Rabu, 31 Desember 2014

Homesickness

Machine generated alternative text: ‘• LILC’

Pada Jannah-Nya, setiap jiwa pasti rindu. Karena bukankah awalnya kita ini makhluk Surga?

Homesick itu symptom alias gejalanya banyak. Mulai dari seseorang yang uring-uringan karena cuaca panas, tidak mau makan karena tidak sesuai selera, merepotkan diri dengan kosmetik tebal berbagai macam, rela korupsi untuk rumah yang lebih mewah, dan membayar berapapun harganya untuk kembali sehat setiap kali terserang penyakit, serta hal-hal fisik lain yang di Surga kelak kita miliki secara sempurna....mungkin diri benar rindu.

Tapi, kita juga ingat bahwa ‘properti’ Surga tidak hanya itu. Karena coba tanyakan pada hati, adakah rindu yang lebih besar dan dalam daripada semua itu? 
Mungkin jawab hati: rasa puas, rasa tenang, tentram, damai, dan kebebasan yang sebenarnya. Dibersamai orang-orang terkasih tanpa ruang atau dimensi lain yang memisahkan lagi. Hanya mendengar ucapan yang baik, hanya melihat yang indah. Kekal, tanpa ada yang fana. Dan... menatap wajah Allah, ‘Azza wa Jalla. Oh, "So which favour of God would you deny?" (QS Ar-Rahman : 13)

Karena itu, mulanya wajar jika ada banyak orang di dunia ini yang sehari-hari galau, gelisah, gundah. Disadari atau tidak, mereka homesick pada kenyamanan Surga. Meski ada juga yang sudah lebih sadar bahwa ia homesick pada 'dekatnya pada Sang Pencipta', pada 'keagungan'nya, pada segala 'yang sejati' itu.

Namun, kita juga mungkin ingat bahwa sang terkasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,
"..telah dijadikan-Nya penyejuk mataku ada dalam shalat." (HR Ahmad, an-Nasa-i, dan al-Hakim)
Ya, nyatanya Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi bonus berupa 'alat teleportasi' yang aktif  5x sehari bahkan bisa lebih, untuk kita bisa merasakan suasana dan aktifitas ukhrawi: Shalat.
Tidak ada yang lebih menyejukkan selayaknya seseorang yang bertemu dengan kekasihnya, atau seperti orang yang ketakutan masuk ke tempat yang aman. Seperti itu makna shalat bagi hamba yang berserah diri, yang penuh rasa cinta, takut, dan selalu berharap pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti kata Imam Hasan Al-Banna, “Bila shalat ditunaikan dengan khusyu’, ia lebih berarti bagi hati dan jiwa daripada seribu kata nasihat, seribu paragraf kisah, atau satu juta forum ceramah. Tiada yang menyucikan jiwa lebih utama, menghapus dosa, noda aib; menanamkan iman dan menentramkan dada daripada shalat.”
Pertanyaannya, sudahkah kita mempergunakannya dengan optimal?

Padahal kalau kata Imam Ahmad, dalam riwayat Mihna bin Yahya, “Sesungguhnya kebahagiaan mereka di dalam Islam, adalah sebatas kebahagiaan mereka di dalam shalat. Dan kecintaan mereka kepada Islam, sebatas kecintaan mereka di dalam shalat. Maka kenalilah dirimu wahai hamba Allah! Jangan sampai engkau berjumpa dengan Allah sedang tiada nilai Islam dalam dirimu. Sesungguhnya nilai Islam dalam hatimu sebanding dengan nilai shalat dalam hatimu.”

Sama juga dengan tilawah Qur’an, kalau belum optimal, wajar lah ya berarti kalau masih sering dihinggapi galau, gelisah, gundah........ Subhanallaah..

Di sisi lain kawan, ada juga suatu amalan tak terlihat –sebuah orientasi bagi hati, yang akan mencerminkan suasana Surgawi pada hidup: IKHLAS.
Yakni melakukan segala sesuatunya hanya karena dan untuk Allah Ta’ala. Hanya memperdulikan pandangan-Nya, penilaian-Nya. Kok bisa rasa surga?
...ikhlas akan menjadikan kita ridha pada semua ketetapan-Nya atas diri dan semesta
...dan ketahuilah bahwa rasa ridha itu akan membuat jiwa setenang di Surga (wallahu a’lam, mungkin baru tepiannya)!

"Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
Dan masuklah ke dalam Surga-Ku."
QS Al-Fajr : 27-30

Bahkan, untuk nantinya mendapat jaminan keselamatan dan Surga tertinggi, ikhlas adalah keharusan yang tak bisa ditawar. Syarat diterimanya amal, itu satu. Kalau tidak, bukan hanya gelisah menghadapi permasalahan hidup, tapi bahwa jika sebutir riya’ terbawa...hangus semuanya. Na’udzubillaahi min dzaalik. Selain itu, perlu kita ingat pula bahwa terbukti hanya orang-orang dengan keikhlasan yang tinggi lah yang kuat berada di jalan menuju-Nya ini.

*Yah, meskipun mungkin ikhlas adalah sebuah kunci dengan gerigi yang kompleks, yang kadang nampak terlalu abstrak ketika belum kita miliki ilmu tentangnya.. Tapi, percayalah kawan bahwa kita sebenarnya telah memilikinya, karena kita lahir dengan DNA-nya pada gen fitrah kita. Mari berusaha saja dengan yang kita bisa, maka Allah akan mengajari yang kita belum bisa.

Jadi kalau coba disimpulkan, seorang insan bisa mengusahakan dua hal untuk ‘hidup enak’ di bumi ini:
Beribadah mengagungkan-Nya sebagaimana Ia perintahkan melalui 'fasilitasnya', serta ikhlas dalam melakukan dan menerima segala sesuatunya.. ya kan?

Kembali ke homesickness; maka kita pun percaya, jika 'rindu' itu seperti energi, berarti kini ia bisa punya dua jalur pancaran: 1/5 (misalnya) jadi homesickness yang membuat bayang-bayang Surga itu senantiasa di pelupuk, 4/5 jadi do'a dan usaha berjalan kembali pulang...

Oh ya, tambahan tentang Surga, mungkin hikmah dari digodanya kita oleh syaitan di dunia ini adalah Nabi Adam ‘Alaihissalam. meski saat itu tengah berada di Surga, terkena jebakan syaitan yang jahat, sombong, dan ingkar itu. Lalu beliau bertaubat dan Allah, Subhanahu wa Ta’ala, mengampuni..
Sedang kita nanti di Surga insyaa Allah sudah bebas benar-benar dari godaan mereka. Maka hari ini adalah saatnya kita bertaubat memohon ampun ketika telah tergoda oleh syaitan. Jangan terlambat saja, iya kan?

Semoga kita benar-benar pulang ya, tidak nyasar.
“Allahumma as-alukal jannah… wa a'udzubika minannaar.. Allahumma aamiin.”

Wallahu a’lam bis shawab.


 Yogyakarta, 7 Rabiul Awal 1436 H


Zahrin Afina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo berdiskusi