Dunia akhir-akhir ini dilanda oleh kepanikan
global berkenaan dengan lenyapnya berbagai bentuk materi sebagai akibat dari
wacana kapitalisme mutakhir: lapisan ozon, hutan tropis, harimau Sumatra; namun
dunia seolah-olah tak peduli dengan terkikis dan lenyapnya lapisan-lapisan
moral, spiritual, dan kemanusiaan di tengah-tengah deru ekonomi kapitalisme
global yang menuju titik ekstremnya dewasa ini.
Menyusutnya jumlah habitat orang hutan Sumatra
telah menimbulkan kepanikan masyarakat Eropa berkenaan dengan masa depan
kehidupan umat manusia, tetapi lenyapnya dimensi moral, kehangatan spiritual
dan makna kemanusiaan di dalam industri media massa, komoditi, dan tontonan
global yang bersifat hiperealis dewasa ini tak sedikitpun mengusik kesadaran nurani
kemanusiaan.
Ketidakpedulian masyarakat dunia terhadap
dimensi dan nilai inilah sebagai akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam
kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuran dan hawa nafsu
yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi telah melanda kehidupan masyarakat
konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda,
tanda-tanda, makna-makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan
jiwa akan makna-makna spiritual, moralitas dan kemanusiaan; di tengah-tengah
dibangunnya hidup di atas landasan gemerlapnya citraan-citraan ketimbang
kedalaman substansi dan transendensi.
Ketika pembunuhan kini tidak lagi merupakan
sesuatu yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, membangkitkan perasaan sedih
atau sadis, tetapi justru menimbulkan kebanggaan; ketika jiwa manusia tak lebih berharga dari sebatang
rokok atau selembar seribu rupiahan; ketika membunuh orang sama gampangnya
dengan membunuh seorang tokoh Nintendo. Atau, ketika perkosaan tak lagi
menimbulkan perasaan bersalah, dosa, atau hina, tetapi justru sebaliknya
persaan kemenangan kejantanan dan kebanggaan maka ketika itu tenggelamlah
masyarakat ke dalam kondisi ekstasi, menuju suatu dimensi moralitas yang serba
terbalik dan ekstrem.[1]
(diambil
dari buku, “Sebuah Dunia yang Dilipat”)
Kita telah memasuki melenium yang ketiga di
mana di awal melenium ini kita dihadapkan pada situasi yang mengerikan. Kehidupan
sering diisi dengan aktivitas hampa akan makna, hingga mungkin orang-orang
sekarang tidak sadar bahwa dirinya sedang hidup.
Hal itu jadi mengingatkan pada diskusi-diskusi
intelektual dengan kawan-kawan, tentang asas hidup “Work Hard, Party Harder”. Secara sekilas ia nampak indah, nampak keren,
nampak memukau. Seseorang yang telah bekerja keras (work hard) sudah selayaknya untuk berpesta lebih keras
lagi untuk menghilangkan kepenatan sesuai bekerja. Namun, coba kita hayati
seseorang bekerja keras hinggal keletihan, lalu mendapat keuntungan. Ia
mendapatkan keuntungan sekaligus kepenatan, dan keletihan. Lalu dengan
keuntungannya ia berpesta lebih keras untuk menge-nol-kan, me-refresh-kan dari
kepenatan dan keletihan tadi. Sehingga ia dapat bekerja lagi, mendapat
keuntungan lagi, tak tertinggal juga kepenatan dan keletihannya. Pergi pagi,
pulang sore, malam nonton TV, liburan rekreasi. Apakah begini seharusnya hidup
itu?
Lalu, di tengah-tengah kehidupan rutinitas yang
miskin makna, beberapa tahun ini kita juga dihadapkan dengan fenomena yang
aneh. Pak Yasraf Amir Pialang, menyebutnya dengan Esktasi Guiness Book of
Record. Pernahkah kita terpukau dengan keberhasilan orang menarik mobil dengan
rambut, membuat kue terpanjang di dunia, melaksanakan tarian dengan peserta
terbanyak? Hebat bukan? Akan tetapi pernahkah kita merenungkan, “Terus apa?”.
