Freedom!
Satu kata
yang terucap dari lisan seorang ustad Rahmat Abdullah Rahimahullah, saat ustad Hilmi mengumumkan ketua majelis
pertimbangan yang baru saja terdeklarasi di konferensi pers hasil musyawarah
majelis syuro’ sebuah organisasi politik.
Cinta!
Satu kata penuh
ekspresi yang didermakan seorang Rahmat Abdullah kepada adik semata wayangnya
dengan segenap ketulusan dan kepedulian yang teramat dalam.
Ramai orang bersuara
tentang Freedom – kebebasan, tanpa memindai hakikat kata benda
tersebut secara gamblang. Kebebasan seringkali diartikan sebagai sebuah aksi
pembelaan bagi mereka yang tengah haus akan hak dan gelora dispensasi yang tak
berbatas. Padahal bila kita mau menyelami lebih dalam akan sebuah makna
kebebebasan, nampaknya makna tersebut tidaklah identik
dengan pembelaan diri atau suatu golongan yang terkesan vulgar. Kebebasan
memiliki artian yang amat luas seperti kebebasan untuk berbicara, kebebasan
untuk berekspresi, dan kebebasan untuk mencetak kata benda tadi menjadi sebuah
kata kerja yang aktif menyeru pada misi kebaikan bersama.
Cinta adalah sebentuk
ekspresi yang bila didefinisikan oleh sejuta umat manusia pun bisa jadi
mempunyai makna serapan dan sasaran objek yang beragam. Namun ada satu hal yang
dapat kita seragamkan dari arti kata tersebut. Kita dapat bermufakat bahwasanya
cinta adalah bentuk ekspresi sebuah perasaan terhadap objek yang dituju dengan
menumpahkan segenap kemampuan yang ia miliki disertai teknik yang benar. Ahsanu ‘amala- amal yang terbaik. Bila cinta adalah
sebuah amal, maka sejatinya kita akan beramal dengan niat yang lurus dan cara
yang benar. Ibarat sebuah pohon yang gagah berdiri untuk menaungi berbagai
organisme di bawahnya, meski daun mulai berguguran dan kemarau tengah mencekam.
Ya, cinta juga memiliki makna yang sama, ia akan tulus menaungi objeknya meski
di luar sana banyak pedang musuh yang siap menghunus bahkan menerkam tanpa
ampun.
Tersanjungkah kita bila
pandai bercakap tentang bentuk kepedulian pada negeri kita Indonesia, namun
naluri enggan memendarkan hakikat kepedulian tersebut, kita enggan
mengikhtiarkan atau sekedar merenungkan. Banggakah kita bila mereka para pemuda
di luar sana yang kala siang ia belajar dan bekerja dalam perut lapar
karena shaum, atau berjuang dengan peluh keringatnya dan kala
malam yang hening ia disibukkan dengan rintihan istighfar dan kedalaman munajat
di rakaat-rakaatnya yang panjang. Sedang kita?
Ustad Rahmat Abdullah,
seorang penuntut ilmu yang dikenal dengan semangat dan kerendahan hatinya
pernah bertutur: “Di antara sekian jenis kemiskinan yang paling memprihatinkan
adalah kemiskinan azzam dan tekad”. Itulah sepenggal kalimat seorang pemuda
yang penuh dengan azzam dan kecintaan pada negeri dan keluarganya. Bila di luar
terdapat sekumpulan pemuda yang memiliki gelora semangat untuk bebakti pada
negeri dan agama maka ustad Rahmat pasti salah satu di antaranya. Bila di luar
sana terdapat sekumpulan pemuda yatim yang sungguh berbakti pada ibu dan
mencintai adiknya, maka ustad Rahmat pasti juga termasuk di dalamnya.
