerah, cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan pohon, angin
bertiup sepoi-sepoi membuat bayangan daun seperti menari anggun, indah
dipandang. Di tempat biasanya, kedua orang itu kembali bertemu, jarak mereka
tak terpaut jauh. Yang lebih muda bernama Yudha sedang dibangku SMA kelas XI,
lalu yang lebih tua bernama Dayat, tahun kedua jenjang perkuliahan.
Memang
telah menjadi hal yang biasa (padahal itu adalah hal luar biasa), seorang yang
telah lulus kerap kembali menengok sekolah yang ditinggalkannya. Bukan tidak
ada pekerjaan lain, bukan tak ada teman bermain, dan bukan karena hanya mengisi
waktu luang. Tetapi, mereka ingin bersyukur, bahwa dahulu ada sosok-sosok yang
seperti dia perankan sekarang ini. Betapa akhirnya tahu, bagaimana dulu
kepayahan perjuangan beliau-beliau.
“Tapi bang,
aku masih tak yakin kepada diriku sendiri apakah mampu untuk memikul beban yang
tak terbayang ini. Aku takut, sungguh aku takut, berada dalam kecemasan yang
tak lagi kumengerti dari mana ia datang. Juga aku sedih, sebab diri ini masih banyak
cela, Abang tahu sendiri aku ini mantan....... mantan........”
Bang Dayat
lagi-lagi memotong pembicaraan dengan menepuk bahu. “Dik.....”, sambil juga
menghela nafas, sepertinya juga berat mengatakan sesuatu. Belum Bang Dayat
melanjutkan tiba-tiba Bang Somad, teman sebangku Bang Dayat semasih SMA datang.
“Boleh aku
ikut bergabung? Sepertinya menarik pembicaraan.”
“Ya boleh, monggo,”, Bang Dayat mempersilahkan, dan
Yudha hanya bergeser tak bicara.
“Dik,
saya tahu, engkau dahulu adalah orang
yang seperti itu. Meski aku masih lebih lugu, polos, pemalu, dan pendiam,
tetapi.....”
“Lah...
apanya yang lugu, polos, pemalu, dan pendiam,” Bang Somad seperti tidak terima,”
Kamu tidak ingat dulu kamu membuat rencana untuk menginap di sekolah, katanya
hanya mau menulis kalimat-kalimat nasihat, tetapi berakhir penghancuran
barang-barang milik sekolah. Beruntung pihak sekolah tidak tahu. Kamu juga
tidak ingat, pernah membuat acara menginap malam, yang mungkin bisa dibilang
pencucian otak, sebab hampir saja merusak sistem yang ada, dan
memporak-prandakan situasi menjadi lebih kacau? Sesungguhnya aku yang lebih
pantas dibilang lebih lugu, plos, pemalu, dan pendiam.”
“Polos
apanya, kamu juga nggak ingat? Dulu sewaktu
kita masih satu kelas, kita selalu memilih bangku paling belakang? Engkau
membuat pembicaraan-pembicaraan yang mengerikan. Membahas strategi-strategi
yang tidak lazim. Juga dulu ketika kita memilih duduk dipaling depan berhadapan
dengan meja guru, engkau bertanya dengan ekspresi datar.”
“Pak, kapan Pancasila akan
diganti?”, Pak Guru pun terlihat mulai gelisah.
“Kenapa harus diganti nak?”.
“Pancasila
sudah tidak bisa memberikan kebaikan bagi kita. Sesuatu yang sudah usang, kenapa tidak diganti?”
“Lah kamu
juga, kau tidak ingat ketika ujian harian Kewarganegaraan, bukannya menjawab
dengan panjang lebar, malah membuat sesuatu. #BonusPertanyaan buat pak Guru#.
Dan akhirnya malah menjadi pertanyaan esai untuk Mid Semester.”
Akhirnya mereka
bertiga tertawa, mengenang masa-masa yang telah lalu. Sejurus kemudian Bang
Dayat melanjutkan pembicaraan dengan serius.
“Dik...
engkau lihat sendiri kan, bahwa kami pun juga mirip-mirip denganmu. Tetapi janganlah
terlalu larut dalam kesedihan. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda,
Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas
dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi yang terbaik di masa
Islam, jika mereka berilmu. (diriwayatkan oleh Bukhari 1238)
Di antara
logam, engkau menyerupai emas dik. Setiap kemuning emas di masa jahiliyyah,
akan menjadi kilauan emas di dalam Islam. Syaratnya: harus ditempah secara
matang. Digodok di kawah candradimuka. Dilebur
di tungku api. Di buang segala lapisan buruk yang menodai kemilaunya. Dan di
dalam islam, caranya adalah dengan belajar dan menuntut ilmu. Serta mengamalkannya
dengan segenap jiwa dan raga.”
Yudha
mendengarkan dengan seksama. Ada secercah harapan dalam sorot matanya. Ada setitik
semangat yang mulai tumbuh. Meski hari esok, masih banyak misteri, tetapi
percakapan hari ini seolah menghapus kecemasan akan masa depan, dan
menghilangkan kesedihan akan masa yang telah lalu. Masa lalu telah berlalu.
Jika memang
dirinya adalah orang terbaik dalam masa jahiliyyah, misalnya panglima dalam
pertawuran antar geng, maka ia pun dengan usaha keras akan menjadi panglima
dalam Islam. Sebab menjadi panglima, meski memimpin geng, juga membutuhkan banyak
skill dan kemampuan. Misalnya pengaturan strategi, ia harus memperhitungkan
dengan matang kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Begitu pun dalam
halnya berda’wah perlu sebuah strategi yang baik. Misalnya agar mudharat yang
ada hilang, atau berkurang, bukan malah menghilangkan sebuah mudharat tetapi
memunculkan mudharat yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi