Oleh: HAIDAR
MUHAMMAD
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia
berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui bahwa pada malam
ini telah diturunkan beberapa ayat yang tidak pernah sama sekali dilihat ada
yang semisalnya; Qul `A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul `A’uudzu bi Rabbinnaas.’” (Shahih Muslim,
hadits no.814)
***
Dua surat terakhir dalam Al-Qur’an adalah beberapa dari
surat paling singkat yang ada dalam Al-Qur’an. Meski singkat, namun isinya amat
penting dan padat. Nabi SAW memberi nama pasangan surat ini “Al
Mu’awwidzatain,” dua surat yang berisi permintaan perlindungan kepada Allah.
Tentu bukan kapasitas saya untuk membicarakan panjang lebar
mengenai tafsir kedua surat ini. Akan tetapi, saat mendengarkan penjelasan Ust.
Nouman Ali Khan (seorang da’i di Amerika) mengenai surat Al-Falaq dan An-Naas
ini, ada sebuah keterangan yang amat-amat berkesan. Ini tentang perbedaan yang
nampak di antara kedua surat itu, surat yang sama-sama memohon perlindungan
pada Pemilik segala daya dan kekuatan.
Kalau kita perhatikan, surat Al-Falaq dan An-Naas sama-sama
memiliki dua bagian. Bagian yang pertama adalah Ayat-ayat yang menyebutkan
tentang “Yang dimintai Perlindungan.” Allah. Sedangkan bagian yang kedua adalah
tentang “Dari apa kita memohon perlindungan.”
Pada bagian keduanya, Surat An-Naas merujuk pada satu hal:
Waswas, Bisikan Syaithan. Ayat selanjutnya merupakan keterangan terhadap hal
itu. Sedangkan Pada Surat Al Falaq, ada banyak sekali hal yang disebutkan.
Syarri Maa Khalaq “Kejahatan apa yang dicipta-Nya,” “Ghaasiqin Idzaa Waqab”
Malam apabila ia telah larut, “Naffaatsaati fil ‘uqad” Penyihir yang meniup
buhul-buhul, serta “Haasidin idzaa Hasad.” Orang yang dengki, saat ia
mendengki.
Ternyata, pada bagian pertama pun ada perbedaan. 3 Ayat
Pertama surat An-Naas adalah tentang Allah, dzat yang dimintai perlindungan:
“Rabbinnaas, Malikinnaas, Ilaahinnaas.” Sedangkan pada Al Falaq, Hanya
disampaikan pada ayat pertama: “Rabbil Falaq.” Jadi, Pada surat An-Naas kita
menyebut Allah tiga kali, untuk memohon perlindungan dari satu hal. Sedangkan
pada surat Al Falaq kita menyebut Allah satu kali untuk memohon perlindungan
dari empat hal. Apa makna di sebalik hal ini?
Maha Besar Allah, Dia menunjukkan betapa tak terhingga
Ilmu-Nya dengan Al-Quran itu. Keindahan Sastranya selalu menyimpan hikmah yang
besar dan amat bermakna. “Hikmah dari hal ini,” jelas Ust Nouman, “Adalah kita
lebih ‘desperate’ hingga menyebut nama Allah 3 kali saat memohon perlindungan
dari bisikan setan ketimbang dari hal-hal yang dapat membahayakan kita.”
Mengapa demikian? Sebab, Ancaman bagi kita dalam surat Al
Falaq adalah ancaman yang membuat kita menjadi korban. Meski kita akan terluka
karenanya, tetapi di akhirat kelak kita berdiri sebagai korban akan hal itu,
bukan sebagai yang dimintai pertanggung jawaban. Sedangkan Bisikan setan,
ketika kita takluk padanya, siapa yang akan diminta pertanggung jawaban? Ya
kita sendiri ini. Setan akan berlepas diri sambil mengatakan, “Lho saya kan
hanya mengajak dan membisiki saja, Yang melakukan siapa? Kamu sendiri kan?”
Makanya, kita harus lebih dan lebih serius memohon perlindungan dari yang satu
ini, tanpa melupakan ancaman lain dalam kehidupan kita.
Ketika saya coba merefleksikan apa yang ada dalam Keterangan
indah ini, ada hal menyakitkan yang saya temukan. Bahwa dalam kehidupan dan
alam pikiran saya (dan banyak orang lain di dunia pada zaman ini) ada hal-hal
yang goyah, melenceng, dan tak selaras dengan hikmah itu.
Coba saja, kini kepada siapa kita berlindung? Benarkah pada
Allah? Benarkah pada-Nya kita menggantungkan segala harap dan cemas?
Kalau jawabannya ya, mengapa di hadapan-Nya yang selalu
melihat kita bermaksiat? Sedangkan saat manusia yang hakikatnya sama-sama tidak
berdaya kita justru menunjukkan seakan kita ini orang yang benar-benar taat?
Mengapa kita tak tenang saat melakukan yang benar
menurut-Nya, namun tenteram dengan saran-saran terbaru dari Penelitian Ilmiah
yang teruji secara klinis? Padahal Sains sendiri mengakui sering ada error di
dalamnya. Mengapa kita tak hirau pada ketentuan yang digariskannya, sementara
mati-matian berteriak tentang Hak Azasi Manusia, dengan sepenuhnya percaya pada
mereka yang ada di Jenewa atau Amerika tanpa sedikitpun kritik atas
kejanggalan-kejanggalannya? Mengapa kita lebih percaya diri dengan DSM yang
kelima ketimbang Al-Quran yang 30 Juz itu?
Atau mengapa kita lebih takut akan penyakit Kardiovaskuler
ketimbang penyakit-penyakit dalam hati kita? Mengapa kita lebih tenang dengan
Asuransi bercampur bunga ketimbang memperbaiki kehalalan dan kethayyiban
makanan kita?
Pada apa kita bertawakkal? Apakah pada harta yang kita
tumpuk sepanjang usia kita? Atau pada nilai-nilai A dalam KHS kita? Atau pada
keluarga yang suatu saat pun akan meninggalkan kita?
Sungguh, perenungan akan hal semacam ini bukan perkara remeh
yang patut terlupa. Semoga Allah mudahkan kita untuk terus memupuk iman dalam
Hati, Lisan, hingga perbuatan kita. Semoga kita diampuni, semua dosa sejak yang
bermula dari pikirannya hingga yang telah mewujud dalam maksiat dan dosa-dosa.
Ditulis di Komputer Kantor Masjid Jogokariyan,
30 Januari 2016.