Sosok sederhana yang
alim tersebut lahir di Kinungan, Jakarta Selatan, pada tanggal 3 Juli 1953. Ia
dibesarkan di daerah yang kala itu masih masyhur dengan sebutan Betawi, bahkan
hingga sekarang. Namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya
berbau kolonial Belanda, sedang penjajah Belanda telah jelas membuat jutaan jiwa
pahlawan gugur dan warga Indonesia terpaksa terpasung dalam kemiskinan,
ketakutan bahkan hingga terpaan siksa yang membuat jutaan nyawa melayang. Ia
lebih bangga disebut sebagai orang Jayakarta (Jakarta) karena nama tersebut
adalah nama yang diberikan oleh seorang Pangeran Fatahillah kepada tanah
kelahirannya. Sebuah sikap yang lahir dari semangat anti kolonialisme dan
imperialisme, serta bentuk kebanggaan sebagai seoang penerus perjuangan
terhadap warisan pejuang Islam.
Kecintaannya pada
negeri, keluarga dan umat bahkan membuatnya merasa berat kala diminta melangkah
dari tanah kelahirannya meski untuk mendalami ilmu agama. Awalnya ia memang
merasa sangat bahagia mendapat tawaran melanjutkan pendidikan ke Mesir, bahkan
surat-surat, buku dan kitab-kitab yang dibutuhkan telah terkemas rapi. Namun
sebagai seorang muslim yang taat, ia memilih mengikuti hasil istikharahnya yang
telah meyakinkan hatinya untuk tetap berada di Indonesia untuk menyirami
tanah-tanah yang kala itu sangat haus dan tandus, untuk menyemaikan benih-benih
unggul agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh demi kejayaan negeri dan agamanya.
Di antara orang yang
sangat merasakan ketulusan ustadz Rahmat adalah adiknya sendiri, Ahmad Nawawy
nama lengkapnya. Kakaknya yang berjarak usia tiga tahun lebih tua benar-benar
mempunyai harapan dan tanggung jawab teramat dalam terhadap sang adiknya. Bang
Mamak, panggilan yang biasa diucapkan oleh Nawawy tidak hanya berperan sebagai
seorang kakak, bahkan selepas ayah mereka tiada, ustad Rahmatlah yang menggantikan
peran sebagai ayah dalam keluarga tersebut.
Kala itu Nawawy kecil
sudah terjerumus ke dalam jurang pergaulan yang tidak baik, mulai dari
kegemaaran sabung ayam hingga kebiasaan minum minuman keras. Ia bahkan keluar
SD sebelum sempat melanjutkan hingga tamat. “Saya ini bandel sejak kecil. Saya
terjerumus ke miras sejak tahun 1973, berapa tahun setelah keluar dari SD di
kelas empat. Terjerumusnya itu karena lingkungan, ingin nyoba-nyoba. Waktu itu
anggur kolesom. Setelah itu minum arak. Jarang yang kuat, bahkan teman-teman
itu suka dengan arak karena kadar alkoholnya 32 %, kalau anggur kolesom itu
hanya 12 %,” cerita Nawawy.
Dalam kekalutan dan
kepiluan kala menghadapi keadaan adiknya, dalam lingkup lingkungan dan keadaan
sadar yang mewajibkannya untuk terus menyampaikan pesan nabi, dalam kurun waktu
perjuangan yang tak singkat itu, ustad Rahmat tidak pernah henti-hentinya
berusaha, mengajak, menasihati dengan berbagai upaya, mencurahkan perhatian dan
kasih sayang seorang kakak yang bersahaja dan bersahabat kepada adiknya, meski
adiknya tak kunjung berubah ia tidak pernah bosan berjuang. Ia ingin agar
adiknya yang sangat dicintainya, benar-benar keluar dari semua jalan yang
sangat dibencinya itu.
Bentuk kepedulian ustad
Rahmat di antaranya adalah dengan mengajak Nawawy pergi berjalan-jalan bila
adiknya tersebut tengah mabuk, Nawawy sendiri tidak pernah bisa menolak. Ia
mengakui bahwa tak ada seorang pun yang bisa menghalangi polah buruknya
kecuali kakandanya, bahkan encingnya sendiri pun tak mempan. Tapi kalau sudah
didatangi ustadz Rahmat, sang adik seperti dihipnotis, seketika ia berhenti
dari ulahnya dan segera naik ke atas motor tuanya untuk beralih pergi dari
aktivitas maksiat tersebut. Ustadz Rahmat juga gemar membawanya ke Taman Ismail
Marzuki (TIM), itulah tempat pelarian yang disarankan kepada adiknya. “Di sini
ada drama, ada bela diri ada banyak lagi yang positif,” iming-iming positif
ustadz Rahmat selaku seorang kakak.