Suatu keberhasilan seseorang mengendarai mobil
meloncati tumpukan mobil yang tengah terbakar setinggi-tingginya dan
sejauh-jauhnya tanpa alat pengaman, maka pecahlah rekor dunia. Tetapi apakah
nilai guna dari rekor ini, selain hasrat, gelora, dan akhirnya ekstasi, agar tercatat
di dalam buku rekor itu sendiri. Yang diperoleh dari rekor ini tak lain dari
nilai tukar semata berwujud tontonan dan citraan. “Kamu orang hebat, telah
sukses meraih rekor baru? Itu saja.”
Sebab, kegairahan dan pemujaan terhadap
prestasi semu yang ekstrem, akan menenggelamkan manusia ke dalam esktasi
pengalaman puncak. Saya berhasil berjalan mundur dari Jakarta ke Jawa Timur,
saya mencapai rekor dunia! Namun rekor untuk apa? “Saya berhasil menarik truk
dengan rambut saya”. “Saya sukses melakukannya di Monas”. Namun sukses untuk
apa? Saya berhasil membuat kue terpanjang dan terbesar di dunia! Saya
berhasil...![2]
Apakah dengan mencari rekor baru, bekerja untuk
berpesta, berpesta untuk bekerja, seseorang sedang mencari kebahagiaan? Bekerja
untuk berpesta lalu bergembira dalam pesta, lalu bekerja lagi hingga Health Bar atau panjang nyawa
kebahagiaan itu habis, lalu berpesta lagi mengisi nyawa kebahagiaan. Juga
mendapat rekor baru, sehingga dirinya senang. Ya!
“Bahagia adalah kata yang paling menyihir dalam
hidup manusia. Jiwa merinduinya. Raga mengejarnya. Tetapi kebahagiaan adalah
goda yang tega. Ia bayangan yang melipir jika dipikir, lari jika dicari, tak
tentu untuk diburu, melesat jika ditangkap, menghilang jika dihadang. Di nanar
mata yang tak menjumpa bahagia; insan lain tampak cerah. Di denging telinga yang
tak menyimak bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Di gemerisik hati yang tak
merasa bahagia; insan lain berkilau bercahaya.”[3]
Kebahagiaan. Dalam bahasa Arab kita sering
menemui kata As-Sa’adah, akan tetapi tidak bermakna hanya “Kebahagiaan”.
Tetapi, dalam kamus Lisaanul ‘Arab diterangkan, jika ada yang mengatakan ”as’adallahul ‘abda wa sa’adah”, maka maknanya adalah “Allah telah memberikan
taufiq-Nya kepada sang hamba untuk melaksanakan amal yang diridhai-Nya, karena
itulah ia beroleh kebahagiaan.”. Sebab Allah yang menciptakan, menguasai,
mengatur alam raya ini, dari Allah pula
lah kebahagian itu bersumber.[4]
Seperti dahulu,
4 Agustus 2012, di Sego Wiwit, dalam acara buka bersama KSAI, ketika
kajian, Mas Rohmat, alumni 2004, berkata, "Faktanya, kita itu tidak akan
pernah bisa menyenangkan (menggembirakan) hati kedua orang tua kita. Prestasi,
perilaku baik, dan sebagainya hanya dapat menghibur mereka. Sedang siapa yang
bisa menyenangkan hati kedua orang tua kita itu, tidak lain hanyalah Allah azza
wa jal. Maka mintalah pada Allah dalam doa-doa kita, agar Allah ta'ala
menyenangkan hati keduanya".[5]
Maka, di millennium ketiga ini, marilah kita
sadar, bahwa kita ini hidup, dan dalam hidup ini bukanlah “kebahagian” yang
menjadi tujuannya, akan tetapi ridha-Nya. Di dunia, terlebih di akhirat.
Ditulis oleh: Adnan Rifa'i
[diambil dari: https://www.facebook.com/ksai.aluswah]
***
Glosarium
Citra: Sesuatu yang tampak oleh indra, akan
tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Ekstasi: Analogi Baudrillard untuk
menggambarkan semacam “kemabukan” yang melanda masyarakat kontemporer dalam
komunikasi, komoditi, konsumsi, hiburan, seksual, politik
***
Catatan Kaki:
[1] Yasraf Amir Pialang. 1998. “Sebuah Dunia
Yang Dilipat”. Mizan, hlm. 41-42
[2] Ibid, hlm. 49
[3] Salim A. Fillah. 2014. “Lapis-Lapis
Keberkahan”. Pro-U Media, hlm. 9
[4] Ibid, hlm. 25
[5] Pengajian Buber KSAI, 4 Agustus 2014,
bersama Mas Rohmat sebagai pembicara.