Kadang adiknya juga
dibawa ke Cikoko, yakni sebuah padepokan silat di Jakarta. Tidak berhenti
sampai di situ, agar benar terhindar dari kebiasaan buruk lingkungannya itu,
ustadz Rahmat memasukkannya ke kursus Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia),
waktu itu namanya PGI, dan bersyukur akhirnya Nawawy berhasil kursus beberapa
bulan. Di sinilah letak esistensi cinta danmujahadah yang
sungguh menyiratkan pembelajaran bagi kita para pemuda.
Suatu ketika Nawawy
pernah menampar anak tetangga dan menyebabkan kakak ipar anak tersebut marah.
Karena lebih dewasa dan tidak sanggup melawan, akhirnya nyaris, Nawawy
mengambil pisau dan segera siap menunggu di depan rumah anak tadi. Beruntung
kakaknya segera datang untuk mengajaknya pulang. Kakanya bernasihat, “Luka
tamparan kamu itu besok juga hilang tapi hatinya tidak bisa, meskipun kamu
minta maaf mungkin di depan dimaafin karena takut, tapi hati sangat membekas
lukanya. Itu minta amal kamu di akhirat, itupun kalau amalnya banyak.”
Rangkaian kata petuah tersebut rupanya teramat membekas bagi Nawawy.
Drama kehidupan rupanya
belum tamat, perjuangan masih bertahan untuk dikerjar. Ayah mereka mewariskan
usaha mesin cetak Hand-Press. Tetapi kemudian, ketika mereka ingin menjalankan
usaha tersebut, buku tentang sablon masih jarang, kalau ada pun berbahasa Inggris.
Karena keinginannya kuat untuk mencari nafkah melalui usaha sablon yang
diwariskan ayah mereka, maka dibelilah buku tersebut di Senen, Gunung Agung dan
akhirnya diterjemahkan oleh ustad Rahmat. Pada ujungnya usaha itu mereka
namakan ARACO (Abdullah, Rahmah/Rahmat/Rahmi Company). Kesibukan mulai mewarnai
hari Nawawy, meski tetap ustad Rahmat yang biasa mencari order. Dari situlah
kebiasaan buruk Nawawy mulai tersampungkan.
Benar, Nawawy mulai
lebih baik, namun pergulatan batin seorang kakak belum usai. Candrarasa cinta
ustad Rahmat kepada adiknya tak pernah pupus dan terhapus, meski perih
dan getir ia tetap mencintainya sepenuh hati, lebih dari sekadar rasa cinta
seorang kakak yang mencoba menyeduhkan perhatian, tetapi cinta seorang hamba
Allah yang mempunyai keyakinan, bahwa ingin agar adiknya merasakan manisnya
jalan yang sama dengan saudara kandungnya yakni jalan orang-orang beriman, oleh
karenanya berbagai upaya ia lakukan. Termasuk menuliskan surat khusus dengan
mesin ketik tuanya, melalui pos yang ia kirim dari Tebet.
Adikku, aku tak bisa mengatakan dengan pasti apa yang sedang kau
jalani saat ini, kau lebih tahu mata orang banyak sekarang tertuju ke sebuah
keluarga, keluarga kita yang pernah menjadi titik pandang orang banyak, tapi
terserahlah. Nawawy adikku, satu hal yang harus kau pahami kita hidup tak
sendirian di dunia ini, ada tata aturan yang mengikat yang bila dilanggar maka
akan terasa sekarang juga, baik berupa kerugian kehormatan, kesehatan, apalagi
yang bernilai. Marilah kita menarik pelajaran dari masa lalu, menarik manfaat,
mensyukuri kenyataan baiknya, dan menghindari kenyataan ruginya agar tak
terulang lagi. Saya yakin, betapapun jauhnya kita selama ini namun engkau tentu
tidak menutup diri untuk satu dua patah kata dariku sebagai tanda bahwa saya
masih punya hati untuk memahami dan menghayati perasaan orang lain. Maafkan
daku atas segala kealpaan, terimalah kebenaran dari manapun datangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berdiskusi